Menguatkan Lingkungan Hidup dalam Konstitusi
Sejak berakhirnya pertemuan ke-11 Special Session of the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP) yang dihadiri oleh 192 negara, di Bali, Februari 2010 lalu, negara-negara di dunia kembali menguatkan komitmennya untuk “menyelamatkan bumi” dari masalah lingkungan hidup yang semakin parah.
Pertemuan tersebut membahas tiga hal utama; kebijakan lingkungan internasional atau (international environmental governance) dan pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development), serta ekonomi hijau, ekosistem, dan keanekaragaman hayati (the green economy, biodiversity, and ecosystems).
Sebagai bagian dari proses “dialektika sejarah”, pertemuan tersebut “mengulang” cerita dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang pernah diadakan dan menghasilkan sebuah komitmen bersama. Mulai Konferensi Stockholm yang melahirkan Deklarasi Stockholm (1972), Deklarasi Nairobi (1982), Konferensi Rio yang melahirkan Deklarasi Rio (1992), Protokol Kyoto (1997) maupun Pertemuan Puncak Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan yang melahirkan Rencana Aksi Johannesburg (2002). Ini menandakan perhatian dunia terhadap isu lingkungan hidup dari generasi ke generasi nyatanya telah tiba pada titik kulminasi kekhawatiran akan masa depan bumi yang sudah berstatus “darurat lingkungan”.
Bagaimana Indonesia
Bagi Indonesia, pertemuan tersebut menjadi paradoks. Disatu sisi, dihadapan komunitas internasional Indonesia menyatakan komitmennya terhadap isu lingkungan hidup dan bersedia bekerjasama menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan.
Seperti yang dikatakan Menteri LH Gusti Muhammad Hatta dalam petemuan tersebut, “Krisis global saat ini, yakni krisis ekonomi dunia dan krisis perubahan iklim, memberikan pelajaran yang berharga kepada seluruh bangsa di dunia. Krisis global hanya menyediakan pilihan untuk merubah pola pembangunan menjadi pembangunan yang tidak berpihak kepada pro-growth, namun juga pro-poor, pro-job, dan pro-environment.” Pernyataan tersebut ibarat “angin surga” yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah lingkungan hidup.
Namun nyatanya, Indonesia turut berkontribusi atas terjadinya kerusakan lingkungan pada saat yang sama. Terbentang fakta didepan mata yang tidak bisa disangkal lagi. Bagaimana negara turut andil dalam menciptakan kerusakan lingkungan.
Hutan di Kalimantan yang dulunya rimbun, sekarang menjadi gundul akibat penebangan hutan secara liar. Praktek illegal logging demikian dahsyatnya mencabik-cabik hutan diseantero nusantara tanpa mampu ditangani, akibat aparat penegak hukum yang juga menjadi bagian dari mata rantai mafia hutan. Lahan masyarakat adat disejumlah wilayah diserobot mafia tanah berkedok industri yang diback up pemerintah; baik pusat maupun daerah. Menyebabkan mereka kehilangan lahan dan mata pencaharian. Kasus semburan lumpur Lapindo sejak tahun 2006 sampai saat ini belum selesai ditangani. Padahal telah menelan korban jiwa dan harta benda yang jumlahnya tidak sedikit. Serta kasus-kasus lingkungan lain yang terjadi di sejumlah daerah.
Semata-mata Pengelolaan
Kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi menyiratkan lemahnya peran dan tanggungjawab negara dalam perlindungan lingkungan hidup. Lingkungan hidup dipaksa mengikuti logika pembangunan yang nyatanya kontra-lingkungan. Lingkungan hidup menjadi isu yang dianaktirikan dibawah dominasi isu demokrasi yang nyatanya juga tidak kunjung membawa kesejahteraan.
Isu lingkungan tidak begitu “seksi” karena negara lebih mengutamakan pembangunan berbasis industri. Ekspansi industrialisasi di sejumlah wilayah nyatanya menimbulkan masalah lingkungan ketika pijakan logikanya hanya didasarkan pada pengelolaan (baca eksploitasi), tidak diimbangi dengan perlindungan dan pelestarian. Ditambah dengan tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup.
Akibatnya, lingkungan hidup semata-mata hanya bertumpu pada aspek pengelolaan. Pelestarian dan keberlangsungannya (preservation and sustainability) kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang membawa dampak bagi kehidupan umat manusia.
Umumnya, kerusakan di bidang lingkungan hidup terjadi akibat dua faktor utama. Pertama, pengelolaan lingkungan hidup hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata, sementara prinsip-prinsip lingkungan hidup seperti keberlanjutan, kelestarian, pembangunan berwawasan lingkungan, diabaikan. Kedua, inkonsistensi antara undang-undang lingkungan hidup dengan undang-undang sektoral yang juga terkait dengan lingkungan hidup; UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU Minyak dan Gas Bumi (Migas), UU Kehutanan, UU Industri, UU Tata Ruang, UU Kawasan Pemukiman, dan lain-lain telah memberikan sumbangan cukup signifikan bagi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup; tanah, air dan udara.
Penguatan Konstitusional
Kondisi demikian menyiratkan kekhawatiran akan keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia. Sehingga perlu dipikirkan solusi untuk mencegah dan mengatasi masalah lingkungan tersebut.
Tiga undang-undang lingkungan hidup telah dilahirkan; UU LH No 4/1982, UU PLH No 23/1997 dan UUPPLH No 32/2009. Namun undang-undang tersebut belum mampu mengatasi masalah kerusakan lingkungan yang berdimensi lintas sektoral. UUPPLH No 32/2009 sebagai perbaikan dan penyempurnaan atas dua undang-undang sebelumnya nyatanya juga berbenturan dengan peraturan lain terkait lingkungan hidup. Dalam konteks negara hukum, ia perlu diperkuat secara top down melalui konstitusi.
Ia masih perlu disempurnakan dan di back up secara konstitusional melalui pengaturan norma lingkungan hidup dalam konstitusi. Norma lingkungan hidup yang sebelumnya hanya diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 perlu diperkuat atau diatur dalam bab tersendiri, yang kemudian dijabarkan lagi dalam sejumlah pasal tentang lingkungan hidup. Norma tentang lingkungan hidup dalam konstitusi tesebut akan menjadi payung hukum (umbrella act) bagi peraturan dibawah terkait lingkungan hidup.
Norma lingkungan hidup dalam konstitusi tersebut kemudian menjadi acuan untuk peraturan turunan bagi undang-undang sektoral terkait lingkungan hidup dalam rangka pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. sehingga ada harmonisasi antara keduanya.
Terakhir, perlu perumusan “Paket Undang-Undang Lingkungan Hidup” kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk mengatur pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Paket undang-undang lingkungan hidup ini memuat undang-undang lingkungan hidup serta undang-undang sektoral terkait lingkungan hidup yang dibahas dalam satu paket agar menyelaraskan norma pengaturan lingkungan hidup.
dimuat diharian Fajar 7 Februari 2012