Putri (Koruptor) Indonesia Masuk “Bui”

Akhir-akhir ini ramai diberitakan tentang kasus korupsi. Kasus  yang melibatkan anggota DPR-RI Angelina Sondakh. Hal tersebut semakin mengungkap bahwa sejumlah perempuan terlibat dalam beberapa kasus korupsi. Media massapun memberitakan berbagai kejadian itu secara besar-besaran. Hingga citra perempuan kembali tercoreng. Sebelum kasus ini, ada beberapa perempuan dengan nama Miranda Gultom, Nunun Nurbaeti. Dan yang paling heboh yaitu kasus penggelapan dana yang dilakukan oleh Malinda Dee. Korupsi selalu berbarengan dengan kekuasaan. Korupsi indonesia telah mencapai tingkat “kronisnya”. Perilaku korup elit penguasa telah menjangkiti semua instansi pemerintahan, pusat dan daerah. Tidak hanya kaum lelaki yang berkorupsi, perempuanpun marak melakukan korupsi.

Fenomena korupsi yang dilakukan perempuan merupakan “efek domino” dari keterbukaan publik bagi perempuan. Akses sosial dan politik telah membuka keterlibatan perempuan di ranah politik melahirkan korupsi. Perempuan yang korup pun sangat dekat dengan instansi pemerintahan karena berhubungan dengan kekuasaan. Mereka terlibat dalam pengambilan keputusan dan pembuat kebijakan. Kasus Angie dan Rosa menjadi bukti konkret. Keduanya menjadi anggota parlemen yang memiliki kekuasaan. Mereka berkesempatan untuk melakukan kejahatan korupsi yang merusak masa depan generasi bangsa

Karena korupsi bersamaan dengan kekuasaan, perempuan yang terlibat dalam ranah kekuasaan berpotensi besar untuk korupsi. Sebagaiman Klitgaard dan Ramirez Torres mengemukakan bahwa korupsi mengikuti kekuasaan. Adanya monopoli kekuatan dan tingginya kekuasaan diikuti dengan pengawasan yang minim, akan membuka peluang besar terhadap tindakan korupsi. Korupsi tidak hanya didasarkan pada keinginan. Namun juga karena telah memperkirakan bahwa hasil yang didapatkan akan lebih besar dari hukuman dan kecilnya kemungkinan untuk tertangkap.  Dahulu kala, banyak lelaki yang korup, itu tidak lebih karena perempuan jarang terlibat dalam kekuasaan sebagai pemegang stake holder kekuasaan. Pada akhirnya keterbukaan publik bagi perempuan sampai hari ini. Belum mampu mengaktualisasikan kepentingan dan kebikajkan perwakilan secara afirmatif sebagai kodrat dan hakikat perempuan yang sesungguhnya.

Stereotype

Keterlibatan perempuan dalam skandal korupsi. Baik bersama dengan suaminya atau perorangan, akan menimbulkan citra negatif seorang perempuan. Perempuan akan menerima “stigma” dan “stereotype” yang tidak nyaman di lingkungan sosialnya. Perempuan terancam didiskriminasikan di ruang publik (public sphere). Fenomena ini tentu menimbulkan stigma negatif bagi kaum perempuan. Karena dibalik kelembutan, kehalusan sikap, tersimpan potensi jahat demi mengeruk harta yang banyak dengan laku cara “korupsi”. Korupsi tak ayal sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang banyak merugikan. Baik masyarakat atau negara. Korupsi akan merusak mental dan sendi kehidupan berbangsa. Korupsi akan menghilangkan martabat bangsa. Terlebih korupsi yang dilakukan perempuan, harkat dan martabat seorang perempuan akan ternodai oleh perilaku korup.

Tudingan negatif bagi perempuan akan bertebaran di publik. Tudingan bad women atau “korupsi perempuan” akan sangat sulit dihindari. Potensi korupsi perempuan tidak jauh berbeda dari laki-laki. Perempuan bisa berbuat kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dalam mengeruk uang negara. Sosok penuh kelembutan perempuan kini menjadi bertanduk, garang, dan siap memangsa uang rakyat. Sementara, sisi positif terlempar digantikan kejahatan. Memang, hukum alam selalu berbunyi kejahatan sekali akan diingat dan dicecar seumur hidup. Inilah realitas yang akan dihadapi perempuan. Stereotipe dan citra negatif akan melekat sebagai sosok korup, jahat dan penuh keculasan, melakukan segala cara demi memenuhi “libido” kekuasaan (Paul Freire).

