Ketika Sengketa Mengganggu Tahapan Pilkada

Demam Pilkada serentak gelombang pertama Tahun 2015 telah dimulai. Tahapan demi tahapan mulai ditapaki satu persatu. Penyelenggara Pilkada kini mulai beraktifitas dengan tensi tinggi. Geliat Pilkada sudah terdengar seantero nusantara. Satu-persatu pun tahapannya sudah memasuki kampanye peserta Pilkada. Perlu diperhatikan bahwa dalam tiap tahapan biasanya menyajikan berbagai persoalan, akibat dinamisnya aktifitas Pilkada.

Rezim Pilkada pada hakikatnya berpijak pada Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2015 yang telah direvisi dengan UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dan salah satu hal yang berbeda dengan UU sebelumnya adalah mengenai Penyelesaian Sengketa.

UU Pilkada telah merombak total model penyelesaian sengketa, sebagaimana dalam ketentuan imperatifnya Pasal 142 menegaskan “sengketa yang berkaitan dengan subyek Pilkada dibagi   menjadi dua: Pertama, sengketa antar peserta pemilihan; Kedua, sengketa antar peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan akibat dikeluarkannya keputusan KPUD.”

Jika didasarkan pada obyeknya, maka sengketa Pilkada masih terbagi dalam dua model sengketa, yakni sengketa mengenai hasil pemilihan dan sengketa yang tidak berkaitan dengan hasil pemilihan. Khusus mengenai sengketa hasil pemilihan maka proses penyelesaiannya diajukan di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk sengketa yang bukan merupakan hasil pemilihan, alur proses penyelesaian sengketanya dimulai dari penyelesaian di tingkat Badan/Pengawas Pemilu, lalu bermuara ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan terakhir di Mahkamah Agung.

Sumber Gambar: indopos.co.id

Taruhlah misalnya, Calon A tidak di loloskan oleh KPUD menjadi peserta pemilihan (Calon Kepala Daerah), maka proses penyelesaian sengketanya, calon A harus mendaftarkan sengketa di Panwas, lalu Panwas mengeluarkan keputusan mengenai sengketa tersebut. Jika keputusan Panwas tetap tidak meloloskan Calon A maka ada kemungkinan calon A dapat mengajukan gugatan di PTTUN. Putusan PTTUN dapat dajukan Kasasi oleh calon A maupun KPUD. dan tentu putusan Mahkamah Agung mengakhiri sengketa Pilkada dengan putusannya yang berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).

Kendatipun demikian, perlu diketahui proses penyelesaian sengketa antar peserta maupun penyelenggara yang sedang berlangsung di ranah PTTUN, tidaklah menghentikan atau menunda tahapan Pilkada yang telah ditetapkan oleh KPU. Proses penyelesaian sengketa dan tahapan Pilkada, kedua-duanya berjalan beriringan tanpa saling mengganggu. Kondisi inilah yang akan berpotensi menjadi carut-marut tahapan Pilkada pada akhirnya.

Hal ini akan tampak jelas dengan mencermati tahapan yang telah ditetapkan oleh KPU melalui PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) No. 2 Tahun 2015 Tentang Tahapan Pilkada, bahwa penyelesaian sengketa di Mahkamah Agung berakhir di November 2015, lalu tahapan distribusi logistik (berikut surat suara) sudah dimulai Oktober 2015. Itu artinya surat suara yang telah dicetak dan didistribusikan sangat potensial untuk tidak mengikutkan Calon yang sedang menunggu putusan Mahkamah Agung.

Jika kita mengambil ilustrasi di atas. Calon A tadi, maka pertanyaan carut-marut pun muncul: Bagaimana jika Calon A dimenangkan oleh Mahkamah Agung pada bulan November 2015 dan menyatakan calon A berhak mengikuti Pilkada sebagai peserta, padahal pada bulan Oktober 2015 surat suara telah tercetak dan terbagi? Apakah harus menarik ulang surat suara dan mencetak ulang dengan memasukkan calon A? Bagaimana pula hak kampanye Calon A? Bukankah Undang-Undang menjamin setiap Peserta Pilkada memiliki hak kampanye?

Tentu jika menarik surat suara yang telah terbagi akan menunda tahapan Pilkada. Selain itu, berapa banyak lagi “uang negara” yang harus terbuang sia-sia jika pencetakan surat suara ulang dilakukan.

Di sisi lain, mengabaikan putusan pengadilan yang melindungi hak calon adalah bentuk pengebirian hukum. Apa gunanya UU mengatur upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung jika ujung-ujungnya putusan tersebut hanya akan diabaikan, dan hukum menjadi tumpul karena tak dapat digunakan untuk memenuhi hak seseorang.

Solusi

Carut-marut tahapan ini harusnya bisa diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang. Harus ada Sinkronisasi antara tahapan Pilkada dan penyelesaian sengketa secara litigasi.

Sinkronisasi inilah luput dipikirkan oleh pembentuk UU dan KPU. Mereka tidak memprediksi jika dikemudian hari ternyata calon Peserta Pilkada diberikan hak oleh Mahkamah Agung sebagai Peserta Pilkada, sementara tahapan sudah memasuki pemungutan suara.

Oleh karena itu solusi jangka panjang yang harus dipikirkan oleh KPU adalah mendorong revisi regulasi agar ada sinkronisasi antara tahapan Pilkada dan proses penyelesaian sengketa litigasi. Bahwa pada intinya tahapan Pilkada butuh kepastian hukum namun dengan cara tidak “membunuh” hak-hak Peserta Pilkada.

Pada sesungguhnya solusi carut-marut itu pun dapat dilakukan dengan cara KPU tidak perlu mengajukan kasasi, jika PTTUN memenangkan Calon Peserta Pilkada. Dalam konteks ini sangat dibutuhkan sikap “bijak” KPU untuk berlapang dada mengikutsertakan pihak yang menang di PTTUN.

Untuk ius constituendum-nya, proses penyelesaian sengketa litigasi di masa yang akan datang seharusnya sudah berkekuatan hukum tetap pada tingkat PTTUN. Dengan dasar argumentasi, bahwa dibukanya “pintu hukum” dalam upaya kasasi hanya akan mengganggu kepastian hukum tahapan Pilkada. Inilah sebentuk tawaran yang diharapkan dapat mengakomodasi setiap elemen dalam perhelatan Pilkada dengan meletakkan keadilan yang sama dari tiap aktor-aktor demokrasi .*

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...