Memotret Gugatan UU Pilkada
Dalam pemeriksaan pendahuluan atas gugatan Undang-undang (UU) Pilkada yang dipimpin oleh Arief hidayat, Ia menganjurkan kepada sembilan pemohon berbeda di gedung MK (Mahkamah Konstitusi), agar menarik permohonannya.
Akhirnya, empat dari sembilan pemohon berbeda, memutuskan untuk mencabut gugatannya. Diantaranya: Pertama, perkara Nomor 103/PUU-XII/2014, yang dimohonkan Budhi Sutardjo, Komar Hermawan, H. Tato Hartato Supriatna dkk dengan kuasa hukum Sirra Prayuna. Kedua, permohonan perkara Nomor 100/PUU-XII/2014, yang dimohonkan oleh I. Hendrasmo, R. Kristiawan, Sebastianus KM Salang dkk dengan kuasa hukum Andi Muhammad Asrun juga mencabut gugatannya. Ketiga, perkara Nomor 104/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Mudhofir dan Togar JS Marbun dengan kuasa hukum Saut Pangaribuan. Keempat, perkara Nomor 102/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Andi Gani Nenawea, M. Nurdin Singadimedja, Mochamad Acim dan R. Abdullah.

Sumber Gambar : merdeka.com
Kini, hanya tersisa lima pemohon atas gugatan UU Pilkada tersebut. Mereka menyatakan akan tetap meminta MK, untuk menguji beberapa pasal-pasal dalam UU Pilkada dengan UUD 1945. Diantaranya adalah pengacara gaek, Otto Cornelis Kaligis. Ia meminta agar perkara Nomor 98/PUU-XII/2014 yang dimohonkannya tetap dilanjutkan untuk mengetahui apakah aturan di dalamnya menguntungkan kepentingan rakyat atau kepentingan partai politik.
Dalam menganalisis ketepatan apa yang dianjurkan oleh hakim konstitusi terhadap sembilan pemohon uji materil dan formil UU Pilkada di atas. Butuh penelaahan cermat dan hati-hati, untuk mendiskusikan terkait dapat/ tidaknya UU Pilkada dipermasalahkan di MK. Oleh karena UU Pilkada sudah dicabut keberlakuannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Gugatan Ilusoir
Pada dasarnya UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya disebut UU Pilkada), pasca penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014, dengan serta merta UU Pilkada dinyatakan sudah tidak berlaku lagi.
Kalau para pemohon mempermasalahkan sistem Pilkada via DPRD dalam UU Pilkada. Pun hal itu, sudah tidak berlaku lagi. Sebab sudah “dikunci” oleh sifat keberlakuan Perppu dalam dua basis argumentasi hukum. Pertama, sejak Perppu tersebut diterbitkan oleh Presiden maka pada saat itu dinyatakan berlaku; Kedua, dengan keberlakuannya Perppu pada saat itu juga ”otomatis” materil UU Pilkada via DPRD yang diganti dengan Pilkada langsung melalui isi Perppu Pilkada, juga sudah berlaku.
Itu artinya secara mutatis-mutandis, terhadap semua pemohon uji materil dan formil UU Pilkada, ketika mempermasalahkan “Pilkada via DPRD”, karena rata-rata mereka sedang memperjuangkan keberlakuan “Pilkada langsung”. Semua tuntutannya sudah terpenuhi melalui daya mengikatnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pilkada itu.
Sehingga sudah sangat tepat jika dalam persidangan berikutnya, MK kemudian menyatakan gugatan dari lima pemohon uji materil UU Pilkada adalah tidak dapat diterima. Logikanya, bagaimana mungkin MK akan memeriksa, mengadili, memutus, hingga mengabulkan tuntutan itu, padahal yang sedang dituntut sudah terpenuhi. Dalam praktik hukum acara, gugatan demikian hanya akan menjadi gugatan ilusoir, yaitu sebuah gugatan dari apa yang dituntut “sia-sia” saja untuk diputuskan.
Namun dibalik itu, satu hal kekurangan Perppu, adalah walaupun memiliki kekuatan mengikat sejak diterbitkan oleh Presiden, Perppu tidak dapat menjadi jaminan yang “pasti” akan berlaku dalam jangka waktu yang panjang. Nafas keberlakukan Perppu ditentukan oleh dua fungsi kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif (DPR) dan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi).
