Novel Premeditatus (In)Directus

Opini Tribun Timur 15 Juni 2020
Kasus penganiayaan Novel Baswedan, sedang bergulir dan menimbulkan protes keras dari berbagai kalangan. Di persidangan, Jaksa melapis jala dakwaannya dengan tiga jaring pasal penganiayaan, melalui Pasal 355 ayat 1 KUHP, Pasal 353 ayat 2 KUHP, Juncto Pasal 351 ayat 2 KUHP. Tentu tujuannya menjerat dua pelaku, baik RB maupun AKM.
Dakwaannya subsidaritas. Diurut dari hukuman paling berat sampai kepada hukuman yang ringan. Model itu bak jaring berlapis, kalau lolos dipasal lapis pertama masih bisa terjerat dilapis kedua, begitu seterusnya. Dengan harapan, semoga dilapis pertama sudah terjerat sehingga tidak perlu menggunakan lapis selanjutnya. Soal kemudian, mana pasal yang tepat untuk dipertanggungjawabkan oleh kedua pelaku, semua itu tergantung di proses pembuktian.
(Tidak) Dikehendaki
Lalu setelah pembuktian, yang manakah diantara ketiga pasal itu, dapat digunakan untuk menjerat? Setidak-tidaknya, ada dua fakta yang telah terbukti dituntutan, Pertama, penganiayaan itu direncanakan terlebih dahulu. Kedua, ada luka berat.
Kedua fakta untuk kategori luka berat misalnya, dapat merujuk ke Pasal 90 KUHP. Bukan seperti luka berat yang dipahami masyarakat.
Dengan dua fakta tersebut pula otomatis mendepak dakwaan lapis ketiga, Pasal 351 ayat 2 KUHP, yaitu penganiayaan biasa, yang tidak direncanakan dan akibatnya bukan luka berat.
Sekali lagi, perlu diketahui bahwa dalam kasus ini ada perencanaan dan luka berat. Berarti, Pasal 351 ayat 2 terdiskualifikasi. Tidak bisa digunakan. Kini yang bertarung untuk menjerat para pelaku tinggal dua pasal, yaitu Pasal 355 ayat 1 atau Pasal 353 ayat 2 KUHP.
Sebenarnya, kedua pasal ini memiliki elemen yang serupa yaitu sama-sama ada unsur perencanaannya dan ada unsur luka beratnya. Unsur luka berat dalam Pasal 353 ayat 2, bukanlah elemen delik tetapi hanya pemberatan. Dengan titik tolak perbedaannya, kalau Pasal 355 ayat 1, luka berat yang terjadi memang dikehendaki sedari awal oleh pelaku. Sedangkan pasal 353 ayat 2, luka berat yang terjadi pada korban sebenarnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Luka berat itu terjadi karena imbas, bukan tujuan awalnya. Bahasa hukumnya, Pasal 355 ayat 1 itu, dolus premiditatus directus, sedangkan Pasal 353 ayat 2 termasuk dolus premiditatus indirectus.
Namun membahas dolus premiditatus directus dan indirectus, teorinya cukup panjang. Tidak sesederhana yang dipikir oleh publik. Sebagai ilustrasi, pelaku merencanakan untuk menganiaya Novel Baswedan. dalam perencanaan itu memang terbersit niat atau sadar akan perbuatannya dapat mematahkan kakinya, atau membutakan matanya, atau memecahkan kepalanya, dan lain-lainnya. Pokoknya yang menimbulkan luka berat. Bukan luka biasa. Pendek kata, rencana penganiayaan dengan akibat luka beratnya, terpikir bersamaan.
Lain lagi kalau ceritanya, si pelaku hanya merencanakan penganiayaan tapi tidak punya target atau tidak sadar perbuatannya dapat menimbulkan luka berat (membutakan) pada saat penganiayaan direncanakan. Biasanya hanya memukul untuk menakut-nakuti, mengancam, atau mendorong, atau perbuatan lain yang tidak menimbulkan luka berat.
In casu a quo, Jaksa memilih Pasal 353 ayat 2 yang terbukti. Itu artinya, standing nalarnya berpegang pada argumentasi bahwa pelaku merencanakan penganiayaan, tetapi sebenarnya tidak punya kehendak atau tidak sadar perbuatannya dapat melukai berat (membutakan) Novel Baswedan.
Alasan Jaksa memilih Pasal 353 ayat 2 KUHP tergambar dalam keterangan persnya yang menyatakan bahwa pelaku merencanakan penganiayaan, tetapi hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan. Mereka tidak punya niat/sengaja untuk melukai berat.
Namun nalar kritis kasus ini memunculkan tanda tanya, apakah pelaku yang nyata membawa air keras untuk menganiaya Novel Baswedan tidak memiliki kesadaran atau tidak punya niat untuk melukai berat. Itu air keras, cair tapi melepuhkan. Apalagi disiram bagian wajah. Bukan di pantat, pasti terprediksi akibatnya, dengan “sangat” berpotensi membutakan mata.
Tapi sudahlah, Jaksa sudah memilih Pasal 353 ayat 2, bukan Pasal 355 ayat 1 KUHP. Harus dihargai cara pandangnya melihat fakta-fakta persidangan.
(Tidak) Adil
Pasal 353 ayat 2 hukuman maksimalnya 7 tahun. Stelsel pemidanaan yang hanya mencantumkan hukuman maksimal, dalam teori disebut indeterminate sentence. Adalah “suka-suka” pertimbangan jaksa/hakim berapa lama maunya dipenjara, yang penting tidak melebihi 7 tahun, sebagai batas maksimalnya. Jadi, jaksa tidak melanggar KUHP kalau hanya menuntut 1 tahun, toh batas maksimalnya 7 tahun penjara.
Namun, apakah itu adil? Dengan hukuman pasalnya maksimal 7 tahun, korbannya penyidik KPK, akibatnya membutakan satu mata, pelaku sempat buron 2 tahun. Tapi tuntutannya cuma satu tahun, bahkan setengah dari tujuh tahun juga tidak dapat. Jauh dari kata, hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Tapi perkara ini, baru tahap tuntutan. Masih ada putusan hakim. Belum final. Lagi pula Hakim tidak terikat pada tuntutan jaksa. Mereka hanya terikat 3 pasal subsidaritas dalam dakwaan (Vide: Pasal 191 KUHAP), yaitu Pasal 355 ayat 1, Pasal 353 ayat 2 , Pasal 351 ayat 1 KUHP. Terserah hakim menentukan mana pasal yang terbukti berdasarkan urutan dakwaan JPU.
Termasuk berapa lama penjara pelaku dihukum. Semuanya masih tergantung pada pertimbangan hakim. Yang penting jangan melebihi batas maksimal hukuman yang ditentukan pasalnya.
Kini harapan tergenggam di tangan hakim yang mulia. Novel sebagai korban, diantara delik dengan corak kesengajaan premeditatus in (directus). Sang majelis harus mempertimbangkan asa publik yang menggelora. Cukuplah air keras membutakan mata Novel Baswedan. Jangan lagi membutakan nurani para penegak hukum di negeri persada Indonesia.*
Oleh: Muh Nursal NS
Praktisi Hukum
Artikel ini Telah muat Sebelumnya di Harian Tribun Timur, 15 Juni 2020