Prabowo atau Jokowi (Bangsawan Vs Rakyat Jelata)

DALAM fase menuju petarungan Pilpres 9 Juli 2014 mendatang, tentu banyak yang tidak sepakat. Jika saya menganalogikan Prabowo Subianto (Capres nomor urut satu itu) adalah berasal dari kelas bangsawan. Sedangkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres nomor urut dua berada dalam golongan kelas rakyat jelata.

Namun terlepas dari itu semua, ada baiknya kita menengok sejarah sistem pemerintahan di era klasik, terutama di masa hidupnya seorang ahli pemerintahan dari kalangan filsuf yang bernama Polybius (203-118 SM). Dengan memerhatikan secara cermat, teori siklus pemerintahan yang dikemukakan oleh Polybius, mendeskripsikan bahwa hanya ada dua golongan yang silih berganti, selalu mengambil alih kekuasaan. Kalau bukan bangsawan, pasti selanjutnya akan digantikan oleh rakyat jelata.

Bisa diamati secara berturut-turut model dan rupa siklus pemerintahan Polybius; “dari monarki-tirani-aristokrasi-oligarki-demokrasi-okhlokrasi-kembali ke monarki.”

Ke enam model pemerintahan tersebut, keberadaan bangsawan memang hanya berada di sistem pemerintahan yang bercorak aristokrasi dan oligraki. Namun dari segi kasta, kedudukan raja dan bangsawan berada di kelas atas, barulah kemudian tersebut nama rakyat. Oleh sebab itu, kesimpulannya bisa mengerucut pada kelas bangsawan juga hadir pada ruang monarki, tirani, aristokrasi, dan oligarki. Sementara masa berkuasanya rakyat hanya dapat ditemukan di sistem demokrasi.

Sumber Gambar: kompasiana.com

Sumber Gambar: kompasiana.com

Menariknya, jauh hari sebelumnya ternyata Polybius sudah mengingatkan dari awal. Kalau sistem demokrasi suatu waku akan berakhir, kemudian diambil alih kembali oleh kalangan monarki (raja). Karena suasana pemerintahan demokrasi, akan banyak diwarnai kekacauan, kebobrokan, dan korupsi sehingga hukum sulit ditegakan.

Sekarang, jangan-jangan fase negeri ini ketika telah melangkah di jalan yang disebut “demokrasi” ternyata identik dengan ramalan Polybius. Kalau demikian, berarti dari dua pasangan Capres yang tersedia sekarang. Dibalik kelebihan Prabowo Subianto yang di dalam dirinya telah bercokol unsur “ketegasan”. Ada sebuah pintu terbuka menjadi pihak pemegang okhlokrasi, yang dianggap seorang yang kuat dan berani, yang dengan kekerasan dapat memegang pemerintahan. Dan untuk selanjutnya kita akan memasuki fase pemerintahan yang “terpoles” dalam rupa monarki.

Mengukur Kelasnya

Menggunakan kaca mata masa lalu, sebagai bentuk beralihnya sistem pemerintahan untuk konteks kekinian. Tidaklah semuda di masa-masa sebelumnya. Sebab kondisi sekarang, berdasarkan bentangan empirik dalam sejarah pemerintahan kita di negeri ini.  Untuk dapat mengelompokan, apakah kelas  bangsawan ataukah kelas rakyat jelata sedang memerintah, tidak ada lagi deferensiasinya yang nampak secara jelas.

Dalam kelas bangsawan, di sana terikut pula golongan rakyat jelata. Demikianpun sebaliknya, atasa nama rakyat jelata, juga di usung oleh barisan kaum pengusaha, mungkin inilah yang memenjarakan Capres Jokowi kemudian dianggap “Capres boneka”. Semua posisi calon presiden, yang kelak akan memegang tahta pemerintahan nantinya bercampur baur. Baik yang berada dalam kelas bangsawan maupun kelas rakyat jelata.

