Menghilangkan Kolusi Birokrasi
Satu lagi “kejutan” dari MK saat mengabulkan (untuk sebagian), pengujian undang-undang (PUU) No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), khususnya Pasal 36 ayat (1) yang berbunyi “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.” Putusan ini kemudian diapresiasi secara positif, tidak saja dari pegiat anti korupsi, namun juga dari penegak hukum itu sendiri.
Putusan itu telah secara terang dan jelas menyebutkan pertimbangan yuridis MK memutus Pasal 36 ayat (1) UU Pemda itu inkonstitusional. Namun diluar pertimbangan yang termuat dalam putusan tersebut, tulisan ini akan menyinggung beberapa aspek yang patut didiskusikan secara akademik.
Jika dilihat secara seksama, Pasal 36 ayat (1) UU Pemda ini sangat kontradiktif dan menghambat upaya pemberantasan korupsi. Kritik terhadap pasal ini juga telah banyak disinggung pasca disahkannya UU Pemda pada Oktober 2004 silam hingga sebelum undang-undang ini dimohonkan uji materi di MK. Kritik utamanya ditujukan pada beberapa aspek.
Pertama, independensi hukum yang dilanggar. Dengan adanya kewenangan/kekuasaan presiden dalam menerbitkan izin tertulis terkait pemeriksaan kepala daerah, hukum ditempatkan dalam posisi sub ordinat kekuasaan. Posisi hukum inferior, dibawah superioritas politik dengan kekuasaan Presiden. Padahal seyogyanya hukum bekerja secara mandiri dan independen. Lepas dari intervensi kekuasaan manapun.
Kedua, dari segi hukum acara, Pasal ini berpotensi menghambat proses penyelidikan dan penyidikan. Sebagaimana diketahui, tujuan dilakukannya penyelidikan dalam hukum acara adalah untuk mendapatkan bukti atau petunjuk awal adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Nah, kalau dalam melakukan penyelidikan, penegak hukum harus menunggu izin tertulis dari Presiden, maka itu akan menghambat pengumpulan barang bukti. Pelaku tindak pidana dengan mudahnya menghilangkan barang bukti pada saat ijin tertulis itu sedang dalam proses penerbitan.
Ketiga, pasal ini melegitimasi kekuasaan Presiden yang terlampau besar, dan telah masuk ke ranah hukum yang seyogyanya bisa mandiri. Karena sekalipun ayat (2) Pasal 36 UU Pemda ini memberi celah untuk “lepas” dari izin tertulis Presiden, tetap saja Pasal ini membuka celah kolusi politik untuk masuk ke ranah hukum. Frasa “… jika dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak dimohonkan, izin tertulis tidak diberikan, maka penyelidikan dan penyidikan dapat dilanjutkan”, masih membuka peluang intervensi kekuasaan terhadap jalannya penegakan hukum. Enam puluh hari adalah waktu yang cukup bagi pelaku tindak pidana untuk menghilangkan barang bukti.
Keempat, dari legitimasi terhadap kekuasaan itu, pasal ini membuka celah kriminalisasi jabatan politik seorang Presiden. Misal ketika kepala daerah yang sedang diperiksa ternyata memiliki garis politik – entah partai atau semacamnya – dengan Presiden, maka patut di duga jika ijin tersebut tidak akan keluar sebelum tenggang waktu 60 hari (ayat (2) UU No 32/2004), maka Presiden bisa secara sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada kepala daerah yang bersangkutan menghilangkan barang bukti agar tidak terjerat kasus pidana yang dilakukannya. Jika ini terjadi, maka Presiden bisa dituduh melanggar hukum. Sehingga pada akhirnya bermuara pada impeachment yang mengakhiri kekuasaan seorang Presiden, seperti termaktub dalam Pasak 7A UUD 1945.
Kelima, secara konstitusional, Pasal ini telah merendahkan derajat konstitusi dengan menempatkan kekuasaan diatas khitah negara hukum Indonesia. Pasal 1 ayat(3) UUD 1945 hasil perubahan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Dengan memasukan kewenangan presiden dalam mengeluarkan ijin tertulis dalam pemeriksaan kepala daerah, berarti telah menempatkan posisi hukum dibawah kekuasaan. Ini bertentangan dengan prinsip independensi hukum.
