TENTANG PEMBATALAN PASANGAN CALON SAYAMM DALAM PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN SINJAI

Sumber Gambar: inikata.com
Jauh-jauh hari sebelumnya, oleh beberapa teman-teman di Kabupaten Sinjai meminta ulasan dari saya melalui tulisan perihal benar tidaknya keputusan KPU Kabupaten Sinjai dalam pembatalan paslon SAYAMM, satu hari sebelum hari pemungutan suara dalam tinjauan hukum pemilihan. Pada waktu itu, sengaja saya tidak memberikan pendapat melalui artikel atau opini di salah satu harian media cetak, dengan pertimbangan menjaga independensi setiap penyelenggara pemilihan, termasuk MK yang akan mengadili kasus tersebut. Sedari awal saya juga sudah memprediksi kalau perolehan hasil pemilihan bupati dan wakil bupati sinjai akan berujung di MK.
Toh semua sudah berakhir, MK tidak menerima permohonan paslon TAKBIR, sehingga sudah dapat dipastikan kalau yang akan menduduki jabatan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sinjai periode 2018-2023 adalah SEHATI.
Dan terlepas dari semua itu, menguliti isu hukum pembatalan paslon SAYAMM karena terlambat dalam menyampaikan LPPDK-nya terdapat dua persoalan mendasar, diantaranya: (1) Apakah pembatalan paslon yang terlambat menyampaikan LPPDK-nya masih dapat mengajukan sengketa ke Panitia Pengawas Pemilihan? (2) Apakah KPU Kabupaten menjadi wajib untuk mengumumkan pembatalan pasangan calon tersebut ke tiap jajarannya (dari PPK, PPS, dan KPPS) sebelum semua pemilih mencoblos surat suara, beserta dengan catatan bahwa kalau paslon bersangkutan tetap dipilih akan menjadi suara yang tidak sah?
Dua pertanyaan di atas saya akan memulai mengulasnya dari sudut hukum pemilihan secara positum (berdasarkan undang-undang yang telah terlembagakan) atau secara de jure. Di akhir tulisan ini saya akan menguraikan pula bagiamana yang semestinya atau apa yang dikenal sebagai hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) terkait dengan ketentuan hukum yang sarat keadilan dalam hal paslon dibatalkan setelah melewati 30 hari sebelum pemungutan suara.
TIDAK ADA SENGKETA SETELAH H-30
Paslon SAYAMM dibatalkan berdasarkan Pasal 34 ayat 1, ayat 2 dan Pasal 54 PKPU Nomor 5 Tahun 2017. Agar tidak menjadi bias saya kutip secara utuh bunyi dari ketentuan tersebut sebagai beriikut: Pasal 34 PKPU Nomor 5 Tahun 2017 menegaskan “(1) Pasangan Calon menyampaikan LPPDK kepada KPU Provinsi/KIP Aceh untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota paling lambat 1 (satu) hari setelah masa Kampanye berakhir; (2) LPPDK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat pukul 18.00 waktu setempat;” “Pasal 54 PKPU menegaskan Pasangan Calon yang terlambat menyampaikan LPPDK kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Pasangan Calon.”
Kalau dicermati lebih lanjut ketentuan tersebut, tentu memunculkan pertanyaan: mengapa PKPU tiba-tiba bisa mengatur mengenai pembatalan paslon karena keterlambatan penyampaian LPPDK, padahal yang demikian tidak diatur dalam Undang-undang Pemilihan, apakah bisa dibatalkan tanpa ada ketentuan yang mengaturnya di dalam Undang-undang Pemilihan? Jawabannya, bisa. Dan pembatalan tersebut sangat berdasar hukum. Dasar argumentasinya, yaitu: Undang-undang Pemiliihan zakelijk mengatur bahwa kalau paslon terbukti misalnya menerima dana kampanye dari penyumbang yang tidak jelas atau menerima dana asing atau dana dari pemerintah atau dari BUMN, kemudian tidak menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara, maka harus dibatalkan sebagai paslon (Vide: Pasal 76 ayat 1, ayat 2, ayat 3 ayat 4, dan ayat 5 UU Pemilihan). Dalam kasus pembatalan paslon SAYAMM, adalah bagaimana mungkin bisa diperiksa sumber pendanaan kampanyenya (apakah bukan dari dana asing atau dana yang tidak jelas penyumbangnya atau dana dari pemerintah atau dari BUMN), kalau sudah terlambat pelaporannya. Logika hukumnya, karena mustahil dapat diperiksa asal-usul dana kampanye bersangkutan, maka akibatnya harus ada pembatalan.
