Sumber-sumber Hukum Internasional

Menjawab pertanyaan apakah itu sumber hukum? maka untuk menjawab pertanyaan tersebut diharapkan untuk menyimak kembali beberapa referensi yang menjadi rujukan seperti pada buku Pengantar Ilmu Hukum karangan Van Apeldoorn. Dalam hal ini tentunya sumber hukum yang dimaksud adalah dalam kaitannya dengan hukum Internasional.

Perkataan sumber hukum dapat dipergunakan dalam beberapa arti. Secara material sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber isi hukum atau dasar berlakunya hukum dan atau tempat di mana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Juga dapat pula diartikan sebagai sumber hukum yang mempersoalkan sebab apakah hukum itu mengikat? dan juga berarti sebagai sumber hukum yang menyelidiki masalah apakah yang menjadi dasar mengikatnya hukum itu?

Sedangkan secara formal, sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber yang memuat tentang ketentuan­-ketentuan hukum secara formal yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkrit. Juga dapat berarti sebagai sumber yang merupakan tempat di mana ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum dapat ditemukan dan sumber yang memberikan jawaban atas pertanyaan dimanakah kita dapat menemukan atau mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah di dalam suatu persoalan yang aktual dan konkrit.

Sementara dalam arti lain, sumber hukum dapat diartikan sebagai kekuatan-kekuatan atau faktor-faktor (politic, sociologic, ekonomis, teknis, dan psikologis), yang membantu dalam pembentukan hukum sebagai suatu bentuk perwujudan atau fenomena sosial dalam kehidupan kemasyarakatan manusia. Dapat juga diartikan sebagai sumber hukum yang meneliti faktor-faktor kausal atau penyebab yang turut membantu di dalam pembentukan suatu kaidah.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti lain merupakan masalah yang terletak di luar bidang ilmu hukum (ekstra-yuridis), yang pada hakikatnya merupakan persoalan-persoalan yang terletak di dalam bidang filsafat. Sedangkan sumber hukum dalam arti formal, adalah merupakan persoalan yang terletak dalam bidang ilmu hukum (intra-yuridis).

Berdasar pada deskripsi di atas, manakah di antara ketiga arti sumber hukum tersebut yang terpenting? Bagi seorang yang ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang filsafat atau sejarah hukum, maka baginya sumber hukum yang terpenting ialah sumber hukum dalam arti material dan dalam arti yang lain. Sedangkan bagi seseorang yang belajar hukum positif seperti mahasiswa fakultas hukum, pengacara atau pejabat diplomat, maka baginya sumber hukum yang terpenting adalah sumber hukum dalam arti formal.

Di dalam perpustakaan hukum internasional Inggris, sumber hukum dalam arti material (material sources) sebagaimana yang dikemukakan oleh J.G. Starke1 justru dalam arti yang sebaliknya yaitu sumber hukum dalam arti formal. Oleh karena itu, terlepas dari perbedaan pengertian dan lingkup sumber hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh Starke, yang terpenting bagi kita di dalam mempelajari sumber-sumber hukum internasional adalah bagaimana memahami sumber hukum dalam arti formal, tanpa harus mengabaikan sumber hukum dalam arti material.

Dalam literatur tertulis terdapat dua tempat rujukan yang menempatkan sumber hukum dari sumber-sumber hukum internasional. Pertama, Pasal 7 Konvensi ke-12 Den Haag tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court). Sumber hukum ini tidak pernah terjadi atau terbentuk dalam kenyataannya karena tidak mencapai jumlah ratifikasi yang diperlukan (tidak memenuhi persyaratan). Kedua, Pasal 38 Statuta Mahkamah Inter­nasional, tertanggal 16 Desember 1920, yang tercantum dalam Piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945. Dengan demikian maka sumber hukum internasional merujuk pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional.2

Sebelum menguraikan sumber hukum internasional yang didasarkan pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, terlebih dahulu dikemukan beberapa pendapat para sarjana mengenai sumber-sumber Hukum Internasional. Menurut J.G.Starke3 bahwa sumber-sumber hukum material (maksudnya sumber-sumber hukum formal) adalah “Bahan­-bahan aktual yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi hal-hal tertentu.” Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Starke mengemukakan sumber-sumber hukum material (maksud­nya formal) sebagai berikut:

  1. Kebiasaan;
  2. Traktat;
  3. Keputusan Pengadilan atau Badan Arbitrasi; dan
  4. Karya-karya Yuridis.

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja4 mengemukakan bahwa sumber-sumber Hukum Inter­nasional sebagai berikut:

  1. Perjanjian-perjanjian Internasional;
  2. Kebiasaan-kebiasaan Internasional;
  3. Prinsip-prinsip Hukum Umum; dan
  4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana‑sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara.

