Buruh Menjerit, Pemerintah “Gagal”

Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan sebutan “Mey Day” yang diperingati setiap tanggal 1 Mei merupakan hari bersejarah bagi kaum buruh dan seluruh rakyat didunia. May day lahir dari perjuangan panjang dan sengit kaum buruh. Dalam memperjuangkan kondisi kerja dan syarat-syarat kerja yang pada saat itu berada dalam belenggu perbudakan industri. Perjuangan ini di arahkan untuk kehidupan yang lebih sejahtera, manusiawi dan berkeadilan sosial. Peringatan Hari Buruh Internasional selalu memiliki makna penting bagi kaum buruh didunia tak terkecuali bagi kaum buruh di Indonesia, apalagi May Daytahun ini berada pada kondisi dimana Indonesia dalam masa krisis mutlidimensi.

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh adalah mereka yang bekerja atau menerima upah/imbalan dalam bentuk lain. Terminologi atau istilah buruh ini kemudian diganti dengan tenaga kerja pada era Orde Baru karena konotasi “buruh” yang dinilai negatif. Sedangkan, Tenaga Kerja sendiri adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Buruh atau tenaga kerja ini bisa dibagi ke dalam kelompok pekerja “kasar” dan pekerja “profesional”. Pekerja “kasar” identik bagi pekerja yang melakukan pekerjaan mengandalkan kemampuan fisiknya. Sementara, pekerja “profesional” identik dengan pekerja yang bekerja dengan mengandalkan kemampuan intelektual dan keterampilannya dalam bekerja

 Politik Perburuhan ala Pemerintahan SBY-Bodiono

Kecenderungan pemerintahan SBY-Budiono yang kini semakin mengintensifkan skema liberalisasi diberbagai sendi kehidupan bangsa demi menjamin pemenuhan kebutuhan “pemodal asing”. Jelas mencederai rasa keadilan masyarakat khususnya bagi para pekerja/buruh. Intensifikasi dapat dilihat dalam berbagai macam kesepakatan perdagangan bebas antara Pemerintah Indonesia dengan negera-negera dunia pertama yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Berbagai kebijakan pun dibuat untuk melindungi kepenting “asing”. Sebut saja UU No 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang salah satu poinnya hanya memperbolehkan satu serikat buruh dalam satu kawasan.

Ketidakberpihakan pemerintahan SBY-Budino terhadap buruh dan rakyat Indonesia juga nampak melalui berbagai kebijakan ekonomi-politik. Pemerintah yang masih terus melanggengkan penerapan “politik upah murah” di Indonesia. Sadar atau tidak penerapan “politik upah murah” tentunya akan semakin meningkatkan “perampasan” dan “pemerasan” upah kaum buruh dalam dunia industri. Perampasan kerja kaum buruh dapat dilihat dengan adanya penerapan fleksibilitas pasar tenagakerja dengan bentuk sistem kerja kontrak (outsourcing) yang meluas dan semakin mendominasi dalam hubungan industrial.

Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan SBY-Budiono terhadap buruh migran semakin mempertebal lapisan penindasan bagi kaum buruh khususnya buruh migran di Indonesia. Selama ini pemerintahan SBY-Budiono tidak serius dalam melindungi warga negara yang bekerja sebagai buruh migran. Hal ini terbukti dalam seratus hari program SBY-Budiono, tidak ada satupun program yang menyinggung masalah buruh migran. Bahkan, ekspor buruh seakan menjadi target pemerintahan SBY-Budiono untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Indonesia di tengah krisis ekonomi global. Parahnya, pemerintah kini merencanakan mengamandemen  UU No 39/2004 tentang PPTKILN guna memudahkan ekspor buruh migran. Nampaknya pemerintahan SBY tak lain adalah rezim yang memandang buruh migran. Sebagai barang komoditi yang siap diekspor dengan upah murah.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat kini sekitar 6 juta lebih rakyat Indonesia menjadi buruh migran dan mayoritas adalah perempuan yang sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga.

Masalah Perburuhan

Selain kebijakan pemerintah SBY-Budiono, banyak kalangan menilainya, sungguh tidak memihak kepada kaum buruh/pekerja. Masih banyak lagi masalah perburuhan yang perlu mendapat perhatian. Diantaranya adalah masalah PHK massal yang terus terjadi. Minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan tingginya angka pengangguran, serta pemberangusan serikat buruh dalam kebebasan berserikat (union busting) yang selama ini terus terjadi. Selain itu, kaum buruh juga masih terus menghadapi jam kerja yang panjang.  Ditambah  rendahnya perlindungan atas resiko kerja (K3 yang buruk), dan kualitas jaminan sosial yang masih sangat rendah.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Ditandai dengan jumlah penganggur dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Dari tahun 2006, jumlah pengagngguran di Indonesia hanya mencapai angka kurang lebih 106, 3 juta jiwa, tahun 2008 meningkat menjadi 111, 95 juta jiwa. Sementara itu, pada tahun 2010 sudah mencapai angka 116, 5 juta jiwa. Sekali lagi ini membuktikan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia dari empat tahun terakhir terus mengalami peningkatan.

Menyikapi hal itu, dalam beberapa kesempatan pemerintah seringkali menuding pengangguran di Indonesia terjadi disebabkan karena kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Katanya karena kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Padahal jika dipikir, hal yang paling mempengaruhi tingginya pengangguran di Indonesia. Tidak lain karena adanya ketimpangan antara jumlah lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja.

Terlepas dari masalah di atas. Masalah “krusial” lain dalam potret perburuhan di Indonesia. Tidak lain adalah masalah pengupahan. Dalam sistem pengupahan selama ini, upah layak bagi buruh sesungguhnya belum mampu menjamin standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Nampak dalam penetapan Upah Minimum Regional (UMR) untuk seluruh Provinsi yang ada di Indonesia hanya berkisar rata-rata dibawah angka 1 juta rupiah.

Sungguh Sangat ironis, jika bercermin betapa tingginya kebutuhan masyarakat termasuk bagi kalangan buruh dan keluarganya. Dengan uang 1 juta rupiah untuk kondisi sekarang ini. Tentunya belum mampu merepresentasikan kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya.

 

Masihkah ada harapan ?

Sikap pemerintahan SBY-Budiono terhadap dunia perburuhan di Indonesia amat memprihatinkan. Ditengah krisis ekonomi yang menimpa negeri ini. Pemerintahan alih-alih membuat kebijakan yang dapat melindungi kepentingan nasional dan rakyat. Malah menggadaikan negeri kepada para pemilik modal besar. Beban krisis ekonomi dipindahkan ke pundak rakyat kecil terutama buruh. Hal ini berkebalikan dengan support pemerintah terhadap pemberian kucuran dana pada “bank korup” seperti century yang telah merugikan rakyat sebesar 6.7 triliyun.

Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang pro rakyat. Yakni kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan yang mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan pemerintah daerah mestinya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.

Bukankah persoalan kesejahteraan buruh di Indonesia merupakan persoalan pokok bangsa? Karena itu mestinya pemerintahan SBY-Budiono kembali merenungkan nasib para buruh. Yang selama ini layaknya nasib seekor ikan yang terhimpit batu bernama “kemiskinan”.

Semoga refleksi Hari Buruh Sedunia (May Day) tahun ini. Dapat memberikan harapan besar terhadap perbaikan nasib buruh di Indonesia. Sebab, jeritan kaum buruh akan menjadi bukti kegagalan rezin SBY-Budiono. Dan kegagalan itu, cepat atau lambat akan menjadi “senjata” yang akan mencoreng “muka” sendiri.

Supriadi S.H.

Dosen Ilmu Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

You may also like...