Psikoanalisis Hukum
Hukum modern yang cenderung penggunaannya sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki telah memasuki bidang psikologi, seorang ahli filsafat hukum Leon Petrazycki (1867-1931) menggarap unsur psikologi dalam hukum dengan meletakkannya sebagai unsur utama. “Petrazycki berpendapat, bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode interospeksi” (Bodenheimer, 1947: 107). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri. Ia memandang hak-hak dan kewajiban sebagai “phantasmata” yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya.
Penulis berikutnya yang menganalisis hukum dari sudut psikoanalisis adalah Jerome Frank dalam law and modern Mind. Frank dalam ajaran hukum tradisional, melihat adanya keinginan akan kepastian yang ia samakan dengan kebutuhan bayi yang sangat akan kekuasaan yang sempurna (rasa kebapakan). Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget. Secara sistematis ia menjelaskan sebagai berikut:
- Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesepakatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak;
- Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita-cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian yang sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh yang penuh kepastian, dan bisa dikontrol;
- Si anak mendapat kepuasannya akan kerinduannya itu, pada umumnya melalui kepercayaan dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan selalu berhasil;
- Sekalipun orang semakin menjadi dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “ketergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri;
- Hukum bisa dengan muda dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan yang penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab secara fungsional tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai hakim;
- Ayah sebagai hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi dibelakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasitas dan prediktibilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya bahwa sang ayah telah meletakkan itu semua di dalam hukum;
- Dari sinilahlah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah atau bisa dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan.
Pada tahun 1971, juga muncul karya Albert A. Ehrenzweigh, guru besar di universitas California Psychoanalytic Jurisprudence. Tesis yang dikemukakan dalam buku tersebut diringkas dalam kata-katanya “zaman plato telah digantikan oleh zaman freud” (Ehrenzweigh: 1971, 35). Bagian pertama dari bukunya adalah penceritaan kembali suatu daftar panjang dari teori-teori dan pemikiran dalam hukum. Ehrenzweigh menjadikan Freud sebagai titik pusat untuk mengupas semua pemikiran tentang hukum, Freud diterimanya sebagai seorang yang telah mampu menelanjangi apa yang sebetulnya selama ini diperdebatkan di kalangan para teoritisi, sehingga menghasilkan berbagai jenis aliran dan pendekatan dalam ilmu hukum, dengan menggunakan psycoanalysis, mengaitkan dengan persoalan superego, ego, Ehrenzweigh mengupas soal keadilan, kesalahan dalam hukum perdata dan pemidanaan.