Hak Asuh Anak dalam Undang-Undang

Perbincangan   mengenai hak  asuh anak   pasca- perceraian di lingkungan masyarakat kerap  memposisikan hakim agama tak ubahnya corong  undang-undang.  Apa  yang  telah  menjadi  bunyi  pasal  dalam sebuah sumber hukum, itulah yang diterapkan tanpa menginterpretasi ulang kontekstualitasnya.  Oleh  karena  itu,  ada  beberapa  catatan akademis yang perlu diluruskan supaya publik tidak simplistis dalam menilai dasar pertimbangan hakim dalam memutus sengketa hak asuh anak.

Pertama,  tidak  bisa  dimungkiri  bahwa  produk  putusan  hakim bersifat hitam-putih, legal-formal. Hal ini selain mengandung sengketa (contentious), supaya ada nilai kekuatan hukum yang mengikat dan justifikasi terhadap perkara yang diadili. Namun, tidaklah berarti hakim mempertimbangkan putusan dengan menggunakan kacamata kuda. Banyak pendekatan disiplin ilmu, semisal psikologis dan sosial, khususnya dalam mengadili sengketa hak asuh anak.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan istilah mumayyiz (sebutan  untuk  anak  yang matang  secara  psikologis)  bertujuan  agar hakim mafhum bahwa menjatuhkan hak asuh bukan saja bersandar pada parameter umur, melainkan kualitas kematangan psikologis. Namun mengukur kematangan mental bukan saja berlaku kepada anak, tetapi juga orang tua yang mengasuhnya. Banyak orang tua yang memiliki anak, namun tidak memiliki kedekatan psikologis dengan anak lantaran punyakontrol yang buruk dalam mengatur ritme kejiwaannya. Sehingga susah pula memahami dan mengembangkan kejiwaan anak.

Persangkaan hakim berdasar fakta persidangan menjadi pintu masuk dalam memandang secara psikologis persoalan hak asuh anak. Hakim bisa menilai dan menakar kedekatan psikologis orang tua terhadap anak/sebaliknya guna dijadikan bahan pertimbangan. Di zaman khalifah Sayyidina Ali ibn Abu Talib, pernah terjadi kasus perebutan hak asuh anak pasca-perceraian. Karena kedua orang tua sama-sama berkeras ingin menguasai anak, Sayyidina Ali memerintahkan agar si ayah memenggal badan anaknya  dan membagi  dua.  Satu bagian  untuk  ayah  dan  satu bagian lain untuk ibu.

Ayah setuju karena menganggapnya lebih adil. Namun ibu dari anak tersebut menangis dan menolak  karena merasa kasihan anaknya dipenggal. Contoh riwayat itu menunjukkan bahwa si ibu lebih memiliki sensitivitas, rasa iba dan kedekatan psikologis dengan anak ketimbang ayahnya. Sehingga si ibu dianggap lebih mampu mengasuh, mendidik dan memahami kondisi psikologis anaknya. Oleh karena itu, hak asuh anak dijatuhkan kepada ibu.

Keharusan  agar hakim  sekadar memahami   perkembangan psikologis anak,  akan     melahirkan putusan  parsial  dan      nirkeadilan. Keadilan hukum terhadap anak  harus terlebih dahulu mempertimbangkan sejauh mana kemampuan orang tua dalam memberikan keteladanan bagi perkembangan karakter anak. Meskipun dalam pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun hakim dapat melakukan diskresi bahwa tidak selamanya seorang ibu menjadi pemegang hak asuh terhadap anak. Jika dalam fakta persidangan terungkap bahwa si ibu adalah seorang pemabuk, penjudi, suka memukul, kerap menelantarkan anak atau tidak cakap untuk memelihara anak, bisa saja hak asuh diserahkan ke pihak ayah.

Kedua, opini publik cenderung membenturkan persepsi paradoks isi putusan, antara menjatuhkan hak asuh kepada ibu, sementara ayah juga berkewajiban mencurahkan kasih sayang terhadap anak tanpa batas waktu. Seolah putusan itu mencerminkan bentuk kegamangan hakim. Dalam Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan pasal 45 ayat (2) disebutkan bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal itu mengindikasikan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak tidak boleh diputus ataupun dihalang-halangi. Adanya penguasaan anak  secara  formil  oleh salah       satu  pihak   pada  hakikatnya  untuk mengakhiri sengketa perebutan  anak.  Yang apabila  sengketa  itu  tidak diputus di pengadilan, akan menjadi berlarut-larut, sehingga muaranya anak menjadi korban. Banyak sekali setelah proses perceraian seseorang tidak mempersoalkan hak asuh anak,         karena keduanya sepakat mengasuh  dan  mendidik  anak  bersama-sama.  Tapi  bagaimana  jika muncul sengketa perebutan hak asuh anak yang terjadi terus-menerus yang merugikan masa depan anak? Haruskah anak tersebut dipenggal dan dibagi dua? Ataukah anak berlalu lalang membagi hari kunjung hanya untuk memenuhi egoisme ayah dan ibunya? Di sinilah pengadilan harus menimbang siapa yang paling cakap memelihara anak, tanpa membatasi kasih sayang keduanya sebagai orang tua.

Penguasaan secara hukum atas anak oleh salah satu pihak, bukan berarti menghalangi atau memutus hubungan dengan pihak lain. Itu bertentangan dengan hukum Islam. Ini semacam ijtihad hakim supaya kedua belah pihak berhenti bertikai dan perkembangan mental anak tidak terganggu. Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan bahwa menghindari kerusakan (mental  anak)  lebih  didahulukan  daripada  mengambil kemaslahatan. Maknanya, penguasaan tunggal atas anak oleh salah satu pihak bertujuan untuk menempatkan anak bukan sebagai korban pertikaian.  Anak harus diberikan kepastian hukum (rechtzekerheid) oleh siapa dia diasuh supaya tidak seperti barang dagangan yang diperebutkan.

Di masa mendatang, supaya tidak terjadi penutupan akses anak- orang tua, perlu mekanisme pemantauan atas pelaksanaan isi putusan pengadilan. Komisi perlindungan anak dapat berperan dalam ranah itu. Jika terbukti ada pelanggaran, perlu jerat pidana yang bersifat menjerakan supaya anak tidak menjadi korban tarik-ulur orang tuanya. Apalagi hingga sekarang, pemamahan boleh tidaknya mengeksekusi anak di kalangan praktisi hukum masih debatable.

 

 

Tulisan ini juga dapat dilihat pada : Koran Jurnal Nasional edisi 17 September 2011

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...