Jual Beli Pasal Narkotika
Berita dari halaman pertama harian ini, kemarin (Tribun Timur, 21/4/017) “Dari Bandar Jadi Pemakai Sabu” cukup mengejutkan dan menggemparkan kita semua, dengan diulasnya peran dari salah satu Bandar narkotika bernama Herman Parenrengi (HP) telah melakukan jual beli pasal dengan seorang oknum jaksa cantik berinisial T.
Sebagaimana diberitakan bahwa pada Juni 2016 HP sudah pernah tertangkap di sebuah kafe karena sangkaan dalam penguasaan 7,1 gram Sabu di rumahnya (di Sapiria) saat penggrebekan Jilid I (Februari 2015), oleh Kepolisian kemudian ia dinyatakan sebagai tersangka berstatus Bandar, tetapi pada proses hukum selanjutnya HP hanya dituntut, dan divonis oleh pengadilan sebagai terpidana narkotika berstatus pemakai saja. Hukumannya hanya satu tahun masa rehabilitasi.
Buntut dari terungkapnya kasus ini, gegara dalam penggrebekan kembali yang di lakukan oleh 30 personil gabungan Brimob, Ditresnarkoba, Ditsabhara Polda di kampung Sapiria (20/4/017), tiba-tiba HP tertangkap lagi bersama 10 anak buahnya, padahal dirinya masih dalam status rehab hingga 30 Oktober 2017. Rupa-rupanya, HP masih mengendalikan bisnis haram itu, dari asrama sabu miliknya di Sapiria.
Merunut kembali ke belakang, oleh Kepolisian sudah diperoleh barang bukti sebanyak 7,1 gram sabu dalam penguasaan HP, telah pula diadakan tes urine dan ia terbukti “negatif” memakai narkotika. Sehingganya, Bagaimana mungkin secara tiba-tiba oleh Kejaksaan (oknum Jaksa cantik berinisial T) mampu memutarbalikkan fakta kalau HP hanya berstatus pemakai Narkotika? Kemana barang bukti tersebut? Dan atas dasar apa HP dapat dikualifikasi sebagai pemakai kalau hasil tes urine-nya justru terbukti negatif?

Sumber Gambar: inikata.com
Jual-beli Pasal
Dalam perspektif hukum pidana kemudian, bukan hanya HP yang perlu untuk ditelaah dan diusut kasus hukumnya. Akan tetapi lebih dari itu, semua penegak hukum yang pernah terlibat dalam penanganan kasus HP pun harus “diusik kembali,” mereka perlu diusut dan diproses dalam due process of law agar citra penegakan hukum tidak semakin memburuk di mata publik.
Dan oleh karena kasus jual-beli pasal ini melibatkan tiga institusi penegakan hukum, maka “kuat dugaan” HP tidak hanya melakukan penyuapan terhadap oknum pejabat Kejaksaan. Sangat memungkinkan pula melibatkan oknum pejabat Kepolisian dan pejabat hakim Pengadilan menerima “uang haram” dari HP, sehingga kasusnya hampir saja tidak terendus ke media.
Mengapa oknum pejabat Kepolisian diduga juga terlibat? Sudah jelas-jelas bisa terbaca dari “tutup mulut” nya dalam selang beberapa bulan atas kasus itu ke media, padahal sedari awal sudah pasti diketahui kalau dakwaan dan tuntutan Jaksa mengalami perubahan pasal, hingga jatuhnya vonis terhadap pelaku hanya sebagai terpidana pemakai Narkotika.
Sama halnya dengan hakim pengadilan, hal itu bisa terbaca pula dari kekeliruannya menggali fakta-fakta hukum selama persidangan, ia tidak menjalankan fungsinya sebagai pencari kebenaran materil. Padahal seorang hakim dalam fase pembuktian, dapat saja meminta hasil tes urine, termasuk dapat meminta berita acara penyidikan yang pernah dilakukan oleh Kepolisian.
Berpijak dari “dugaan kuat” itu, maka langkah berikutnya yang harus dilakukan terhadap tiga oknum penegak hukum yang pernah terlibat dalam penanganan kasus HP, yaitu: Pertama, pemeriksaan secara etik kepada tiga oknum penegak hukum tersebut yang kemungkinan besarnya kalau terbukti masing-masing telah melakukan pelanggaran etik (berat), maksimal dapat diberhentikan dari jabatannya. Kedua, pemeriksaan melalui hukum acara pidana oleh institusi hukum yang mandiri. Tidak dapat kemudian dipercayakan kasus tersebut kepada Kepolisian karena sulit menghilangkan konflik kepentingan yang terjadi di dalamnya. Mau tidak mau karena kemungkinan besarnya terjadi penyuapan di tiga pejabat institusi (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan), sehingga harapan pemeriksaan itu hanya dapat dipercayakan melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Singkat dan sederhana, dengan berangkat dari kasus ini pula, sepertinya di masa mendatang dengan harapan penegakan hukum dapat berjalan secara transparan, ada baiknya praperadilan dalam fungsi pengawasan horizontal, perubahan pasal atas dakwaan jaksa dari hasil proses penyidikan kepolisian seyogianya dapat diuji melalui forum praperadilan pula. Langkah ini sehemat-hematnya dapat menghindarkan proses hukum dari intervensi tersangka atas kekuasaan materi yang dimilikinya.
Satu Institusi
Dimahfumi bersama bahwa sulitnya memberantas peredaran Narkotika oleh karena muaranya yang bernama Bandar sulit dicegat.
Dalam kenyataannya, Bandar sangat lihai menghilangkan barang bukti, juga hebat dalam “persekongkolan jahat” dengan beberapa penegak hukum, maka sebaiknya institusi yang akan menangani kasus narkotika difokuskan pada satu institusi saja.
Jadi, Badan Narkotika Nasional (BNN Provinsi dan Kabupaten) yang saat ini telah diberi wewenang melakukan penyelidikan kasus-kasus Narkotika, cukup di tangani oleh lembaga ini saja. Bersamaan dengan itu, perlu pula penambahan anggaran pada institusinya. Dan dengan demikian BNN bisa dituntut secara ekstra untuk menangkap semua Bandar narkotika.
Dan penting kemudian untuk menjadi kajian bersama, bahwa memutus sirkulasi peredaran narkotika memang harus dimulai dari hulunya. Simaklah! Dalam beberapa hasil penelitian dan karya ilmiah, banyak terungkap kalau Bandar narkotika betapa gampangnya membeli keadilan. Dengan modal besar Bandar dari hasil penjualan “barang haramnya” bukanlah perkara sulit untuk menyogok sejumlah oknum penegak hukum, sehingga usahanya tetap berjalan lancar.
Bisnis narkotika tiada lain bisnis yang sangat menjanjikan untuk mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Oleh karena itu dengan kembali pada saran yang telah diuraikan di atas, tak ada jalan lain untuk membuat usaha para Bandar, akhirnya “gulung tikar” dengan memfokuskan pencegahan dan pemberantasan narkotika, cukup di satu institusi.
Lalu kemudian, perekrutan pejabat untuk institusi sekelas BNN harus dilaksanakan secara transparan. Angkatlah pejabat yang betul-betul berintegritas, profesional, kompeten, dan sadar akan tanggung jawabnya untuk pemberantasan narkotika.
Di atas segalanya, negara harus berpacu dengan waktu, berikanlah gaji yang setimpal kepada setiap pejabat (BNN) yang telah dibebani kewenangan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika, sebab aksi dan lakon jahat para ”Bandar” sudah demikian parah di negeri ini. *