Kesejahteraan Adalah Hak Asasi Manusia
Kesejahteraan masih menjadi masalah pokok yang di hadapi oleh bangsa Indonesia. Isu kesejahteraan berkaitan erat dengan hak asasi manusia, terutama hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hak asasi manusia, terdapat tiga aspek yang harus dijaga dan diselamatkan, yaitu, integritas manusia, kebebasan manusia, dan kesetaraan manusia. Hukum dasar untuk dapat tercapainya tiga aspek ini adalah dengan cara penghormatan terhadap martabat manusia.
Pada mulanya, konsep hak asasi manusia sebatas difokuskan pada aspek hak kebebasan dan hak untuk terlibat aktif dalam proses politik, yang kemudian kedua hak ini dikenal dengan hak sipil dan politik. Kemudian konsep hak asasi manusia mengalami perluasan, hal ini ditandai dengan lahirnya hak ekonomi, sosial dan budaya. Perluasan tentang konsep hak asasi manusia ini dasarnya merupakan kritik terhadap laissez-faire liberalism pada abad 18. Liberalisme klasik ini sangat meyakini kebenaran premis tentang adanya apa yang disebut dengan homo equalis, ialah dengan adanya manusia-manusia individual yang dikatakan selalu rasional dalam segala tindakan dan putusan akalnya. Inilah konsep yang pada kuartal akhir abad 18 itu memperoleh pembenaran etik-ekonomiknya oleh pemikir-pemikir liberal seperti Adam Smith, yang pada gilirannya meyakini terwujudnya the wealth of nations sebagai hasil realisasi yang konsekuen atas seluruh premis dan asas etika macam itu. Paham ini kemudian dengan segera mengundang lahirnya pemikiran-pemikiran neo- atau welfare-liberalism di bidang teori-teori ekonomi, dan konsep welfare-state dalam praksis-praksis politik dan politik-ekoniminya. Bertolak dari paham welfare liberalism ini, maka konsep konstitusional tentang peran negara dan para pejabat pengemban kekuasaan negara, khususnya dalam hubungan mereka dengan persoalan pemenuhan hak-hak manusia warga negara yang asasi, akan mengalami reinterpretasi dan/atau redefinisinya.
Tonggak sejarah tentang pengaturan Hak Asasi Manusia yang bersifat internasional dihasilkan tepatnya setelah Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi tersebut tidak hanya memuat hak-hak asasi manusia yang diperjuangkan oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga pengalaman penindasan oleh rezim-rezim fasis dan nasionalis-nasionalis tahun dua puluh sampai empat puluhan. Sementara itu elit nasional bangsa-bangsa yang dijajah mempergunakan paham hak asasi manusia, terutama “hak untuk menentukan nasib sendiri”, sebagai senjata ampuh dalam usaha untuk melegitimasi perjuangan mencapai kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty) yang di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia, yaitu: Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Ketiganya dikenal dengan istilah “International Bill of Human Right”.
Pada tanggal 30 September 2005, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan pada tanggal 28 Oktober 2005, Pemerintah Indonesia mengesahkan Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) tersebut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Dengan ratifikasi tersebut maka akan timbul konsekuensi terhadap pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Selain ratifikasi perjanjian internasional, sebenarnya hak ekonomi, sosial dan budaya juga telah lama dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Hak atas kesejahteraan warga negara identik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya, karena dalam hak ekonomi, sosial dan budaya dijamin beberapa hak yang diantaranya adalah: hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hak atas pekerjaan. Keseluruhan hak tersebut diatur dan dijamin dalam UUDNRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, serta undang-undang lainnya. Namun ternyata, walaupun hak tersebut telah dijamin dalam sebuah aturan hukum, kenyatannya tidak seperti harapan. Masih saja peristiwa-peristiwa menyedihkan dialami oleh warga negara kelas menengah ke bawah, dimana mereka selalu berhadapan dengan situasi “orang miskin di larang sakit” dan “orang miskin di larang sekolah”. Oleh karena itu permasalahan kesejahteraan warga negara Indonesia mesti mendapatkan sebuah solusi.
Salah satu faktor penyebab terjadinya permasalahan kesejahteraan jika di tinjau dari perspektif hak asasi manusia adalah kesalahpahaman mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak ekonomi, sosial dan budaya selama ini digambarkan sebagai hak yang hanya sekedar statemen politik, sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak yang riil. Kemudian lahir pula pendapat yang menyatakan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak yang tidak dapat diadili (non-justiciable), dalam arti bahwa hak itu tidak dapat dituntut atau di klaim dalam sidang pengadilan. Isu yang mengkedepankan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak yang tidak dapat diadili semakin memperparah kondisi kesejahteraan warga negara di Indonesia. Sebagai contoh, dalam peristiwa seseorang warga negara yang mendapat perlakuan represif dari aparat kepolisian, maka warga negara tersebut memiliki akses untuk meminta pertanggungjawaban aparat melalui mekanisme hukum. Sebaliknya ketika terjadi peristiwa kelaparan, pengangguran, dan tidak memiliki tempat tinggal, warga negara kesulitan untuk mendapatkan akses untuk mengklaim hak-hak mereka dalam sebuah mekanisme hukum. Sejatinya hak adalah sebuah klaim dari warga negara, seperti dikatakan Dworkin bahwa “hak adalah suatu klaim yang dapat dibenarkkan, berdasarkan landasan moral dan hukum, untuk memiliki atau memperoleh sesuatu, atau untuk bertindak dengan cara tertentu”.
Berbeda ketika kita belajar dari negara-negara lain, seperti di Afrika Selatan. Dimana jaminan terhadap hak kesejahteraan mendapatkan perhatian khusus. Hal ini dapat ditemukan dalam yurisprudensi ketika Mahkamah Konstitusi mengeksaminasi kasus Irene Grootboom melawan Pemerintah Afrika Selatan. Diputuskan bahwa negara berkewajiban melakukan “pemulihan bagi orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap tanah, tidak memiliki atap di atas kepalanya dan mereka yang hidup pada situasi yang tidak dapat ditoleransi atau situasi krisis. Jaminan terhadap hak atas kesejahteraan pada hakikatnya memberikan suatu pijakan normatif akan hadirnya penguatan dan perlindungan secara hukum. Dalam konteks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sejatinya hal itu juga harus berlaku.
Kemudian dalam hak asasi manusia terdapat empat prinsip yaitu; universal (universality), tak terbagi (indivisible), saling bergantung (interdependent), dan saling terkait (interrelated). Berdasarakan prinsip ini maka sudah tidak ada lagi dibaginya antara hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Karena hak adalah sebuah klaim, maka sudah merupakan keniscayaan ketika warga negara dapat mengklaim hak-hak tersebut kepada Pemerintah melalui peradilan, karena Pemerintah merupakan penanggungjawab hak untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia—hak ekonomi, sosial, dan budaya—agar hak asasi manusia manusia di Indonesia semakin mendapatkan arti yang sebenarnya sebagai “claims againts the public authorities of the state”. Dengan demikian, ketika hak ekonomi, sosial dan budaya mendapatkan jaminan hukum yang efektif serta pemenuhan haknya dapat dipaksakan melalui mekanisme judicial, maka setidak-tidaknya masalah kesejahteraan di Indonesia dapat menurun secara perlahan, dan agar Pemerintah lebih serius lagi dalam menyikapi permasalahan ini.