Melahirkan Oligarki Baru
Sejak disahkannya UU Pemda pada Oktober 2004, banyak pengamat yang mengkhawatirkan munculnya oligarki baru yang melahirkan koruptor-koruptor lokal. Desentralisasi kewenangan dari Pusat ke daerah melalui UU Pemda – atau lazim disebut UU Otoda – telah memberikan kewenangan yang begitu besar kepada daerah. Beberapa dari kewenangan ini seperti kewenangan dalam mengeluarkan izin investasi dalam bentuk usaha pertambangan, perkebunan, perikanan dan kelautan yang berhubungan dengan penyediaan lahan pada akhirnya membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah.
Ironisnya, transformasi sistem dari sentralisasi dan desentralisasi ini tidak dibarengi dengan reformasi paradigma. Reformasi paradigma yang menitikberatkan pada terwujudnya pemerintahan yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (clean governance). Reformasi paradigma yang mampu menghindarkan dan mencegah kepala daerah melakukan praktik korupsi. Dan reformasi paradigma yang menekankan aspek spritual, bahwa jabatan adalah amanah.
Pada beberapa aspek, mendorong kemandirian ekonomi daerah dan meningkatkan daya saing bukan satu-satunya alasan dari kebijakan desentralisasi. Secara politis, dalam pengamatan banyak pihak, desentralisasi dipandang hanya sebagai alat untuk meredam gejolak disintegrasi yang saat itu marak dan mengancam eksistensi Indonesia sebagai “negara kesatuan,” dan bangsa Indonesia sebagai satu “kesatuan (unity).” Hingga kemudian diback-up dengan UU Otonomi Khusus (Aceh dan Papua), dua daerah yang mengalami gejolak disintegrasi hebat yang hampir saja memecah belah kesatuan.
Alasan politis lainnya, adalah ketika desentralisasi dianggap sebagai “hutang budi” kepada daerah-daerah yang selama ini diperas kekayaannya oleh pemerintah pusat, saat rezim Orba dengan politik sentralistiknya. Sehingga hutang budi ini “dibayar” oleh pemerintah pusat dengan menerapkan kebijakan desentralisasi. Sebuah pandangan yang keliru. Kekeliruan cara pandang ini kemudian dipakai oleh kepala daerah dengan menyalahgunakan kewenangannya, salah satunya dengan melakukan korupsi yang banyak terjadi setelah UU Pemda disahkan.
Secara kritis kita bisa menuduh UU Pemda telah secara “by design” sengaja melahirkan dan menumbuhsuburkan korupsi di daerah. Karena faktanya, gejala dan wabah korupsi tidak lagi terpolarisasi di satu kutub saja, kekuasaan pemerintah pusat seperti waktu Orba dulu. Namun juga sudah mewabah hingga kedaerah sejak UU Pemda diberlakukan.
Lihat saja beberapa kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, bahwa pemerintah sejak Oktober 2004 hingga 26 Agusutus 2011, Presiden telah mengeluarkan 164 permohonan persetujuan tertulis atau izin untuk melakukan pemeriksaan kepala daerah dan/atau kepala daerah dalam perkara korupsi. Dalam catatan ICW pada periode 2004-2010 terdapat sedikitnya 36 perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah terhambat penuntasannya karena menunggu persetujuan Presiden (http://antikorupsi.org/new/).
Apalagi beberapa waktu lalu, Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengatakan bahwa, dari 524 daerah, terdapat 158 daerah yang kepala daerahnya telah dikeluarkan izin pemeriksaannya, dan jumlah itu berpotensi akan terus bertambah. Diantara kepala daerah itu ada yang masih berstatus tersangka, terdakwa dan bahkan ada yang sudah vonis alias terpidana. Jelas hal ini telah menghambat jalannya pemerintahan di daerah yang bersangkutan.
Kondisi ini seakan memperkuat tesis Olson tentang “roving bandit” dan “stationary bandit”. Mancur Olson, dalam salah satu karyanya Power and Prosperity (2000), menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil.
Tesis Olson tersebut sangat tepat ketika dihubungkan dengan konteks Indonesia pasca UU Pemda diberlakukan. Sebuah undang-undang yang secara “by design” membuka celah korupsi hingga ke daerah, dengan sejumlah kewenangan besar yang diberikan kepada daerah tanpa dibarengi dengan pengawasan efektif pemerintah pusat. Jadilah UU Pemda sebagai pemicu munculnya dinasti politik dan oligarki baru, atau “kerajaan-kerajaan kecil” di tingkat daerah yang banyak diantaranya dijalankan dengan sistem yang koruptif.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mahkamah Konstitusi Edisi November 2012
Oleh; Wiwin Suwandi