Akibat campur baur dua kelas tersebut, sehingga kita sebagai pemilih pada akhirnya akan sulit pula menentukan, apakah akan memilih Calon Presiden yang akan menjalankan bandul pemerintahan dengan gaya monarki, aristokrasi ataukah dengan gaya demokrasi (atas nama rakyat jelata). Andaikan Polybius hidup di zaman sekarang, pasti sadar dan akan merenovasi teorinya. Ketika para penunggang kekuasaan semua sudah pada bercampur baur menjadi satu. Ibarat sitem pemerintahan oplosan, mereka pada tidak jelas, apakah mereka sedang mengutamakan golongan bangsawan ataukah golongan rakyat jelata.

Prabowo Vs Jokowi

 Untuk itu, diperlukan metode lain dalam menyesuaikan teori Polybius dalam konteks sekarang. Satu-satunya alat ujinya adalah dengan mengukur terlebih dahulu riwayat calon-calon yang akan menduduki pemerintahan tersebut.

Prabowo Subianto dengan latar belakang militer, anak dari tokoh begawan ekonom Indonesia (Soemitro), mantan menantu Soeharto (Presiden era orde baru), hingga sekarang dengan latar belakang sebagai pengusaha. Berarti rekam jejak pribadi capres nomor urut satu ini, jelas berada pada kelas bangsawan.

Sedangkan Joko Widodo sendiri, lahir di Surakarta, di besarkan oleh orang tua yang berprofesi sebagai rakyat biasa. Orang tuanya yang berasal dari Karang Anyar sebagai “tukang kayu” dan akhirnya diwarisi pula oleh Jokowi pekerjaan tersebut,  pada usia 12 tahun. Hingga pendidikannya boleh dikatakan bukanlah golongan pendidikan elit, dengan harus memilih studi ke luar negeri misalnya. Jokowi pasca lulus dari UGM dengan jurusan kehutanan kemudian di terima bekerja di BUMN PT Kertas Kraft Aceh, tetapi pekerjaan itupun akhirnya ditinggalkan, dan mendirikan bisnis sendiri melalui usaha mebel di Surakarta. Lalu nasib peruntungan pun datang menghampirinya, dia menjadi Wali Kota Solo, lalu Gubernur DKI Jakarta, hingga di Capres-kan oleh PDIP. Meskipun terlihat, Jokowi saat ini menjadi “anak emas” PDIP, rekam jejaknya dari kecil, dewasa, hingga berkeluarga. Ada sekelumit fakta dapat terbaca, beliau pernah merasakan pahit-manisnya sebagai rakyat jelata. Artinya, masih ada sedikit kemungkinan dalam diri Jokowi cita rasa “rakyat jelatanya”.

Kembali pada teori Polybius di atas, apakah ada jaminan kalau di pegang oleh rakyat jelata yaitu Jokowi, kelak akan melahirkan pemerintahan yang sempurna? Dan kalau dipegang oleh kelas bangsawan  yaitu Prabowo Subianto pemerintahan di negeri ini akan salah urus. Jawabannya; belum tentu. Oleh karena siapapun yang memegang tampuk pemerintahan, entah dari kelas rakyat jelata ataupun kelas bangsawan. Ke dua-duanya akan mengalami ancaman kerapuhan. Karena seperti itulah peringatan keras yang pernah didendangkan oleh Polybius. Kalau sesungguhnya tidak akan ada model pemerintahan yang akan bersifat abadi.

Maka terserah, semua kembali kepada rakyat saat ini. Dengan hak pilih yang telah diberikan kepadanya. Pilpres dengan pertarungan dua kepentingan; bangsawan dan rakyat jelata. Pertarungan itu akan berakhir, hanya ada di tangan rakyat yang telah diberikan hak berdaulat sepenuhnya. Untuk selanjutnya entah bagaimana, kemungkinan kita akan mengalami fase pemerintahan salah urus lagi. Ironis.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...