Lanjut ke-persoalan berikutnya: apakah pembatalan paslon SAYAMM dapat disengketakan di Panitia Pengawas Pemilihan? Konstruksi hukum pemilihan berdasarkan dasar hukum yang mengaturnya, pada hakikatnya tidak membuka lagi peluang sengketa di hadapan Panitia Pengawas Pemilihan setelah meelewati 30 hari sebelum pemungutan suara (H-30). Limitasi sengketa H-30 itu didasari oleh dua ketentuan hukum.
Pertama, Pasal 154 ayat 12 UU No.10/2016 menegaskan: “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.” Ketentuan ini jangan dikira hanya berlaku terhadap putusan pengadilan dalam hal terdapat paslon yang mengajukan sengketa TUN Pemilihan di hadapan pengadilan, sebab gugatan atas SK KPU mengenai penetapan paslon selalu berawal dari Panwas Pemilihan. Dan Jika paslon tidak menerima putusan Panwas, masih bisa mengajukan ke tahapan sengketa berikutnya (PTTUN hingga MA).
Jika suatu gugatan dimana ada putusan pengadilannya saja tidak bisa ditindaklanjuti oleh KPU karena melewati H-30, maka dapat dipastikan pula tidak ada guna-gunanya mengajukan sengketa setelah H-30, sebab tidak dapat dieksekusi atau ditindaklanjuti oleh KPU.
Kedua, Pasal 33 PKPU Nomor 8 Tahun 2018 menegaskan: (1) Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari sebelum pemungutan suara sampai dengan hari pemungutan suara, terdapat Pasangan Calon yang berhalangan tetap: a. KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib mengumumkan kepada masyarakat; dan b. ketua KPPS mengumumkan melalui papan pengumuman di TPS dan/atau secara lisan menyampaikan kepada Pemilih pada saat Pemungutan Suara. (2) Apabila Pasangan Calon yang berhalangan tetap atau dibatalkan sebagai Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh suara, perolehan suara dimaksud dinyatakan tidak sah. Ketentuan ini meskipun berbeda nomenklaturnya dengan PKPU No.5/2017, setidak-tidaknya terdapat tafsir historis yang dikehendaki oleh pembentuk PKPU yang dapat kita tarik maksud dan tujuannya, yaitu: dengan tidak dibukanya lagi “penggantian” paslon yang berhalangan tetap setelah H-30, dan kalau memperoleh suara dinyatakan tidak sah. Adalah suatu prakondisi yang mengisyaratkan bahwa memang tidak ada peluang sengketa pula setelah H-30 itu. Jika penggantian paslon saja tidak dimungkinkan, terlebih-lebih peluang pemulihan pembatalan pasangan calon melalui permohonan sengketa pemilihan.
Kesalahan fatal Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten Sinjai kemarin dalam menerbitkan rekomendasi adalah mengkonstruksi secara langsung Pasal 34 Junto Pasal 54 PKPU Nomor 5/2017 ke Pasal 33 PKPU Nomor 8/2018 secara sistematis. Padahal dua peraturan itu memiliki subtitle atau nomenklatur yang berbeda, satu mengenai Dana Kampanye Peserta pemilihan, dan satunya lagi mengenai Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Pemilihan. Metode tafsir yang demikian jelas menyalahi asas Titulus Est Lex atau Rubrica Est lex (judul perundang-undangan menentukan isi dan bagian-bagiannya).
Seharusnya dengan berdasarkan Pasal 154 ayat 12 UU Pemilihan tersebut, KPU Kabupaten Sinjai tidak benar pula kalau memberikan kesempatan kepada paslon SAYAAM untuk mengajukan sengketa pemilihan. Dan seharusnya lagi ketika Panwas menerima permohonan paslon SAYAMM, menyatakan kalau dirinya tidak berwenang lagi untuk memeriksa dan mengadilinya. Panwas Pemilihan Kabupaten Sinjai hanya dapat menerbitkan putusan yang dalam amarnya TIDAK DAPAT MENERIMA permohonan pemohon, karena batas waktu mengajukan sengketa sudah lampau waktu.
