Dasar Hukum Prorogasi
Mengingat aturan mengenai Hukum Acara Perdata tersebar dalam beberapa bagian, ada baiknya sebelum lebih jauh melihat dasar hukum dari prorogasi, maka terlebih dahulu dapat dipilah‑pilah beberapa macam perundang‑undangan (reglemen) yang berisikan hukum acara perdata.
Ada 3 (tiga) macam perundang‑undangan (reglemen) yang berasal dari zaman Hindia Belanda yang berisikan hukum acara perdata, yaitu
- Herziene lndonesische Reglement (H.I.R);
- Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R. Bg.);
- Reglement Op De Burgerlijke Rechtsvordering (B. Rv.)
Herziene Indonesische Reglement (H.I.R)
H.I.R. berasal dari I.R (Indonesische Reglement), yang ditegaskan dalam stbld. No. 16 jo 57 Tahun 1848. Judul lengkap H.I.R adalah Reglement op de uit oefening van de politie, de Bufgerlijke rechtspleging en de Strafvordering onder de Inplanders en de Vremde Oosterlingen of Java en Madura yang artinya regelemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura.
Melihat judul lengkap H.I.R. di atas, maka isi H.I.R. dapat dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu bagian hukum acara pidana dan bagian hukum acara perdata yang diperuntukan untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka Landraad (Pengadilan Negeri). Bagian hukum acara pidana terdapat pada Pasal 1 sampai dengan Pasal 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371, sedangkan bagian hukum acara perdata terdapat pada Pasal 115 sampai dengan Pasal 245. Kemudian pada titel ke XV Pasal 372 sampai dengan Pasal 394 merupakan peraturan campuran antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Perubahan terakhir I.R. menjadi H.I.R. pada tahun 1941 Stbid. 1941
Dalam Undang‑Undang No. I drt. Tahun 1951 (Pasal 6 ayat 1) ditegaskan bahwa H.I.R seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman dalam acara pidana untuk seluruh daerah Republik Indonesia.
Menurut K. Wantjik Saleh (1975: 11) mengemukakan bahwa: “Tegasnya, yang dimaksud oleh ketentuan di atas bahwa H.I.R. itu dipakai sebagai pedoman untuk seluruh Indonesia yang tertuju untuk bagian acara pidana saja yakni sejumlah pasal tersebut di atas, sedangkan bagian acara perdata tidak termasuk.”
Dengan demikian yang dimaksud K. Wantjik Saleh bagian acara perdata dalam H.I.R. ini berlaku penuh bagi daerah Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura bagian ini sama sekali tidak berlaku, yang berlaku sepenuhnya adalah ketentuan‑ketentuan acara perdata sebagaimana ditegaskan dalam R. Bg.
Keseluruhan pasal mengenai acara perdata dalam H.I.R. sebagaimana ditegaskan di atas adalah dari Pasal 115 sampai dengan Pasal 245, terhimpun dalam satu bab yaitu Bab IX yang berjudul: Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata Yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri.
Sejak diundangkannya pada tahun 1848, H.I.R. telah mengalami berbagai perubahan. Setelah selama hampir 160 tahun praktik dengan H.I.R, hukum acara tertulis yang terdapat di situ hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan peraturan hukum acara yang sekarang berlaku di muka Pengadilan Negeri kita dulu (landraad), karena sebagian yang tidak sedikit telah berupa hukum acara yang telah diciptakan oleh yurisprudensi, sebahagian lagi terdapat dalam instruksi‑instruksi, berbagai surat edaran dan peraturan Mahkamah Agung, dan lain‑lain.
Pembaharuan I.R. menjadi H.I.R. pada tahun 1941 Stbld. 1941 ternyata tidak membawa suatu perubahan apapun pada hukum acara perdata di muka Pengadilan Negeri.
R. Subekti (189 : 3) mengemukakan bahwa: “Yang dinamakan “pembaharuan” pada HI.R. itu sebetulnya hanya terjadi dalam bidang acara pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak mengalami perubahan. Pembaharuan tersebut terutama mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (Openbare Minisjerie) yang berdiri sendiri.”
Di antara ketiga hukum acara perdata yang merupakan peninggalan Hindia Belanda dinyatakan resmi berlaku adalah HIR di samping R.Bg. berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 drt. Tahun 1951.
Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg.);
R.Bg. ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 (stbld. No. 227 Tahun 1927) dan mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 1927. R.Bg. pada dasarnya merupakan peraturan yang berlaku untuk orang‑orang di luar Jawa dan Madura. R.Bg. merupakan pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya pada suatu daerah tertentu saja, seperti reglemen bagi daerah Aceh, Ambon, Sumatera Barat, Palembang, Bali, Kalimantan, Minahasa, dan lain‑lain.
