Menelaah Sengkarut Pengangkatan Calon Kapolri
Hanya dalam selang waktu beberapa jam, pasca hasil paripurna persetujuan pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan yang diajukan oleh Presiden Jokowi kepada Komisi III DPR RI, sekelompok relawan Jokowi (Jokowi flow) pada bergerumul memenuhi depan istana negara. Para relawan tersebut menuntut agar Presiden Jokowi membatalkan penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Jika Jokowi tetap bersikukuh melakukan pelantikan terhadap Budi Gunawan sudah pasti akan menodai korps Bhayangkara di negeri ini, dan dengan sendirinya Jokowi juga telah mengingkari program Nawa Cita pemerintahan yang selama ini cukup diagungkannya.
Gumpalan asap yang menyembul pasti ada asal dan penyebabnya. Tidak mungkin publik yang mengatasnamakan relawan Jokowi mendatangani istana, meminta pertanggungjawaban sang Presiden, kalau asapnya tak sampai ketahuan. Itu semua karena gara-gara KPK yang kembali menggemparkan tanah air, hanya satu-satunya calon Kapolri yang akan di fit and proper test oleh DPR, tetapi KPK malah mengumumkan calon tunggal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Budi Gunawan dijerat dengan Pasal 12 a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 KUHP.
Mencermati tekanan publik yang begitu kuat terhadap proses pengangkatan Budi Gunawan, tentu sengkarut hukumnya tersimpul dalam sebuah pertanyaan: “apakah penetapan status tersangka seorang calon Kapolri dapat membatalkan proses pengangkatannya yang sudah tegas diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI”?
Pertanyaan tersebut harus diletakan dalam dua norma, terkait dengan bisa tidaknya menderogasi diantara satu dengan lainnya, saat ketentuannya dalam posisi berhadapan. Norma tersebut adalah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) dan UU Kepolisian Negara RI.
Tidak Dapat Dihentikan.
Pada dasarnya proses pengangkatan Kapolri tunduk melalui Pasal 11 UU Kepolisian Negara RI yang terdiri dari delapan ayat. Di dalam ketentuan inilah, Presiden memiliki legalitas untuk mengusulkan pengangkatan Kapolri dengan terlebih dahulu meminta persetujuan DPR; apakah DPR memutuskan untuk menerima atau menolak usulan tersebut? Jika selanjutnya telah disetujui oleh DPR, maka kewenangan penuh (full power) untuk mengeluarkan SK (Surat keputusan) pengangkatan berada di tangan Presiden.
Atas ihwal peristiwa yang terjadi terhadap proses pengangkatan Budi Gunawan, kini telah sampai pada tahap yang telah mendapat persetujuan oleh DPR. Yakni anggota DPR telah bulat bermufakat menyetujuinya melalui hasil paripurna. Itu artinya, keputusan untuk mengangkat, kemudian selanjutnya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri tinggal satu tahapan. Yakni Presiden Jokowi harus menyetujuinya, kemudian menerbitkan SK pengangkatan Kapolri atas nama Budi Gunawan.
Dalam konteks itu, sepanjang proses tahapan yang selayaknya dijalani oleh Budi Gunawan agar dapat terpilih sebagai Kapolri; apakah dimungkinkan tahapan yang diikutinya dapat dihentikan dan dinyatakan batal proses pencalonannya, karena di lain sisi “terseret” dalam proses pertanggungjawaban pidana? Sesungguhnya tidak dapat.
Penyebabnya meliputi; Pertama, baik dalam UU Kepolisian Negara RI maupun UU PTPK tidak ada satupun ketentuan yang memberi persyaratan terhadap calon Kapolri, untuk dinyatakan batal proses pengangkatannya dalam hal calon tersebut berada dalam keadaan status tersangka.
