Tersangka Korupsi, Segeralah Limpahkan!
Hampir setahun silam, Jumat keramat KPK mengonversi status hukum Suryadarma Ali (SDA) dan Ilham Arif Sirajuddin (IAS) menjadi Tersangka Korupsi. Memang SDA sudah ditahan oleh KPK, beda halnya dengan IAS, kini nasibnya sebagai “tersangka” hingga sekarang masih terkatung-katung. Tapi yang pasti, baik SDA maupun IAS penanganan kasusnya oleh KPK terkesan lambat.
KPK selama ini seolah-olah memberi kebebasan kepada tersangka agar tetap dapat menikmati cengkarama bersama keluarga, handai taulan, dan beraktivitas layaknya manusia yang tak bermasalah dengan hukum.
Perlu diketahui bahwa penetapan status tersangka tanpa penahanan sesungguhnya berimplikasi persepsi publik yang negatif. Persepsi publik yang dapat membunuh “kepercayaan diri” tersangka korupsi dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Kemana dan apapun aktivitas tersangka korupsi, apalagi jika mengharuskan baginya bertemu muka dengan publik, maka selalu ada rasa sensitif membayangi pikirannya bahwa pasti publik mencibirnya atau mengumpatnya. Mungkin saja “cibiran itu” dilakukan dalam hati mereka masing-masing (baca: publik), tapi toh itu terasa bagi seorang yang telah dinyatakan tersangka oleh KPK.
Jika demikian, status tersangka tanpa penahanan yang dapat menyiksa bathin dan jiwa seseorang bila melihat atau bertemu dengan publik. Rasanya tentu akan lebih baik dan tenang jika ditahan di penjara karena sudah terhindar dari phobia publik.
Tampaknya maxim hukum “presumption of innocence” tak mampu menangkis persepsi negatif masyarakat dengan status tersangka. Hal ini tentu tidak berlaku bagi tersangka korupsi yang “tebal muka” dan “tuli sosial” akibat sudah sering menipu publik. Maka dari itu “legal issue” dalam tulisan ini, apakah penetapan tersangka tanpa penahanan yang terlalu lama dan tidak segera di limpahkan berkas perkaranya ke pengadilan tidak melanggar hak-hak tersangka korupsi?

Sumber Gambar: cdn-2.tstatic.net
Segera Limpahkan
Status sebagai tersangka perbuatan pidana extra ordinary crime yang bernama korupsi tidaklah mencabut hak-haknya yang dilindungi oleh hukum. Pijakan hukum yang berkaitan dengan isu ini dapat dipedomani berdasarkan Pasal 50 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang menegaskan: (1) Tersangka berhak “segera” mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum; (2) Tersangka berhak perkaranya “segera” dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; (3) Terdakwa berhak “segera” diadili oleh pengadilan.
Menelaah ketentuan di atas, sangat gamblang dititahkan bahwa proses pemeriksaan seseorang baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan di pengadilan harus di “segera”kan. Hanya saja, dalam KUHAP tidak dijelaskan secara detail apa makna “segera” jika disubtitusi menjadi “waktu.”
Kelemahan inilah yang dapat “menggantung” hak-hak tersangka dalam ketidakpastian akan proses hukum dirinya. In casu, SDA dan IAS hampir setahun dibiarkan “berkeliaran” dengan status tersangka menghadang persepsi negatif publik. Padahal keduanya pun yakin jika dirinya tidak bersalah dan tidak melakukan perbuatan korupsi.
Secara tegas, nyatanya Undang-Undang memberikan “hak” kepada SDA dan IAS untuk disegerakan pelimpahan perkaranya ke pengadilan. Namun, karena belum ada tafsir waktu frasa “segera” dalam Pasal 50 KUHAP tersebut, maka dalam hemat Penulis mengusulkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah ditetapkan sebagai tersangka, berkas perkara tersangka sudah harus dilimpahkan ke pengadilan, mengingat makna “segera” tanpa tafsir batas waktu berpotensi inkonstitusional.
Yakni, melanggar hak konstitusional tersangka yang dilindungi oleh konstitusi. Hal ini dengan mengaca pada Putusan MK No 03/ PUU-XI/2013 yang pernah memberikan tafsir waktu frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat 3 KUHAP mengenai ihwal tembusan surat penangkapan “segera” diberikan kepada keluarga.
Dengan demikian, bersandar pada putusan MK tersebut maka frasa “segera” dalam Pasal 50 KUHAP jika tidak ditafsir limitasi waktunya, maka berpotensi inkonstitusional sebab melanggar asas kepastian hukum yang terdapat dalam konstitusi itu sendiri.
Keadilan Tertunda
Atas terkatung katungnya nasib tersangka korupsi, KPK selalu berdalih bahwa berkas perkaranya dalam proses perampungan. KPK dapat menetapkan tersangka meskipun proses perampungannya baru 50 % sampai 60%. Seharusnya Jika KPK belum merampungkan proses administrasi dan dokumentasi alat bukti sampai 80% jangan menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Kedepan, harus diperjelas makna “segera” oleh KPK atau penegak hukum lainnya dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan perkara. Untuk jangka panjang, RUU KUHAP harus menjawab tafsir frasa ” segera” ini.
Selain Pasal 50 KUHAP ini, ada beberapa ihwal yang memang harus dipertegas limitasi waktunya seperti proses penyidikan, pelimpahan berkas perkara ke penuntutan dan ke pengadilan.
Terkait dengan itu, ada beberapa keuntungan pula jika KPK tidak menggantung para tersangka korupsi dalam jangka waktu yang lama. Pertama, serangan para tersangka melalui praperadilan dapat dibendung jika para tersangka segera dilimpahkan ke pengadilan, karena pelimpahan tersebut akan menggugurkan praperadilan. Kedua, secara sosial, pelimpahan perkara tersangka ke pengadilan dengan segera setelah ditetapkan sebagai tersangka akan meniadakan asumsi publik bahwa penetapan tersebut adalah “pesanan” atau beraroma politik. Ketiga, bagain dari pemenuhan hak tersangka untuk segera diadili.
Kebencian terhadap korupsi bukanlah alasan untuk berbuat tidak adil kepada para tersangka korupsi, yaitu dengan cara mengabaikan hak-haknya yang dilindungi oleh Undang-Undang bahkan konstitusi.
Bukankah para filsuf hukum dari dulu selalu mengamanatkan “justice delayed, justice denied ——- keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak” Maka “segerakanlah” perkara tersangka untuk diadili dari dugaan korupsi yang menimpanya, agar tak ada lagi keadilan tertunda terhadap hak-hak yang melekat dalam diri tersangka itu.*
ARTIKEL INI SUDAH MUAT DI INILAH SULSEL, 4 MEI 2015