Korupsi oleh perempuan merupakan bentuk dari kebejatan moral (mores) dan etika (ethic). Perempuan yang dipersepsikan berwatak lembut dan penuh kasih sayang, dapat berbuat nista dan jahat dengan mengambil hak rakyat. Stereotipe “perempuan korup” adalah  anti tesis dari sosok “wonder women”. Sebagai wonder women perempuan adalah pahlawan yang  mementingkan etika keadilan publik.

Perempuan sejatinya harus menjadikan kekuasaan sebagai media pembelajaran dan medan aktualisasi diri untuk meletakkan feminisme politik di dalamnya. Yaitu politik yang penuh kesantunan, kelembutan dan mencerminkan kasih sayang terhadap masyarakat. Naluri keibuan dalam diri seorang perempuan seharusnya diaktualisasikan di ranah kekuasaan. Di tengah carut marut politik dan mental korupsi yang merajalela.

Bukankah perempuan Indonesia yang terlibat di ranah kekuasaan adalah “kartini-kartini” perpolitikan Indonesia. Namun kini berbalik arah, dengan penangkapan, penahanan, vonis terhadap sejumlah tokoh perempuanyang dalam kasus kurupsi. Kini perempuan telah distigmatiasisi sebagai perempuan yang  penuh keculasan, penuh intrik politik dan korupsi. Politik memang adalah ruang dialogis dan aktualisasi diri. Masuk ke ranah kekuasaan, berarti membuka peluang diri untuk ikut dalam arus korupsi adalah sebuah pilihan, bagi seorang perempuan. Ingin Menjadi koruptor atau mencegah korupsi. Ingin Menjadi wonder women yang mengedepankan nilai keadilan, kejujuran, atau ikut arus dengan “lelaki koruptor” lainnya

Perempuan Indonesia

Ada kalanya korupsi juga seringkali dianggap fungsional. Anggapan ini menyebabkan para pelaku korupsi fungsional tidak menganggap dirinya melakukan tindakan kejahatan. Karena merasa dirinya tidak bersalah secara individual.  Dan hanya korban dari sistem yang ada.Korupsi tidak lagi dipandang sebagai aib, namun merupakan risiko pekerjaan. Terdapat anggapan bahwa pembangunan dapat berjalan karena adanya korupsi.

Korupsi pada dasarnya dapat diberantas dengan dua cara, yakni dengan preventif dan dengan cara represif. Pemberantasan dengan cara preventif dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan birokrasi, reformasi birokrasi yang menyeluruh dan berkesinambungan. Sedangkan pemberantasan korupsi dengan cara represif membutuhkan kerjasama aparat hukum yang tidak hanya berkualitas dalam kapasitas keilmuan. Namun juga memiliki integritas moral yang terjaga.

Perempuan memiliki potensi dan peran besar dalam pemberantasan korupsi. Baik dari level tinggi hingga level terkecil seperti keluarga. Dalam level tinggi, perempuan yang memiliki posisi strategis dapat menyuarakan pendapatnya sebagai terobosan untuk membersihkan praktik korupsi. Sedangkan dalam level terkecil seperti keluarga, peran perempuan sebagai seorang ibu menjadi aktor penting dalam pembentukan karakter seorang anak yang salah satunya karakter antikorupsi.

Pada akhirnya, korupsi memang tidak mengenal gender. Perempuan dapat menjadi pelaku korupsi jika memiliki kesempatan dan peluang yang sama dengan laki-laki. Perjuangan posisi perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dengan kaum laki-laki di satu sisi bisa menjadi faktor tumbuhnya korupsi. Namun di sisi lain bisa menjadi “tameng” dan senjata dalam pemberantasan korupsi. Maka pilihan mana yang diambil oleh para perempuan Indonesia. Inilah yang menentukan subur tidaknya korupsi di Indonesia.

Wahyu ekowati Purwaningsih, S.IP.

Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada

You may also like...