Alat Bukti Petunjuk
Sebagai salah satu inovasi hukum, ada sebagian ahli hukum pidana berhasrat meniadakan petunjuk sebagai alat bukti. Van Bammel (dalam Hamzah, 2009: 272) menilai bahwa alat bukti sama sekali tidak ada artinya. Mustahil mengatakan sebagai alat bukti lalu pada hakikatnya, wujudnya itu tidak ada.
Sama halnya dalam hukum perdata formil alat bukti persangkaan. Juga nyatanya demikian tidak ada. Oleh karena lebih pada kewenangan atau otoritas penilaian, penafsiran bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Apalagi dalam Pasal 188 ayat 1 KUHAP menegaskan “petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.“ Oleh karena itu petunjuk lebih dekat dengan istilah sebagai penilaian atau pengamatan hakim. Untuk menghindari dominasi subjektif hakim yang tidak wajar, mendorong pembuat Undang-undang sedini mungkin memperingatkan hakim, supaya penerapan dan penilaian alat bukti petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, serta harus lebih dahulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Demikian ketentuan impertif dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP, “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijkasana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.”