Afirmasi Sang Guru Besar

Hari Kartini yang jatuh Senin kemarin (21/4) bak menyisakan ruang nyata, benar-benar terejawantahkan di sebuah lingkungan kampus terbesar di Indonesia Timur (Unhas). Dari tiga fakultas di Unhas yang menggelar penjaringan calon dekan, yaitu Fisip, Peternakan, dan Fakultas Hukum. Fakultas Hukum (FH) dapat dikatakan memiliki calon dekan dengan warna tersendiri. Satu-satunya fakultas yang menyelenggarakan pemilihan dekan, hadir calon dari kalangan perempuan. Dialah Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H, M.H.

Bahkan tak main-main, keberanian Prof Farida maju sebagai Calon Dekan FH Unhas. Rupanya diganjar dengan kemenangan suara tertinggi dari hasil voting yang diberikan oleh senat FH Unhas kemarin.

Meski hanya beda selisih tiga angka dengan pesaingnya di urutan kedua Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H yang memperoleh 21 suara. Tapi dengan jumlah 24 suara senat yang menjatuhkan pilihan kepadanya. Boleh jadi angka tertinggi yang dikehendaki oleh para senator, kelak akan diikuti pula oleh SK Rektor, untuk menetapkan Prof Farida sebagai Dekan Fakultas Hukum Unhas periode selanjutnya.

Itu artinya, sejak berdirinya FH  pada tanggal 3 Maret 1952. Untuk kedua kalinya FH akan dipimpin oleh seorang perempuan. Karena sebelumnya FH pernah juga dipimpin oleh perempuan yang bernama Prof. Agnes M. Toar, SH. M.CL  pada tahun 1977. Namun kalau mau ditilik lebih jauh, dekan FH Unhas tetap didominasi oleh kalangan laki-laki.

Sumber Gambar: riayunike74.wordpress.com

Sumber Gambar: riayunike74.wordpress.com

Mari kita liat daftar nama-nama Dekan FH Unhas pada periode sebelumnya. Dekan pertama dijabat oleh Prof Mr. Djokosoetono, kemudian digantikan oleh Prof Mr. C.  De Heern, setelah itu dilanjutkan oleh Prof Drs. G. H. M. Riekerk (1955-1958).

Selanjutnya, berturut-turut ada nama Mr Sutan Mohammad Syah (1958-1959); Prof Dr. PH. O. L. Tobing (1959-1961); Mr Sutan Muhammad Syah (1961-1962); Prof. Tahir Tungadi, S.H (1962-1964); Mustamin Dg Matutu, S.H (1964-1967); Ridwan Saleh Mattayang, S.H (1969-1971);  Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid (1971-1973); Mustamin Dg Matutu (1973-1975); Prof. Tahir Tungadi S.H. (1975-1977); Prof Agnes M. Toar, SH. MCL (1977); Mansyur Djuana, S.H (1977-1980); Prof, Dr. S. R. Noor, S.H. (1980-1986); Prof. Dr. Achmad Manggau, S.H (1986-1988); Dr. Kadir Sanusi S.H. M.H (1988-1994); Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. (1994-2002); Prof. Dr. Abdul Razak, S.H. M.H (2002-2006); Prof. Dr. Syamsul Bahri, S.H. M.S (2006-2010); Prof. Dr. Aswanto, S.H, M.H, DFM (2010-2014).

Kebijakan Afirmasi

Sudah menjadi kelaziman, bahwa dalam setiap senat yang dibentuk oleh Fakultas, termasuk pula senat universitas rata-rata dihuni oleh kalangan guru besar. Oleh karena itu, ketika mereka menjatuhkan pilihan pada satu nama, yang akan menjabat sebagai pimpinan Fakultas. Bukan lagi hal mustahil kalau pilihannya, pasti berasal dari penelaahannya yang cermat. Dan dipastikan siapa yang dipilih, akan mampu memanggul cita-cita bersama yang diemban oleh perguruan tinggi.