PEMBATALAN PASLON WAJIB DIUMUMKAN KE PEMILIH
Adalah kurang tepat jika pembatalan paslon SAYAMM karena keterlambatan dalam pelaporan LPPDK-nya wajib diumumkan sebelum pemungutan suara dengan menggunakan konstruksi Pasal 33 PKPU Nomor 8 Tahun 2018, sebab hal itu bertentangan dengan asas Titulus Est Lex. Lantas dimana dasar hukumnya, sehingga kewajiban mengumumkan itu harus dipenuhi? Pertama, karena sudah tidak ada peluang sengketa setelah H-30, berarti pembatalan itu sudah menjadi pasti. Dan karena sudah pasti pembatalannya menjadi niscaya untuk diumumkan. Tujuan mengumumkan pembatalan tersebut tidak sembarang, bukan tidak ada tujuannya, tetapi semata-mata demi memberikan kepastian kepada pemilih. Suatu pelanggaran atau pencabutan hak daulat rakyat, jika calon yang akan dipilihnya tidak jelas statusnya. Toh jika pada akhirnya pemilih tetap mencoblos paslon yang telah dibatalkan setelah diumumkan pembatalannya, negara yang diwakili oleh pemangku kepentingan an. KPU Kabupaten dalam kondisi itu sudah menunaikan kewajibannya. Segala konsekuensi akibat pencoblosan atas paslon yang sudah dibatalkan sudah menjadi tanggungan pemilih semata. Perlu diketahui pula bahwa tujuan dari pemilihan langsung adalah mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Kalau berada dalam ketidakpastian atas calon yang akan dipilihnya, yang demikian sudah jelas-jelas menyalahi tujuan pemilihan langsung, sebagaimana yang dikehendaki terbangun hubungan psikologis antara pemilih dengan pasangan calon yang akan dipilih.
Kedua, setiap produk hukum yang diterbitkan berupa keputusan/ketetapan (beschikking) itu sifatnya mengikat secara konkret, individual, dan final. Bahkan sifat mengikatnya produk hukum tersebut dikunci oleh asas praduga hukum yang bernama persumptio iustae causa, setiap keputusan mengikat sepanjang tidak pernah dibatalkan. Dan karena sifatnya mengikat keputusan itu, tentu akibat hukumnya khusus untuk keputusan pembatalan paslon sudah menjadi pasti, karena sudah pasti maka wajib diumumkan kepada pemilih agar tidak menganggu hak pilihnya dalam suatu “kepastian” calon yang akan dipilih. Saya tidak dapat membayangkan kalau paradigma keputusan KPU Kabupaten dinyatakan belum inkra (belum berkekuatan hukum tetap) karena masih ada waktu untuk menggugat sahnya keputusan. jikalau misalnya terdapat paslon yang dibatalkan oleh KPU sebelum H-30, mengajukan permohonan sengketa di Panitia Pengawas Pemilihan, kemudian berlanjut lagi ke PTTUN, kemudian ke MA, namun MA belum menerbitkan Putusan hingga melewati masa H-30: Apakah KPU akan berdalil kalau pasangan calon tersebut masih bisa diikutkan dalam tahapan pemungutan suara? Apakah calon bersangkutan masih bisa dicetak gambar, nama, dan nomor urutnya di surat suara? Tentunya tidak dimungkinkan, karena putusan pengadilan yang diharapkan dapat menganulir pembatalan termohon itu sudah lampau waktu.
Maka sangatlah keliru, jika KPU dengan kuasa hukumnya yang kemudian turut dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi beranggapan kalau tindakan tidak mensahkan suara paslon SAYAMM dari awal (saat penghitungan suara di KPPS) adalah bedasarkan pada asas kehati-hatian. Semata-mata untuk menghindari tercampurnya suara yang tidak sah, kelak kalau Putusan Panwas Pemilihan menganulir pembatalan paslon SAYAMM. Perlu diketahui, bahwa sandaran hukum dalam pembatalan paslon yang telah melewati H-30 adalah undang-undang beserta dengan asas-asas hukum yang membuntutinya. Sebab sekali lagi, setelah H-30 tidak ada lagi sengketa yang dapat diajukan dalam format gugatan menguji keabsahan SK KPU tentang penetapan atau pembatalan pasangan calon.
