Grasi Corby Lemahkan Pemberantasan Narkotika
Narkotika bukan barang baru. Obat ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi sangat bermanfaat di bidang pengobatan dan kesehatan. Di sisi lain dapat pula menyebabkan ketergantungan yang sangat merugikan bila disalahgunakan.
Belakangan obat jenis ini, mudah dijumpai. Ternyata banyak pihak telah menyalahgunakan. Peredarannya pun sudah sangat luas. Telah menjadi rahasia umum narkotika banyak menghiasi hiburan malam di perkotaan. Obat haram ini juga menembus ke pelosok-pelosok desa. Sindikat peredaran narkotika tidak melihat tempat lagi. Narkotika jenis sabu-sabu beredar luas di Lembaga Permasyarakatan (Lapas). Seperti hasil inspeksi mendadak Wamen Hukum dan HAM bersama Badan Narkotika Nasional di sejumlah Lapas.
Penyalahgunaan narkotika di tanah air sudah sangat besar. Indonesia merupakan konsumen terbesar obat-obatan terlarang. Posisi inilah yang menyebabkan sindikat peredaran narkotika internasional masuk ke Indonesia. Modus operandinya pun berbeda-beda. Mulai dari memasukkan ke perut. Hingga menyembunyikan di dalam bingkai kaligrafi.
Mengkonsumsi narkotika tanpa pengawasan berpotensi besar merusak kesehatan dan metal bagi pemakai. Gejala narkotika terkadang membuat pemakainya over dosis (baca: kematian). Penggunaan jarum suntik yang bergantian juga mengakibatkan bertambahnya penderita HIV/AIDS. Lebih luas lagi narkotika merupakan penyumbang besar bagi kebobrokan generasi bangsa.
Kejahatan narkotika kemudian termasuk extra-ordinary crime sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Kategori suatu jenis kejahatan yang berdampak sangat luas terhadap generasi suatu bangsa. Suatu kejahatan terorganisir, dan mengakibatkan korban banyak, seperti korupsi dan terorisme. Atas dasar itulah penindakan terhadap peredaran dan penyalahgunaan narkotika harus extra-ordinary. Meski belakangan semangat pemberantasan peredaran narkotika ternyata tidak di dukung ketegasan Pemerintah. Presiden SBY justru memberikan grasi kepada terpidana narkotika. Ada apa dibalik pemberian grasi terpidana Corby?
Keganjilan
Gencar Wamen Hukum dan HAM bersama Badan Narkotika Nasional melakukan sidak di Lapas, pupus sudah. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani pemberian grasi terpidana narkotika Schapelle Corby. Tidak tanggung-tanggung terpidana asal Australia ini menerima pengurangan hukuman lima tahun.
Langkah pemberian grasi Presiden SBY memang sangat mengejutkan. Grasi merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 2002. Pemberian ini dapat berupa peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan putusan (vide: Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2002). Terlepas dari kewenangan Presiden, penulis melihat keganjilan dalam keputusan tersebut. Pertama, Mahkamah Agung tidak konsisten. Pemberian grasi dari Presiden tidak terlepas dari peran serta Mahkamah Agung. Salah satu pelaku kekuasaan kehakiman ini harus memberikan pertimbangan kepada Presiden (vide: Pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 2002). Dasar pertimbangan Mahkamah Agung kemudian menjadi acuan Presiden dalam mengabulkan permohonan grasi.
Ketidakkonsistenannya dapat dilihat dari rentetan sidang terdakwa Corby. Persidangan Corby pada tingkat pertama memutus 20 tahun penjara. Corby kemudian melakukan banding dan mendapatkan pemotongan 5 tahun penjara. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung justru membatalkan putusan Pengadilan Tinggi. Tak lama upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali Corby kepada Mahkamah Agung juga ditolak. Sehingga menguatkan putusan Pengadilan tingkat pertama. Atau dengan kata lain Mahkamah Agung akhirnya masuk angin.
Kedua, Dasar pemberian grasi. Presiden sebagai pemegang hak prerogatif dapat memberikan atau menolak grasi setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Tetapi, UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak menjelaskan secara rinci dasar pertimbangan tersebut. Kekosongan hukum inilah yang kemudian digunakan pemerintah. Grasi Corby lebih cenderung didasari atas pertimbangan politis. Suatu politik balas budi terhadap pemerintah Australia. Lewat grasi Corby, diharapkan pemerintah Australia memperlakukan hal yang sama terhadap tahanan WNI di sana. Sehingga grasi ini lebih terkesan “barter terpidana”.
Ketiga, Kesalahan berfikir Menteri Hukum dan HAM. Amir Syamsuddin sebagai pihak yang mengusulkan peringanan pidana telah melakukan kesalahan. Statement di media cetak bahwa telah banyak negara memberlakukan hukuman ringan bagi pelanggaran kepemilikan ganja. Bahkan, sudah ada negara telah mendekriminalisasinya. Tentunya bila ini kemudian menjadi acuan Amir Syamsuddin, maka sudah bisa dipastikan peredaran narkotika (baca: ganja) semakin merajalela.
Amir Syamsuddin lupa kalau ganja tergolong narkotika golongan I. Narkotika golongan ini sangatlah dilarang penggunaannya karena berdampak negatif terhadap kesehatan (vide: Pasal 8 UU Nomor 35 Tahun 2009). Jenis narkotika golongan I dalam jumlah terbatas hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Penggunaannya pun setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Preseden Buruk
Kesekian kalinya pemerintah telah melakukan keputusan yang kontroversial. Bila awalnya keputusan grasi Saukani terpidana korupsi atas pertimbangan kemanusiaan. Kini grasi terpidana narkotika didasari pertimbangan hubungan antar kedua negara. Penghapusan 5 tahun penjara bagi pemilik ganja 4,1 kilogram diharapkan menjadi pesan buat pemerintahan Australia.
Tentunya bagi kita, grasi buat Corby merupakan langkah mundur pemberantasan peredaran narkotika di tanah air. Pemerintah harusnya mempertimbangkan dampak negatif narkotika dan bukan mengutamakan pencitraan.Pemberian grasi ini bisa menjadi preseden buruk dan mematikan masa depan pemberantasan narkotika di tanah air.