Pilkada atau Pemilukada?

In abstracto penggunaan nomenklatur dalam ilmu Perundang-Undangan menjadi penting karena memiliki implikasi-implikasi tertentu.

In qasu penggunaan nomenklatur UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam realitas penggunaan bahasa hukumnya, terpolarisasi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, ada yang menyederhanakannya dalam sebutan UU Pemilukada. Kemudian Kelompok Kedua, lebih sepakat dengan penyebutan Undang-Undang Pilkada.

Sumber Gambar: newspaper.co.id

Nomenklatur Pilkada

Tampaknya berdasarkan inventarisasi Peraturan Perundang-Undangan terkait, sebagaimana hasil penelusuran Penulis, mulai dari Bab VI Pemerintahan Daerah dalam Pasal 18 UUD NRI 1945, UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 12 Tahun 2008 atas perubahan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, hingga UU No. 8 Tahun 2015 (perubahan terakhir UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota). Bahwa satupun dalam setiap ketentuan tersebut tidak terdapat frasa “Pemilihan Umum” Gubernur, Bupati, Walikota. Secara to the point semua ketentuannya langsung ditegaskan ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota” (tanpa diikuti anak kalimat “…umum…”).

Hanya “secara materilnya” Pilkada mengiplementasikan asas-asas Pemilu (langsung, umum, bebas, dan rahasia; jujur dan adil). Tetapi secara formil tidak menghilangkan esensinya sebagai pemilihan dalan rezim Pemerintahan Daerah. Ketegasan ini semakin diperkuat melalui UUD NRI 1945 dan Putusan MK (Nomor: 72 – 73/PUU-II/ 2004 dan Nomor: 97/PUU-XII/2013). Bahwa pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dilaksanakan secara demokratis berada dalam Bab VI Pemerintahan Daerah (bukan dalam bab VIIB: Pemilu) UUD NRI 1945.

Hingga dalam dua putusan MK tersebut, juga dinyatakan berdasarkan pendapat Mahkamah: “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota merupakan Pilkada langsung yang tidak termasuk dalam kategori Pemilihan Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945. Namun demikian Pilkada langsung adalah “Pemilihan Umum” secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD NRI 1945.”

Jadi, secara formil Pilkada tetap dalam rezimnya Pemerintahan Daerah Pasal 18 UUD NRI 1945. Dalam arti yang sederhana, bahwa kendatipun Pilkada diselenggarakan secara langsung, nama “pemilihannya” bukanlah “Pemilihan Umum” tetapi “Pemilihan Kepala Daerah”. Acuan pada bab pengaturan pemilihannya “secara demokratis” meniscayakan pada koherensi dan konsistensi “Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).”

Bahkan dalam hemat penulis, seyogianya nomenklatur atas UU No. 8 Tahun 2015 (perubahan terakhir UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) lebih tepat dalam nomenklatur Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Dasar argumentasinya adalah frasa “Pemilihan Kepala Daerah” di dalamnya sudah tercakup pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Lebih dari pada itu, dengan nomenklatur “Pilkada” atas Pemilihan secara langsung “satu paket” masing-masing Kepala Daerah dan Wakil-Wakilnya juga sudah terintegrastikan dalam pemaknaan secara jelas (expressive verbis).

 Legalitas KPU/D

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, hingga pasca pembentukan UU No 8 Tahun 2015. Eksistensi lembaga ini masih banyak yang mempermasalahkan legalitasnya, atas tidak berwenangnya secara konstitusional, oleh karena dianggap hanya sebagai penyelenggara dalam Pemilu berdasarkan Pasal 22 E UUD NRI 1945, untuk pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden, dan pemilihan Umum Anggota legilslatif. Tidak satupun ketentuan dalam UUD NRI 1945 memberinya wewenang sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah.

Jika hanya terpaku pada ketentuan dalam UUD NRI 1945, memang pendapat demikian ada benarnya. Tetapi “racio decidendi-nya” kemudian akan tersistemasasi, legalitas KPU/D jika mengacu pada pendapat mahkamah dalam Putusan MK Nomor: 72-73/PUU-II/2004. Oleh karena kewenangan KPUD diberikan secara “khusus” untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di setiap Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota oleh pembentuk Undang-Undang (DPR bersama Presiden). Pun “legalitas” itu sah secara konstitusional bagi KPU Provinsi, Kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Pilkada, sebab tidak lain lembaga a quo dianggap sebagai pelaksana tugas KPUD.

Demikian juga dengan kewenangan KPU dalam tugas koordinasi dan supervisi untuk memberdayakan kinerja KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, MK juga telah mengukuhkan legalitasnya, bahwa pembuat Undang-Undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945 sebagai penyelenggara Pilkada langsung independen, profesional, dan mempunyai akuntabilitas untuk menyelenggarakan Pemilu di Indonesia, yang fungsi tersebut seharusnya diberikan kepada KPU dengan segala perangkat kelembagaan dan pranatanya. Dan hal itu juga sudah ditindaklanjuti melalui UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Guberur, Bupati, dan Wali Kota, bahwa Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah “Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai “Penyelenggara Pemilihan Umum” yang diberikan tugas dan wewenang dalam “penyelenggaraan Pemilihan” berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Atas kewenangan yang diberikan terhadap KPU dalam UU a quo, janganlah terkeco sebagai organ “Penyelenggara Pemilihan Umum” sehingga lagi-lagi hendak dinyatakan Pilkada sebagai “Pemilihan Umum,” karena tidak lain diselenggarakan oleh organ Pemilu yang bernama KPU. Tidaklah demikian! Memang KPU adalah lembaga Pemilihan Umum berdasarkan Pasal 22 E UUD NRI 1945, tetapi masih dalam “sistem tata kelola” Pilkada berdasarkan rezim Pemerintahan Daerah.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...