R.Bg. terdiri atas 5 (lima) bab dan 723 Pasal. Pada Bab I, III, IV, dan V mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidana, sudah tidak berlaku lagi berhubung dengan Undang‑Undang No. 1 drt Tahun 1951, sedangkan tentang acara perdatanya termuat dalam Bab II yang terdiri dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 323 yang masih tetap berlaku.
Bagian Acara Perdata yang termuat dalam Bab II, terdiri dari 7 (tujuh) titel. Titel I, II, III, VI dan VII sudah tidak diperlukan lagi karena pengadilan Districtgerecht, Districtraid, Magistraadgerecht, Residentlegerecht dan Raad Jutitie sudah tidak ada lagi. Yang masih diperlukan adalah titel IV tentang menjalankan putusan dan V tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa yang berlaku bagi Landraad (K. Wantjik Saleh 1975: 12)
Reglement Op De Burgerlijke Rechtsvordering (B. Rv.)
B.Rv. pada dasarnya merupakan reglemen yang berisi ketentuanketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad Justitie dan Hooggerechtshof B.Rv. dimuat dalam Stbld. No. 52 Tahun 1847 dan No. 63 Tahun 1849 dan mulai berlaku pada Tanggal 1 Mei 1848.
Prorogasi diatur dalam Pasal 324 sampai dengan 326 B.Rv pada Bab V yaitu mengenai kekuasaan mengadili yang ada pada Raad van Justitie dan Hooggerechthof menyimpang dari wewenang yang diberikan oleh undang-undang (prorogasi peradilan).
Berikut adalah pasal yang terdapat dalam B.Rv. yang memuat ketentuan mengenai prorogasi:
Pasal 324. Menegaskan Dalam hal perkara yapg mungkin banding kepada raad van justitie atau H.G.H, maka para pihak bebas bersepakat dengan suatu akta untuk memohon agar perkara mereka sejak semula langsung diperiksa oleh badan peradilan yang seharusnya akan mengadili perkara itu dalam tingkat banding. (ISR. 136; RO. 127, 163 dst; KUHPerd 1851 A dst; Rv. 133, 351, 354, 615, 63).
Pasal 325 Para wali pengampu dan mereka yang menurut ketentuan‑ketentuan undang‑undang tanpa izin atau kuasa, tidak boleh mengadakan perdamaian atau menyerahkan perkara kepada wasit, dalam membuat kesepakatan tersebut dalam Pasal 324 harus mendapat izin atau kuasa pula dari yang berkepentingan. (KUHPerd. 307, 352, 361, 393 dst., 407, 452, 789, 983, 1019, 1797, 1852; F. 100; Rv. 615.)
Pasal 326, Bagi raad van justitie dan H.G.H. dalam proses perkara‑perkara ini berlaku aturan‑aturan tentang pemeriksaan perkara dalam tingkat pertama. Badan peradilan yang memeriksa karena prorogasi memutus perkara yang bersangkutan dalam tingkat pertama dan terakhir dengan tidak mengurangi peninjauan kembali, dan bagi raad van justitie juga dengan tidak mengurangi kasasi bila untuk satu dan lain ada dasar hukumnya. (Rv. 385 dstt., 402 dst.)
Namun sekarang menurut sebahagian pakar hukum mengemukakan bahwa B.Rv. sudah “tidak diberlaku lagi” di dalam praktik beracara di muka pengadilan.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Supomo (1958: 11) yang bahwa: “dengan dihapuskannya Raad Justitie dan Hooggerechtshof, maka B.Rv. sudah tidak berlaku lagi, sehingga dengan demikian hanya H.l.R dan R.Bg sajalah yang berlaku”.
Beda halnya dengan Sudikno Mertokusumo (2002: 47) mengemukakan bahwa :“Perlu diingat bahwa meskipun Raad Justitie tidak berlaku lagi namun Pasal 7 UU 34/ 1942 menetapkan, bahwa hukum acara yang berlaku bagi Raad Justitie dan HGH, yaitu B.Rv, berlaku bagi Kootoo Hooin. Sehingga dianggap “tidak berlakunya” B.Rv bukan karena dihapuskannya Raad Justitie, melainkan karena Pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/ 1951 secara resmi menyatakan berlaku H.I.R dan R.Bg.”
Jadi, dapat dikatakan bahwa B.Rv. sebenarnya belum dihapuskan akan tetapi belum ada undang‑undang yang secara resmi menyatakan berlaku. Berdasarkan asas concordansi Pasal I Aturan Peralihan Undang‑Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa “undang‑undang yang lama masih tetap berlaku sebelum dibuatkannya undang‑undang yang baru.”