Runtuhnya Benteng Keadilan MK
Kawan, kami terasa di guncangan gempa bumi, seluruh penjuru menghujat kami. Katanya, gantung hakim MK sampai jadi kuaci. Jemur di monas dan rajam sampai mati. Selama ini dipercaya. Ternyata durjana juga. Demikian makian mereka. Di antero bumi persada. Istri-istri kami meradang. Mengira diberi uang suap untuk makan. Anak-anak kami menolak diberi uang jajan,kos-kosan,dan uang sekolahan. Katanya malu dan tak sudi memakan uang haram. Di kalangan hakim pun muncul saling kecurigaan. Padahal sebelumnya penuh saling kepercayaan. Gedung megah kami pun jadi terguncang.
Begitulah kutipan pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD diharian seputar Indonesia 19 November 2010, seolah membantah semua tuduhan Refly Harun (pakar hukum tata negara) yang juga pernah menjadi staf ahli di lembaga MK. Refly Harun pernah menulis di harian kompas bahwa dirinya pernah mendengar pernyataan orang Papua yang sedang berperkara di MK harus menghabiskan uang Rp 10 miliar hingga Rp 12 miliar. Dia bertemu orang yang ditelepon oleh hakim MK agar menyerahkan uang Rp 1 miliar untuk keperluan perkaranya sehingga dia terpaksa menarik perkara itu karena tidak punya uang seperti diminta oleh hakim MK.
Sempat ditahun 2010, MK telah membentuk investigasi eksternal guna mencari bukti atas tuduhan Refly Harun. Sampai tidak ditemukan satu rupiah pun, Akil Mochtar saat itu dituduh terlibat dalam “suap-menyuap” dari sebuah kasus yang ditanganinya, sengketa hasil pemilukada. Hasil investigasi team eksternal yang dibentuk, mengungkap tidak ada bukti, yang dapat dijadikan dasar kalau Akil Mochtar terindikasi suap.
Tepatnya rabu malam (2/10) pukul 22.00 WIB. Sulit untuk tidak mengatakan kalau geduang MK “terguncang” kewibawaannya. Apa yang dikhawatirkan Mahfud tiga tahun silam terkuaklah sudah. Penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Akil Mochtar (AM), beserta rekan koleganya, yang diduga penyuapan atas ketua MK kelahiran putussibau (Kalbar) itu.
Di tempat yang sama di rumah Dinas AM di Jl Widya Chandra III No 7, Jakarta. Tertangkap pula Chairun Nisa (anggota DPR RI dari fraksi Golkar). Dan seorang pengusaha berinisial CN. Masih satu rentetan dengan penangkapan AM, di hotel Red Top, Jakarta Pusat, seorang Kepala Daerah berinisial HB ditangkap pula bersama satu orang lainnya di hotel tersebut oleh KPK. Diduga Kepala daerah ini adalah Bupati Gunung Mas Selatan yang bernama Hambid Bintih.
Mencermati kasus ini, sejalan dengan pernyataan Johan Budi (juri bicara KPK) pada Rabu (3/10/2013), bahwa penangkapan AM terkait sengketa pilkada di sebuah kabupaten di Kalimantan, Kabupaten Gunung Mas. Maka dapat ditarik kesimpulan kalau gugatan sengketa pilkada kabupaten Gunung Mas, yang sedianya tinggal pembacaan putusan oleh AM sebagai hakim ketua atas gugatan itu. Peristiwa hukumnya adalah AM memang Sengaja disuap oleh HB agar putusan akhir nantinya menguntungkan HB.
Wibawa MK
Bagi yang mengikuti kasus penangkapan AM kemarin malam, tentu akan berkata, inilah situasi roboh dan hancur leburnya wibawa MK, Mahkamah Undang-Undang (judicial court) kita. Sebagai lembaga yang sudah mendapat “kepercayaan” oleh publik, lembaga yang berdiri digarda terdepan mengawal reformasi penegakan hukum, ditengah “demoralisasi kepercayaan public” atas semua kinerja penegak hukum di negeri ini. Realitasnya MK mencebur diri dalam jurang korupsi, tidak jauh berbeda dengan institusi peradilan lainnya.
Gaung pemberantasan korupsi yang dilontarkan oleh Mahfud MD, semua hakim konstitusi tidak menerima 1 persenpun sogokan atas kasus yang ditanganinya. Akhirnya sirna, bagai angin lalu. Gara-gara penangkapan AM, hanya dalam hitungan Jam, lilin harapan penegakan hukum yang diteriakkan oleh MK, pun redup ditengah penangkapan pucuk pimpinan MK.
Kasus ini akhirnya mengonfirmasi kalau dugaan Refly Harun, pakar hukum tata Negara itu, melalui opininya di harian Kompas (25/9/010), Refly tidak “bohong” rupanya, dan mau tidak mau mata publik dibuka lebara , kita dibuat sadar kalau Refly tidak menyebar fitnah (tuduhan yang tidak benar) saat itu.
Tinggal harapan publik, satu-satunya pemberantasan korupsi guna penyelenggaraan Negara yang bersih dari perbuatan KKN, bersandar pada lembaga super body itu (yaitu KPK). Kalau begitu KPK harus mendapat dukungan oleh publik, dari semua kepentingan (vested interest) yang hendak memperlemah, mempereteli dan menggembosinya.
Lembaga yang dianggap wakil “Tuhan” itu, lembaga yang mana putusannya bersifal final and binding, pun hakimnya oleh Komisi Yudisial tidak dapat melakukan pengawasan atas harkat dan martabat Hakim Konstitusi. Hal ini jelas berbeda dengan Hakim Agung yang sudah mendapat pengawasan oleh Komisi Yudisial. Belajar dari kasus ini, penting kiranya perubahan dalam sistem peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Pembenahan MK
Sebagaimana lembaga lainnya, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung. Kita tidak boleh “sinis” atas kinerja MK kedepannya, masih ada ratusan sengketa pilkada, dan sederat uji perundang-undangan yang harus diselesaikan oleh MK. MK harus cepat gegas melakukan pembenahan secara darurat guna menyelematkan wibawa MK kedepannya.
Beberapa pembenahan yang dapat diambil diantaranya: Pertama, periksa ulang semua putusan yang sudah diagendakan untuk dibacakan dalam sidang putusan (termasuk sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas ini) yang di dalamnya melibatkan pendapat hukum AM. Kedua, memeriksa kemungkinan adanya keterlibatan teman sejawat AM (baik dari kalangan hakim, panitera, dan staf dilingkungan MK), dalam posisi ini MK seyogianya legowo untuk diperiksa pegawainya oleh KPK. Ketiga, pemilihan secara selektif dan transparan atas anggota majelis kehormatan yang akan memeriksa kasus AM, sebut saja misalnya nama hakim yang saat ini dikenal integritas dan sepak terjangnya, ada nama Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD dan lainnya layak untuk dilibatkan.
Di atas segalanya, mari kita berharap agar MK juga menerapkan pola bersih-bersih, bukan hal yang berlebihan harapan itu, marwah MK harus dikembalikan dengan cara yang terhormat. Kita tak boleh putus asa. Masih ada “lilin” harapan bahwa di negeri ini, yakni lembaga peradilan setingkat MK, yang mau bekerja dengan patriotik, bermartabat, dan penuh kehormatan. Semoga!(*).