Berdasarkan Pasal 22 ayat 2 UUD NRI 1945, DPR merupakan penentu terakhir “hidup-matinya” sebuah Perppu. Oleh karena ketika Perppu tersebut ditolak oleh DPR, maka pada saat itu pula dapat dikatakan nasib Perppu Pilkada telah berakhir.
Satu dan lain hal, keberlakuan Perppu dalam jangka waktu yang panjang dapat pula ditentukan oleh MK. Bedanya posisi DPR dengan MK di sini, MK bersikap pasif yang tidak ada kewajiban untuk menentukan nasib Perppu, kalau tidak ada pihak yang memiliki legal standing, untuk selanjutnya menggugat Perppu tersebut ke MK. Tapi dalam poin ini, meskipun MK bersifat “menunggu”, patut dicatat pula bahwa terdapat “kedigdayaan” putusan MK. Yaitu jika MK memutuskan Perppu tidak sah secara konstitusional kemudian membatalkannya, maka posisi DPR untuk menguji objektivitas Perppu itu sudah tertutup peluangnya sama sekali. Mau tidak mau DPR harus menghormati dan menaati putusan MK tersebut. Demikianpun sebaliknya, jika MK berpendapat bahwa Perppu itu sah secara konstitusional, maka tidak ada artinya juga DPR untuk membahas Perppu tersebut.
Kekosongan UU Pilkada
Mari kita berandai-andai, andaikata Perppu Pilkada suatu waktu dibatalkan. Kira-kira bagaimana nasib pemilihan kepala daerah nanti? Sebab semua sistem yang akan digunakan sudah tidak ada, ketika Perppu tersebut dibatalkan. Jelas implikasinya akan terjadi kekosongan UU Pilkada ditingkat undang-undang.
Kekosongan hukum Pilkada tersebut dalam ruang konstitusi dan dimensi ketatanegaraan kita. Hanya dapat dihindari dalam beberapa kemungkinan. Pertama, jika MK membatalkan Perppu Pilkada. Agar tidak terjadi kekosonga hukum, maka dengan melalui amar putusannya Mk harus kembali “meniupkan roh kehidupan” terhadap UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, dengan menyatakan UU Pilkada yang lama dinyatakan berlaku kembali. Hal ini pernah terjadi ketika MK menyatakan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelamatan MK batal, lalu MK kembali menghidupkan UU MK yang lama (UU Nomor 24 Tahun 2003 Jo, UU Nomor 8 Tahun 2011). Kedua, kalau DPR sekiranya menolak Perppu Pilkada. Demi menghindari kekosongan hukum atas penolakan Perppu itu, DPR harus melakukan paripurna ulang untuk membahas kembali materil UU Pilkada bersama dengan Presiden, khususnya sistem pemilihan kepala daerahnya. Itu artinya penerbitan UU Pilkada kembali tunduk berdasarkan prosedur yang disyaratkan oleh Pasal 20 UUD NRI 1945. Ketiga, kalaupun DPR tetap bersikeras menolak Perppu Pilkada, dan tidak melakukan paripurna ulang untuk pembahasan materil sistem Pilkada itu dalam RUU baru. Karena terjadinya kekosongan hukum, Presiden (dalam hal ini pemerintahan nanti yang sudah dijabat Jokowi) dapat menerbitkan Perppu. Tentu penerbitan Perppu yang “berulang-ulang” ini terkesan “ironis” bahkan merusak maruah konstitusi. Namun apa mau dikata, memang demikianlah, ruang yang disediakan oleh konstitusi kita.
Berita cukup menjanjikan akhir-akhir ini, konon Koalisi Merah Putih (KMP), sebagai fraksi mayoritas di parlemen mulai “melunak” sikapnya atas sistem Pilkada langsung yang diinginkan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Ada tanda-tanda dari KMP akan mendukung sepenuhnya Perppu yang telah diterbitkan oleh Presiden SBY itu.
Kalaupun KMP kemudian berbalik arah mendukung Perppu Pilkada yang berisi Pilkada Langsung. Pasti akan merusak citra politiknya. Boleh jadi KMP dianggap “laron” yang gampang saja berpindah-pindah haluan politik. Nah, mana yang mau dipilih KMP kelak, harga dirinya tergadaikan, ataukah rela dianggap politisi “oportunis” karena mengikuti kehendak rakyat yang tetap menghendaki Pilkada langsung? *