Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Tersangka dalam Tingkat Penyidikan

 

Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan.

Preperadilan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik karena penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, kontrol tersebut dilakukan dengan beberapa cara:

  1. Control vertical, kontrol dari atas ke bawah.
  2. Control horizontal, kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.

Wewenang yang diberikan oleh penyidik berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dapat melakukan tindakan upaya paksa. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tujuan dari upaya paksa tersebut, tidak lain adalah guna kepentingan umum. Melindungi hak-hak publik dengan atas nama kekuasaan/ kewenangan pejabat negara (penyidik). Penyidikan dengan tindakan atau upaya paksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah untuk mencari bukti dan titik terang siapa pelaku (dader) atau tersangkanya.

Penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa berada dalam batasan dan ketentuan yang diikat oleh, syarat, alasan, dan tata cara upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Jika penyidik melakukan tindak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku/ KUHAP (undue process of law) atau melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan salah orang dalam penangkapan. Maka terhadap orang, keluarga atau kuasa hukumnya dapat melakukan upaya hukum praperadilan melalui Pengadilan Negeri atas tidak sahnya upaya paksa (dwangs).

Ketentuan tentang wewenang praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Dapat dikatakan, bersumber dari pasal-pasal tersebut, akan tetapi ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 95 dan Pasal 97.

Lebih jelasnya, Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada praperadilan sebagai berikut:

  1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa.
  2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
  3. Memeriksa tuntutan ganti rugi.
  4. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
  5. Memeriksa terhadap sah/ tidaknya tindakan penyitaan.

Berdasarkan wewenang praperadilan, ketentuan tentang  siapa yang berwenang mengajukan praperadilan dapat terlihat di sini. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP Pasal 79:  Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya. Pasal 80: Permintaan untuk pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

 

Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 79, Pasal 80 KUHAP tersebut dapat diketahui siapa saja yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan yaitu:

  1. Tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya.
  2. Penyidik atau penuntut umum.
  3. Pihak ketiga yang berkepentingan.

Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, menurut Wahyu Effendi (Rusli Muhammad, 2007: 94) yaitu:

  1. Agar aparat penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukum dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
  2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga untuk melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
  3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan  orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
  4. Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
  5. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

Titk berat pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian  dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.

 

Ahmad Tawakkal Paturusi

Dosen Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo, Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Perdata Universitas Hasanuddin

You may also like...