Kedua, proses pengangkatan Kapolri yang telah diikuti oleh Budi Gunawan saat ini merupakan bagian hukum terkait dengan proses ketatanegaraan, tidak dengan serta-merta dapat diderogasi oleh proses pidan (hukum pidana). Bahkan saat asas-asas hukum pun yang hendak diterapkan, in casu tidak ada relevansinya, sebab materi hukumnya memang berbeda. Dengan demikian kedua proses hukum tersebut harus berjalan di arenanya masing-masing
Ketiga, pun andaikata UU Kepolisian sudah jauh hari tegas mencantumkan ketentuan, bahwa proses pengangkatan Kapolri dapat dinyatakan batal jika calon yang diajukan berada dalam status tersangka. Ketentuan tersebut akan timpang dengan asas hukum yang telah umum diakui oleh sarjana hukum “presumption of innocence”. Bagaimana mungkin orang yang belum dinyatakan bersalah, belum jelas ending dari kasus pidana yang kelak akan dipertanggungjawabkannya? Apakah akan berakhir dalam dekaman penjara atau tidak, lalu haknya otomatis gugur untuk menempati jabatan publik tersebut? Jangankan proses pengangkatan seorang dalam jabatan publik tidak dapat dihentikan tahapan yang sudah diikuti gara-gara statusnya sebagai tersangka. Pejabat publik seperti Kepala Daerah saja hanya dapat dinonaktifkan (bukan diberhentikan) jika berada dalam status terdakwa. Oleh sebab itu niat untuk mengandaskan/ menjungkal calon Kapolri karena dalam status tersangka sudah pasti makin susah kiranya untuk “melabrak” asas hukum praduga tak bersalah.
Dinamika Hukum
Minimal kalau tetap mau “dipaksakan” calon Kapolri yang berstatus tersangka agar dibatalkan proses pencalonannya, bukanlah dengan sebatas memakai dalil moral dan etik saja. Mesti “direkonseptualisasi” segala ketentuan yang terkait dengan dua peristiwa hukum itu, lalu dirumuskan dalam ketentuan tegas setelah diturunkan dari dalil consensus moral yang bisa “terterima” secara terus menerus.
Dalam tahapan sederhana, singkat, tidak memakan waktu yang lama, sebenarnya Presiden Jokowi atas otoritas penuhnya, saat ini dapat tidak menerbitkan SK pengangkatan Budi Gunawan meskipun sudah disetujui oleh Paripurna DPR dengan alasan status tersangka sang Jenderal dapat memicu kemarahan publik jika “dipaksakan” untuk dilantik. Ini berarti bukan lagi soal legal atau non-legal-nya Budi Gunawan untuk ditetapkan sebagai Kapolri, tetapi soal diterima atau tidak diterimanya yang bersangkutan oleh publik untuk memimpin institusi Bhayangkara tersebut. Sebagaimana dalam dinamikanya, massa (rakyat) tidak lagi menghendaki calon kapolri yang “bermasalah hukum,” demi menciptakan pemerintahan yang bersih. Meskipun tafsir demikian hanyalah “tafsir subjektif” bagi Presiden yang memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan SK pengangkatan Kapolri.
Sedangkan dalam dinamika hukum yang membutuhkan waktu relatif panjang. Paling tidak UU Kepolisian, kalau mau diatur ketegasannya; syarat calon Kapolri tidak boleh berstatus tersangka. Maka dalil hukum abstrak yang menyertainya, boleh jadi harus berlaku imperatif terhadap setiap jabatan publik tatkala dalam proses pengangkatan jika sewaktu-waktu ditetapkan sebagi tersangka. Adalah “setiap perkara yang ditangani oleh KPK adalah perkara korupsi, yang mana “korupsi” merupakan kejahatan extra, dan akhir proses hukumnya selalu “terbukti pelakunya.”
Meskipun perumusan dalil hukum tersebut pasti sulit dalam perkembangannya, tetapi siapa yang tahu, Undang-Undang dan setiap ketentuannya memang selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat dimana hukum itu berada.*