Kabinet Particracy Atau Meritokrasi?
Menolak kehadiran unsur partai politik dalam kabinet sama halnya “lepas tangan” dalam menanggung kesalahan atas ‘dosa turunan” konstitusi yang terlanjur mewariskan prefilege kepada partai politik. Bahwa hanyalah partai politik sebagai satu-satunya suprastruktur negara yang dapat mengajukan calon dalam satu paket: Presiden dan Wakil Presiden.
Situasi tersebut semakin runyam, ketika syarat bagi partai politik dalam mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden harus menembus angka 25 persen suara sah nasional, kalaupun tidak mencukupi angka itu, mau tidak mau partai politik harus berkoalisi (menggandeng) beberapa partai untuk mengusung paketnya (Presiden dan Wakil Presiden).
Setidaknya, terdapat dua alasan mengakomodasi partai politik dalam frame pembentukan arsitektur kabinet. Pertama, sekedar hanya untuk membayar ‘utang budi” kepada teman koalisi partai dalam mengantarkan kemenangan. Kedua, alasan klasik yang selama ini dianggap sebagai kutukan presidensialisme multipartai ekstrim, yang “memaksa” Presiden untuk mengamankan kebijakannya kelak di parlemen. Bahwa dengan adanya perwakilan partai di kabinet pemerintahan, harapan bagi Presiden agar partai-partai tersebut selalu menjadi penyokong bagi setiap kebijakannya akan kuat di parlemen.
Kabinet Particracy
Mencermati kabinet Jokowi-JK yang dinamakannya “kabinet kerja”, dan selama ini sudah mulai banyak yang “curi start” menjalankan masing-masing perannya. Sulit dilepaskan portofolio kabinetnya dari dua alasan yang telah dikemukakan di atas, sehingga unsur partai politik masih kental “mewarnai” kabinet kerjanya.
Dari 34 pos kementerian, 16 diantaranya terbukti menjadi jatah dari unsur partai politik. Sehingga tidak salah kalau kabinet ini kemudian dianggap sebagai “kabinet particracy.
PDI Perjuangan menyumbang enam menteri (Tjahjo Kumolo, Rini Soemarno, Yasonna H. Laoly. A.A.G.N Puspayoga, Ryamizard Ryacudu, dan Puan Maharani) PKB mendapat jatah empat menteri (Marwan Jafar, Hanif Dzakiri, Imam Nahrawi, dan M. Nasir), Nasdem diganjar tiga menteri (Tedjo Edy Purdjianto, Ferry Mursidan Baldan, dan Siti Nurbaya), sementara Hanura mendapat dua menteri ( Saleh Husin dan Yuddy Chrisnandi), dan tak ketinggalan PPP-pun nasib diuntung tiba, akhirnya mendapat satu kursi menteri (Lukman H. Saifuddin).
Jika hadirnya 16 menteri dari kalangan partai politik pendukung tersebut, kalau sengaja ditujukan untuk menguatkan “kebijakan politik” Jokowi-JK di parlemen, kiranya sudah tidak tepat sasaran, karena amunisi tambahan yang berasal dari PPP secara matematis belum sanggup mencukupi “mayority coalition” 50 persen plus satu di DPR.
Oleh karena itu, harapan satu-satunya kelak, agar menteri dapat memberi sumbangsi kekuatan bagi pemerintahan Jokowi-JK, hanya bertumpu pada masing-masing kinerja kabinetnya. Sejauhmana masing-masing kabinet menunjukan kemampuan hingga prestasi mereka melakukan terobosan; tindakan nyata-nyata yang pro rakyat, tidak sekedar ‘angin sesaat” yang mencuri perhatian publik saja. Nah, dalam kondisi tersebut, sudah pasti kebijakan untuk menaikan BBM dalam rencana satu bulan ke depan, menjadi ujian terberat bagi pemerintahan Jokowi-JK. Jangan sampai gara-gara ketidakmampuan melakukan tranformasi: pantasnya subsidi BBM untuk dikurangi, Jokowi-JK akan ditinggalkan oleh publik yang selama ini memiliki ekspektasi besar terhadap pemerintahannya.
