Melindungi Data Pribadi Anak

Sumber Gambar: sindonews.com

Penulis menggunakan usia anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, yakni seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak Indonesia pada abad ke-21 merupakan generasi emas, generasi yang sangat dekat dengan teknologi informasi dan internet, baik yang tinggal di perkotaan ataupun di perdesaan, terlebih karena Covid-19, anak dan orangtua harus bergerak cepat dalam dunia virtual.

Kita patut bersyukur bahwa dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) data anak masuk ke dalam data pribadi bersifat spesifik. Semoga saja pada saat RUU ini dibahas dan disahkan, data anak masih tetap bersifat spesifik dan ditambahkan pidana yang memberatkan apabila data pribadi anak ini dipersalahgunakan untuk eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.

Penyalahguna data pribadi anak masih dapat dijerat dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ataupun dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), misalnya delik dalam Pasal 14 UU TPKS tentang pemidanaan melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.

Anak yang telah dikenalkan dengan gawai, internet, dibekali gawai oleh orangtuanya tentu akan lebih lincah dalam menggunakan gawai, dalam menggunakan media sosial (Facebook, Tiktok, Youtube, Instagram, Twitter, dan sebagainya). Apakah hal tersebut salah? Jawabannya adalah tergantung. Orangtua yang memiliki rezeki lebih tentu akan membelikan gawai kepada anak-anak mereka, tentu dengan alasan yang positif, misalnya untuk sarana belajar; agar anak mudah mencari informasi pengetahuan apa pun; anak berkreasi membuat tulisan/video; audio; agar anak tidak ketinggalan zaman.

KPAI (2021) mencatat pada tahun 2020 terdapat kasus pengaduan anak berdasarkan kluster perlindungan, didapatkan data bahwa pertama, anak korban kejahatan seksual daring pada tahun 2020 sejumlah 103; kedua, anak pelaku kejahatan seksual online sejumlah 9; ketiga, anak korban ponografi dari media sosial sejumlah 91; keempat, anak korban bullying (perundungan) di media sosial sejumlah 46; dan kelima, anak pelaku perundungan di media sosial sejumlah 13 aduan.

Angka-angka tersebut tentu telah ditangani dengan baik oleh KPAI dan para pemangku kepentingan terkait semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak (korban ataupun pelaku). Apakah kelakuan tersebut tidak memerlukan data pribadi anak? Jawabannya, ya memerlukan data pribadi anak.

Menurut penulis, data pribadi anak prinsipnya juga sama dengan data pribadi pada umumnya. Anak juga memiliki hak atas data pribadinya. Data pribadinya juga berbentuk 1. nama lengkap; 2. nama orangtua; 3. tempat tanggal lahir; 4. alamat; 5. jenis kelamin; 6. agama; 7. nomor telepon bagi anak yang telah diberikan gawai oleh orangtuanya; 8. nomor kartu identitas anak (KIA) ataupun kartu tanda penduduk bagi anak berusia 17 tahun; 9. foto/potret anak.

Beberapa anak tentu tidak mawas ataupun menyadari kalau data ini adalah data penting yang tidak boleh disebarluaskan melalui dunia virtual karena akan berdampak buruk dan berpotensi mencelakai anak yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, anak perlu dibekali dengan literasi/edukasi digital baik oleh orangtua, pihak sekolah, maupun guru agama.

Peran orangtua

Orangtua wajib menjadi teman bagi anak di dunia maya, misalnya: orangtua mengikuti akun media sosial anak, orangtua mulai bermain gim (game) bersama anak, gim dengan tema apa pun. Orangtua harus berdialog kepada anak bahwa pertemanan di media sosial, di gim bukan untuk membatasi kebebasan anak di dunia virtual, bukan untuk membuat anak menjadi malu kepada teman-temannya di media sosial. Orangtua tidak perlu menggunakan nama asli pada gim tersebut ataupun pada media sosial jika anak masih malu-malu.

Menurut hemat penulis, media sosial, dunia virtual membawa manfaat dan efek negatif bagi anak. Dampak positif dunia virtual adalah bagus bagi perkembangan kreativitas anak; menghilangkan kejenuhan. Namun apabila tidak diawasi, dunia virtual akan membawa efek negatif dan bahkan dapat membahayakan anak, anak akan mudah menjadi korban dunia maya (cyber crime), misalnya, korban penculikan.

Orangtua wajib bersikap aktif melakukan edukasi bagi anak, misalnya melakukan hal-hal pencegahan sebagai berikut: pertama, membatasi mengunggah swafoto yang berlebihan dan menunjukkan KTP di media sosial bagi yang telah memiliki KTP. Kedua, anak harus diajarkan bahwa tidak perlu mengunggah informasi berupa nomor telepon, tanggal lahir,dan alamat rumah lengkap di media sosial anak.

Ketiga, orangtua harus berkomunikasi dengan pihak sekolah jika anak diberi tugas yang harus diunggah di media sosial, misalnya mengubah status unggahan hanya dapat dilihat oleh beberapa orang saja yang memiliki tautan tersebut (restricted access). Keempat, orangtua sebaiknya menggunakan aplikasi parental control pada gawai anak untuk membatasi waktu daring dan mencegah konten yang negatif. Kelima, apabila anak masih berusia di sekolah dasar, sebaiknya orangtua menemani anak dalam berseluncur di media virtual.

Apabila orangtua telah mencurigai terdapat hal-hal yang tidak pantas di media sosial anak melalui kolom komentar di media sosial atau di pesan pribadi (direct message), anak menjadi tertutup setelah berkenalan dengan seseorang di dunia virtual, maka orangtua harus mengambil langkah tegas tetapi tetap menghargai privasi anak. Orangtua jangan semata-mata menyalahkan anak, memarahi anak, tetapi sebaiknya orangtua bertanya layaknya teman, tidak menghakimi dan mencari solusi bersama, misalnya menonaktifkan akun media sosial sementara waktu atau permanen agar psikologis anak kembali baik, dan anak menjadi periang kembali.

Oleh:

Rizky Karo Karo

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

KOMPAS 20 Mei 2022

Sumber :https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/18/melindungi-data-pribadi-anak

You may also like...