Menurut Pasal 38 (1) Status Mahkamah Internasional yang selanjutnya sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB, tanggal 26 Juni 1945 pada pokoknya mengatakan bahwa: Dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan, Mahka­mah Internasional akan mempergunakan:

  1. Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan­ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara­negara yang bersengketa;
  2. Kebiasaan-kebiasaan Internasional sebagai bukti dari pada sesuatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
  3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-­bangsa yang beradab; dan
  4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara-negara, sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah‑kaidah hukum.

Akan tetapi, uraian Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional akan dimulai dengan menganalisis kelemahan-­kelemahan (weaknesses) dan kelebihan-kelebihan (Strength­ens). Kelemahan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu: dikaitkan dengan perkembangan subyek-subyek hukum internasional dan praktek masyarakat internasional maka sumber-sumber hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Inter­nasional tersebut masih harus ditambah lagi dengan sumber-sumber lain. Karena ternyata bahwa pasal tersebut di atas, tidak menyebutkan Mahkamah-mahkamah atau peradilan arbitrasi dan keputusan-keputusan badan-badan atau lembaga-lembaga internasional yang dewasa ini merupakan sumber-sumber hukum yang makin bertambah urgensinya. Baik urutan maupun isi sumber-sumber hukum internasional menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut di atas, belum menggambarkan suatu pendapat yang diterima secara umum.

Adapun kelebihan atau Keistimewaan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional yakni “dengan dicantum­kannya” prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum, sebagai salah satu sumber formal dari hukum internasional dalam Pasal 38 (1) Status Mahkamah Internasional, mengandung suatu keluwesan atau fleksibilitas yang bertujuan untuk memberikan dasar kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah-kaidah hukum baru, dalam hal ini Mahkamah Internasional tidak berhasil menemukan ketentuan-ketentuan hukum positif yang dapat diterapkan kepada masalah yang diajukan kepadanya berdasarkan sumber-sumber hukum primer lainnya seperti perjanjian kebiasaan internasional dan sebagainya. Memberikan dasar hukum atau tempat berpijak bagi kemungkinan timbul atau terbentuknya sumber-sumber hukum baru sebagai akibat perkembangan di kemudian hari.

Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional sumber hukum internasional dapat diklasifikasikan atas dua golongan sebagai berikut: Sumber-sumber utama atau sumber-sumber primer, yang terdiri atas perjanjian-­perjanjian Internasional, kebiasaan-kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip Hukum Umum. Sumber-sumber tambahan, atau sumber-sumber subsider, terdiri atas Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana­-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara.

Urutan sumber hukum internasional di atas, tidak otomatis menempatkan yang satu lebih superior dari yang lainnya. Oleh karena itu, jika persoalan yang timbul adalah manakah di antara ketiga sumber hukum internasional yang primer, menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Inter­nasional tersebut yang paling utama atau yang terpenting? maka pertanyaan ini sulit dijawab, dalam arti tidak dapat dijawab begitu saja. Karena ketiga sumber primer tersebut, mempunyai hubungan yang sangat erat bahkan saling mengisi satu sama lainnya.5 Karenanya terhadap prinsip sumber-sumber hukum internasional primer tersebut, Pasal 18 (1) Statuta Mahkamah Internasional, sama sekali tidak mengaturnya. Bahkan urutan yang ada sama sekali tidak menggambarkan urutan penting/utama dari masing-masing sumber tersebut.

Hal ini mengandung pengertian antara lain bahwa: ketiga sumber tersebut sama penting/sama utama. Tidak ada satu pun dari ketiga sumber primer tersebut yang mempunyai kedudukan yang lebih penting atau lebih utama daripada yang lainnya. Pengutamaan masing-masing sumber primer tersebut adalah tergantung pada pangkal tolak atau sudut pandang, di mana kita memandang/meninjaunya.

Jika ditinjau dari sudut pandang sejarah, maka kebiasaan-kebiasaan Internasional, merupakan sumber yang terpenting/terutama. Karena Kebiasaan-kebiasaan Internasional merupakan sumber hukum yang tertua dalam sejarah. Dilihat dari segi empiris maka, dapat dikatakan bahwa perjanjian­-perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang paling utama atau yang paling penting, dari kedua sumber lainnya; karena kenyataan dewasa ini menunjukkan makin bertambah banyaknya persoalan-persoalan yang diatur dengan perjanjian-perjanjian internasional antara negara­-negara, termasuk pula masalah-masalah yang tadinya diatur oleh hukum kebiasaan. Apabila kita memandang dari sudut fungsinya, maka dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip/ asas-asas hukum umum, merupakan sumber hukum yang terutama atau yang terpenting. Karena, sumber hukum inilah yang bersifat luwes/fleksibel, yakni memberikan kesempatan dan kelonggaran kepada Mahkamah Internasional untuk menemukan atau membentuk kaidah-kaidah hukum baru, yang dapat mengembangkan hukum internasional, atau membuka kemungkinan bagi adanya sumber-sumber hukum internasional yang baru, berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum tadi.

Tanpa harus terjebak dalam perdebatan siapa yang terpenting maka uraian dalam bahasan ini mengikuti urutan menurut Pasal 38 (1) Statuta mahkamah Internasional.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...