Sebagai catatan demi menghindari perseden buruk ke depannya, persepsi mengenai keputusan KPU dapat dinyatakan belum inkra. Sama sekali dasar-dasar hukum administrasi tidak pernah melahirkan teori-teori yang demikian. Terdapat tiga fungsi kekuasaan dengan produk hukumnya masing-masing. Legislatif dengan UNDANG-UNDANGNYA, eksekutif dengan KEPUTUSANNYA, pengadilan dengan PUTUSANNYA (BEDAKAN DENGAN KEPUTUSAN). Hanyalah produk hukum pengadilan yang berupa PUTUSAN dapat dikatakan belum memiliki kekuatan inkra, karena masih terbukanya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak. Undang-undang memiliki kekuatan mengikat dalam asasnya ignorantia legis excusat neminem, keputusan atau ketetapan mengikat dalam asasnya praesumptio iustae causa (vermoeden van rechmtmatigheid), putusan pengadilan inkra mengikat dalam asasnya res judicata proveritate habetur.
BAGAIMANA YANG SEMESTINYA?
Jika dalam pembatalan paslon SAYAAM oleh KPU Kabupaten Sinjai kemarin, tidak menginstruksikan kepada jajarannya agar mengumumkan pembatalAn tersebut, dan tidak menyatakan suara paslon SAYAAM sebagai suara yang tidak sah mulai dari tingkat KPPS, cukup kita mahfumi bersama. Bukan perkara gampang melahirkan konklusi dalam melahirkan tindakan yang lebih tepat, antara mengumumkan dan menyatakan suara paslon yang telah dibatalkan dari awal adalah suara tidak sah jika mendapat perolehan suara, sebab memang PKPU Nomor 5 Tahun 2017 tidak mengatur secara jelas tentang itu. Dibutuhkan pendalam asas-asas hukum atas kekaburan dalam PKPU tersebut, sebagaimana fungsi asas-asas hukum yang memberi “cahaya” yang lebih terang dari lentera norma yang dipantulkannya.
Bagaimanapun ke depannya, dengan belajar dari kasus tersebut maka pembenahan UU Pemilihan yang sejalan dengan tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian). Adalah tidak boleh dibiarkan adanya pembatalan paslon tanpa tersedia ruang atau pranata bagi pencari keadilan yang hak dan kepentingannya dirugikan. Apa jadinya jika KPU Kabupaten ternyata sewenang-wenang membatalkan paslon, lalu tidak tersedia forum untuk menguji kesewenang-wenangan itu. Sejalan dengan itu, terhadap paslon/calon yang dibatalkan karena berhalangan tetap, semestinya pula disediakan ruang atau waktu bagi parpol pengusung, bisa mengganti paslon/calon yang telah dinyatakan berhalangan tetap itu.
Cara menyediakan ruang keadilan dari setiap keadaan hukum tersebut, yaitu dengan menunda pemungutan suara. Paslon yang dibatalkan karena terlambat menyampaikan LPPDK-nya, bisa mengajukan sengketa ke Panitia Pengawas Pemilihan – PTTUN – MA, jika dinyatakan oleh putusan Panwas atau putusan pengadilan tidak sah pembatalannya, maka tidak perlu ada pencetakan surat suara yang baru. Dan sebaliknya kalau sah pembatalannya, maka sudah pasti harus ada pencetakan surat suara yang baru tanpa paslon yang sudah dibatalkan. Demikian pula paslon yang dinyatakan berhalangan tetap, diberikan kesempatan kepada parpol pengusungnya untuk mengajukan calon pengganti baru yang diikuti dengan pencetakan surat suara yang baru atas nama calon yang memenuhi syarat pengganti tersebut.
Konsekuensi dari pengaturan hukum yang seperti itu, jelas harus terakomodasi dalam syarat diadakannya pemilihan lanjutan. Pasal 120 Undang-undang Pemilihan harus menambahkan satu ayat: bahwa dalam hal terdapat paslon yang dibatalkan kemudian mengajukan sengketa pemilihan atau terdapat penggantian paslon/calon yang dari paslon/calon dinyatakan berhalangan tetap maka dilakukan pemilihan lanjutan.
Putusan MK dalam kasus PHP Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sinjai kemarin meninggalkan preseden hukum yang berbahaya dimasa mendatang. Jikalau dikemudian hari, terdapat paslon yang dibatalkan karena keterlambatan pelaporan LPPDK-nya, lalu ternyata meraih suara terbanyak pertama. Maka menjadi gampang bagi paslon peraih suara terbanyak kedua, cukup mengutip Putusan MK dari kasus PHP Kabupaten Sinjai tersebut, potensial-lah permohonannya dikabulkan. Semua keadaan-keadaan tersebut tentunya dapat diantisipasi lebih dini dengan membenahi perangkat hukum pemilihan sebelum kita berlanjut di tahapan pilkada serentak berikutnya.
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Owner negarahukum.com