Tak pelak, kemenangan suara  senator oleh Prof Farida kemarin seolah membuka harapan baru. Peran perempuan untuk setara dengan laki-laki bukan lagi isapan jempol belaka. FH Unhas yang mana anggota senatnya, dihuni oleh kalangan laki-laki ternyata dari angka 24 suara, banyak pula suara dari guru besar yang berjenis kelamin laki-laki menjatuhkan pilihan kepadanya.

Jika dalam panggung politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di ruang publik, secara normatif dikenal tindakan khusus sementara atau dengan istilah “affirmative action.” Maka di Fakultas Hukum Unhas meski tidak ada alasan imperatif agar perempuan diberikan keistimewaan khusus melalui kebijakan afirmatif. Para guru besar FH Unhas telah melakukannya. Ini jelas berangkat dari ruang-ruang kesadaran mereka, yang sudah bajik dalam memberikan porsi yang “equal” terhadap siapapun, karena memiliki integritas, kapabilitas untuk mendayung perahu keadilan.  Dari sebuah institusi tempat lahirnya pendekar-pendekar hukum untuk negeri ini.

Sebab itu, tidak hanya kedewasaan berfikir yang kita tunggu dari mereka. Tetapi sikap legowo menerima kekalahan. Toh kalau bukan pilihannya nanti yang ditetapkan sebagai dekan terpilih oleh keputusan Rektor. Janganlah memunculkan kekisruhan yang berujung, pada tak jelasnya, nasib para pejuang keadilan di fakultas itu.

Kita tidak boleh mengulangi semrautnya nasib Pilrek Unhas. Cukup sudah kita mempertontonkan “kesalahan fatal” yang tercipta dari hasil Pilrek kemarin. Saya kira perhelatan pemilihan dekan FH melalui kebijakan afirmasi yang lahir dari pemikaran jernih nan bajik itu. Inilah awal untuk memulai agar FH menjadi penerang cahaya keadilan untuk semua Fakultas di Universitas Hasanuddin. Bahkan FH seyogianya menjadi jalan pencerah untuk mengedepankan nasib civitas akademika, bahwa kisruh Pilrek harus berakhir secepatnya dengan damai.

Kerja Nyata

Khusus untuk FH dalam fase pergantian pimpinannya. Tentu masih banyak PR yang harus dikerjakan oleh dekan terpilih selanjutnya. Sebagai alumni, dan siapapun itu, kita pantas berterima kasih pada dekan sebelumnya. Berkat FH Unhas yang mengalami kemajuan dalam segala pembangunan fisik hingga mendapat akreditasi “A”. Ini  adalah sebuah kemewahan.

Namun keberhasilan itu tidak boleh kita terlalu cepat jumawa. Tampilan fisik, ruangan yang molek dipandang mata, tidaklah lengkap tanpa kualitas keilmuan. Mesti dari kalangan pendidik (baca: dosen) tidak boleh berhenti untuk belajar, dan membagi gagasan keilmuannya dalam bentuk karya.

Hasil penelitian merupakan tanggungan kita bersama demi mencerdaskan bangsa. Jurnal penelitian di FH  Unhas yang sudah dari kemarin terkesan “mandeg” harus menjadi perhatian besar dekan terpilih nanti. Ada Jurnal Amanna Gappa, Jurnal Penelitian Hukum, Jurnal Konstitusi, Jurnal Hukum Internasional tidak boleh lagi dibiarkan terbit seadanya. Saya kira ini poin penting, yang selayaknya menjadi prioritas sang dekan terpilih, guna merealisasikan tri darma perguruan tinggi.

Terakhir, dituntut pula kerja nyata para dosen FH Unhas untuk mendermakan gagasannya, baik dalam bentuk penerbitan buku, artikel, hingga tulisan yang selalu terbaca di berbagai harian.

Sosok Alm. Prof Dr. Achmad Ali, S.H., M.H, yang semasa hidupnya, selalu menelorkan karya, hingga keikhlasan berbagi gagasan barunya, kini harus dimunculkan kembali. Dan  hanyalah “kerja nyata” dekan terpilih. Kelak yang akan membuktikan FH Unhas, untuk terus melahirkan Begawan-begawan hukum baru. Mari kita tunggu. (*)

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...