Kembali kepada kualitas kabinet kerja Jokowi-JK, untuk mengatakan wajah-wajah menterinya adalah buruk; tidak juga, tapi untuk mengatakan sangat baik; juga tidak ada di penilaian itu. Minimal hanya bisa dikatakan “tidak ada yang luar biasa” dari postur kabinetnya.
Ada hal yang unik sebenarnya, dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai pemegang kuasa Prerogatif, sebelum mengumumkan postur kebinetnya. Yaitu dengan melakukan “terobosan baru” membawa daftar nama-nama calon menteri untuk diuji rekam jejaknya di KPK dan PPATK. Langkah progresif Jokowi ini boleh dikatakan sangat baik, sebagai langkah preventif terjadinya kasus kelam periode kabinet silam. Bukankah di erah kabinet Indonesia Bersatu II (SBY-Boediono) yang “oversized coalitio” hingga mengakomodasi kabinet partai, tiga punggawa kabinet akhirnya dijemput paksa oleh komisi anti rasuah, gara-gara laku korupsi mereka? Ini pastinya, jejak-jejak awal yang pantas di maklumi, sehingga Jokowi memakai tameng KPK dan PPATK, sebelum mengumumkan kabinetnya.
Satu hal yang patut dibaca pula sebagai dramaturgi politik dari pelibatan KPK sebelum nama-nama menteri itu dimumkan, adalah dampak stabilo merah, kuning dan pink. Secara kasat mata pastinya bagi Jokowi yang terkesan ‘adem-adem” saja, jika calon menteri yang berasal dari partai politik ketika terkena stabilo merah, kuning ataukah pink pasti lebih sulit “dicoret” dibandingkan jika calon yang berasal dari kalangan profesional murni. Penyebabnya adalah tidak semuda membalikkan telapak tangan untuk menggulingkan nama-nama kabinet partai karena sudah terlanjur memberi dukungan kemenangan. Ditambah lagi dengan misalnya veto player ketua umum partai, terutama Megawati yang masih memegang “estafet kekusaan” di PDI Perjuangan, sudah pasti rekomendasinya tidak bisa ditolak oleh Jokowi, meskipun hak mengangkat kabinet merupakan hak prerogatifnya.
Fakta tersebut semakin terbaca dengan munculnya sejumlah penolakan dari pendukung Jokowi-JK, terhadap Rini Soemarno yang kemudian ‘dipaksakan” menjadi menteri BUMN. Padahal sebelumnya Rini Soemarno dituding tidak bersih dari rekam jejak korupsi. Spekulasipun kemudian mencuat; benarkah Jokowi sebagai Presiden merdeka ataukah Presiden “boneka”?
Kabinet Meritokrasi
Deibalik peristiwa tarik ulur kabinet kemarin, Saya termasuk berada di kalangan yang menyayangkan ketika Presiden Jokowi terlalu membesar-besarkan ke publik, di saat memakai ‘tangan” KPK guna mencari kabinet yang meritokratis. Padahal meski dengan melibatkan KPK, ketika hal itu dirahasiakan, disembunyikan, publik tidak perlu mengetahuinya, pasti jauh lebih besar mudharatnya untuk menghadirkan kabinet ahli dan dapat bekerja. Di samping itu, sekiranya peran KPK dirahasiakan, tidak pula akan menimbulkan “kecurigaan” terhadap calon yang awalnya disenter dalam struktur kabinet. Kalau mereka yang kena stabilo berada dalam “jerat” komisi anti rasuah.
Kini, tinggal waktu saja menanti, minimal dalam seratus hari pemerintahan Jokowi-JK. Pasti publik akan memberi penilaian: Apakah kabinet yang telah ditunjuk sudah menempati fungsi yang layak (merit)? Apakah 16 menteri yang sumbernya dari unsur partai politik akan memutarbalikkan kecurigaan selama ini, kalau mereka direkrut hanya sebagai imbal jasa politik saja. Jawabannya terletak di janji Presiden Jokowi sendiri; yaitu kerja, kerja dan kerja. (*)