RUU KUHP dan Kriminalisasi LGBT
Seperti api dalam sekam. Tiba-tiba kembali “membakar” sensitivitas khalayak umum atas isu Lesbi, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT). Belum reda guncangan maha dahsyat stigmatisasi lima hakim MK yang dituding pro LGBT, kembali publik “terbius” dengan pernyataan Ketua MPR, Zulkifli Hazan yang menyebutkan ada lima fraksi di DPR mendukung LGBT.
Draf RUU KUHPidana pada dasarnya hanya akan mengkriminalkan perbuatan cabul sesama jenis yang mana korbannya adalah anak yang belum berumur 18 tahun. Agar tidak bias dikutip bunyi ketentuan tersebut, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 495 ayat 1 RUU KUHPidana: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”
Perbuatan cabul sendiri dapat diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan), perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb (R. Soesilo, 1995: 212). Khusus untuk ketentuan di atas, perbuatan dalam bentuk persetubuhan secara homoseksual, baik dengan cara seks oral atau seks anal termasuk dalam pengertian dari perbuatan pencabulan pula.
LGBT
Kalau kita hendak menangkap suasana kebatinan mayoritas rakyat Indonesia, sebenarnya yang mereka inginkan adalah bukan hanya perbuatan cabul homoseksual dalam hal korbannya ialah anak yang belum berumur 18 tahun. Itu hanya bagian kecil dari keinginan-keinginan mereka.
Lebih jauh di atas kemauan pembentuk UU, pokoknya semua perbuatan cabul sesama jenis baik kedua-duanya adalah orang dewasa maupun anak-anak, baik salah satunya adalah orang dewasa dan yang lainnya adalah anak-anak harus dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Keinginan itu, kira-kira kurang lebih sama dengan apa yang pernah diuji materilkan dulu terhadap Pasal 292 KUHPidana, kemudian 5 hakim MK menolaknya.
Ada yang menyatakan bahwa kita tidak akan memidanakan LGBT-nya. Padahal kalau diitelisik lebih dalam apa itu LGBT, pada sesungguhnya itu bukan hanya mewakili pelaku (orang-nya) tetapi dari singkatan an sich kelompok tersebut sudah mewakili pula perbuatannya. Lesbi dan Gay dicap dengan istilah demikian karena orientasi seksualnya adalah suka hubungan sesama jenis. Biseks memang orientasinya bisa hetereseksual, tetapi secara berganda suka pula dengan hubungan sesama jenis. Yang masih debatable, Transgender, apakah golongan ini juga memiliki orientasi homoseksual? Apakah setelah mengganti kelamin, kemudian dapat dikatakan orientasi sesksualnya bukan pencinta seks sesama jenis? Kalau misalnya laki-laki mengganti kelaminnya dengan kelamin perempuan kemudian menikah dengan laki-laki, apakah dapat dikatakan sebagai orang yang berorientasi seksual sesama jenis?
Pada hakikatnya Pasal 495 ayat 1 RUU KUHPidana adalah ketentuan yang meniscayakan harus ada korbannya, yaitu anak yang belum berumur 18 tahun. Dan jika kemudian ketentuan tersebut hendak dilakukan perubahan dengan memasukkan pula perbuatan cabul yang ditujukan kepada mereka yang sudah berumur di atas 18 tahun, maka besar kemungkinannya akan menjadi kejahatan yang tanpa korban (victimless). Semua terkualifikasi sebagai “pelaku” seperti rumusan delik perzinaan.
Satu hal yang patut pula menjadi catatan dalam ketentuan tersebut yaitu telah menempatkan pula pelaku yang kemungkinan besarnya dapat dilakukan oleh anak-anak. Berdasarkan subjek pelaku tindak pidananya, ketentuan dalam RUU KUHPidana sangat berbeda dengan ketentuan yang berlaku saat ini. Pasal 292 KUHPidana yang berlaku sekarang, dimulai dengan kalimat “…orang dewasa…” sedangkan dalam RUU-nya dimulai dengan kalimat “…setiap orang…” itu artinya akan menjerat pula pelaku yang masih berusia anak-anak.
Luput dari perhatian para pembentuk UU mengenai permasalahan tersebut. Apakah kelak pelaku yang berkualifikasi sebagai anak dalam konteks itu akan dikenakan pula pidana penjara paling lama sembilan tahun? Ataukah ada pengurangan pidana penjara melalui pemotongan 1/3 dari pidana pokoknya? Ataukah hanya dikenakan sanksi tindakan?
Jika pembentuk UU memang ingin menjerat pula pelaku perbuatan cabul sesama jenis antara anak dengan anak atau antara anak sebagai pelaku terhadap orang yang sudah dewasa. Ada baiknya para pembentuk UU memperhatikan kembali UU Perlindungan Anak dan UU SPPA demi menghindari tumpang tindih antar kaidah hukum, baik mengenai ketentuan pidana maupun pemidanaannya.
Ultimum Remidium
Kalau pada akhirnya bunyi dari Pasal 495 ayat 1 RUU KUHPidana tidak mengalami perubahan. Tidak memasukan perbuatan cabul hubungan sesama jenis antara anak dengan anak, atau atara orang dewasa dengan orang dewasa. Hemat penulis tidak sependapat jika hendak digunakan pemidanaan sebagai alternatif terakhir (ultimum remidium).
Tidak ada logika mendasar yang bisa diterima dengan akal sehat, kalau anak yang menjadi korban perbuatan cabul dari orang dewasa kemudian “diringankan” pertanggungjawaban pidananya. Sangat berbeda kalau anak sebagai pelaku perbuatan cabul kepada orang dewasa, kendatipun itu kecil kemungkinannya terjadi, hal demikian masih memiliki pijakan sosiologis dan psikologis untuk digunakan pemidanaan sebagai alternatif terakhir kepada anak pelaku tindak pidana tersebut.
Bukan doktrin ultimum remidium yang menjadi reaksi atas perbuatan cabul hubungan sesama jenis karena dasar suka sama suka. Sesama perempuan dewasa yang melakukan perbuatan cabul, sesama lelaki dewasa yang melakukan perbuatan cabul. Akan tetapi doktrin lex semper dabit remedium yang meniscayakan tidak perlu sama sekali dikenakan sanksi pidana. Cukup dengan sanksi tindakan dalam bentuk pembinaan dan rehabilitasi bagi kaum LGBT.
Silahkan mengkualifisir penyimpangan orientasi seksual LGBT dalam suatu tindak pidana kesusilaan, tetapi janganlah menerapkan hukuman yang jauh lebih keji dari pada gradasi perbuatan-perbuatannya. Non alio modo puniatur aliquis, quam sequndum quod se habet condemnation.