MENCERMATI ATURAN ORIENTASI SEKSUAL PRAJURIT TNI

Sumber Gambar: merdeka.com
Masyarakat memberikan tanggapan berbeda atas pemecatan dua prajurit TNI yang dinilai memiliki perbedaan orientasi seksual. Kelompok masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia (HAM) berpendapat hukuman terhadap dua prajurit itu merupakan bentuk diskriminasi.
Pemecatan dua anggota TNI tersebut tertuang dalam putusan pengadilan militer yang dilansir di situs web Mahkamah Agung (MA) pada Senin, 6 Juni 2022. Prajurit yang dipecat itu Sersan Dua AP dan Prajurit Dua T. Vonis untuk Serda AP dijatuhkan di Pengadilan Militer Jakarta dan untuk Prada T di Medan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan orientasi seksual merupakan bagian dari HAM dan mencakup berbagai hak lain. Kriminalisasi terhadap hubungan sesama jenis, kata dia, melanggar hak atas privasi dan kebebasan dari diskriminasi. “Mengkriminalkan dan memecat seseorang karena orientasi seksual jelas tidak manusiawi,” kata Usman, kemarin, 7 Juni.
Berdasarkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum Nomor 16, hak atas privasi diatur untuk memastikan kesetaraan di depan hukum tanpa diskriminasi. Selain itu, pada Pasal 26, ICCPR dan Komentar Umum Nomor 18 melarang diskriminasi dalam bentuk apa pun. Setiap individu, tanpa terkecuali, juga harus mendapat perlindungan yang setara dan efektif dari diskriminasi atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pilihan politik, atau status lainnya.
Usman menegaskan bahwa pemecatan dua anggota TNI yang terindikasi melakukan aktivitas lesbian, gay, transgender, dan biseksual (LGBT) tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk kriminalisasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh negara. Kebijakan itu justru akan memicu kekerasan terhadap kelompok LGBT. Padahal negara berkewajiban melindungi HAM. “Pemecatan ini juga dapat memberikan momentum tambahan ke sentimen anti-LGBT yang meningkat akhir-akhir ini,” kata dia.
Direktur Eksekutif The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menyebutkan setiap diskursus tentang LGBT merupakan tindak diskriminasi yang menyerang orientasi seksual dan ekspresi gender seseorang. Padahal hal itu seharusnya dilindungi oleh hukum dan konstitusi negara.
Menurut Erasmus, konstitusi Indonesia telah menegaskan beberapa hak yang dimiliki warga negara, termasuk di antaranya hak atas privasi, ekspresi, perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Pendapat serupa dinyatakan Direktur Imparsial, Gufron Mabruri. Tidak ada korelasi antara pilihan orientasi seksual dan tinggi-rendah atau baik-buruknya profesionalisme anggota militer. Preseden itu bisa dilihat di banyak negara yang bisa menerima prajurit militer berlatar belakang LGBT, tapi tetap profesional dalam bertugas. “Yang menyebabkan gangguan terhadap institusi atau profesionalisme bukanlah orientasi seksual, melainkan faktor-faktor di luar itu,” kata Gufron.
Khairul Fahmi, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), memiliki pandangan berbeda. Ia menilai orientasi seksual sangat berpengaruh pada soliditas dan kesiapsiagaan prajurit. Apalagi prajurit TNI memiliki kecenderungan membangun komunitas sendiri dengan jiwa korsa yang kuat. Selain itu, masyarakat masih memiliki anggapan negatif tentang LGBT.
“Bayangkan jika ini berkaitan dengan LGBT. Korsanya dibangun atas dasar kesamaan orientasi seksual yang sebenarnya merupakan minoritas,” kata Khairul. “Mereka bisa dianggap ancaman karena berpotensi meluas, padahal mayoritas menganggap perilaku mereka menyimpang.”
Karena itu, Khairul berpendapat, diskriminasi terhadap prajurit TNI yang memiliki perbedaan orientasi seksual tetap diperlukan meski memiliki tantangan yang sangat besar. Apalagi karakter militer sebuah negara tak bisa dilepaskan dari tata nilai dan norma sosial budaya yang melandasi suatu negara. “Kalau memang ingin LGBT bisa diterima di lingkungan TNI, yang harus diubah, ya, masyarakatnya dulu,” kata Khairul.
Oleh:
Egi Adyatama
Wartawan Koran Tempo
KORAN TEMPO, 8 Juni 2022
Sumber : https://koran.tempo.co/read/nasional/474303/beda-pendapat-soal-aturan-orientasi-seksual-prajurit-tni?