Korupsi kekuasaan dalam bentuk kebijakan yang salah dapat meruntuhkan sebuah bangsa (Jared Diamond)

Buku karya Jupri SH, MH
Korupsi kekuasaan merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan yang mengarah pada tidak berjalannya fungsi kekuasaan sebagaimana mestinya. Misalnya, pembuatan kebijakan yang salah (atau sengaja dibuat salah), pelayanan yang tidak maksimal atau memalingkan fungsi kebijakan sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat menjadi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Korupsi jenis ini seringkali tidak terdeteksi meski dampaknya sangat luas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Korupsi kekuasaan menjadi sumber lahirnya korupsi konvensional yang berkaitan dengan kejahatan keuangan. Selain korupsi model ini, kita biasa mendengar pula istilah korupsi politik.
Menurut Robert Klitgaard yang pernah melakukan penelitian terhadap kasus-kasus korupsi diberbagai negara menyatakan korupsi dari prespektif administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang, yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi. Perilaku korupsi dimana aktor yang bermain merupakan pejabat pemerintahan atau elit politik dikategorikan sebagai korupsi politik.
Lebih jauh terkait korupsi politik didefinisikan Artidjo Alkostar sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu kabinet yang pada dasarnya memiliki jabatan politis, anggota parlemen, dapat dikualifikasi sebagai korupsi politik, karena perbuatan itu dilakukan dengan mempergunakan fasilitas atau kemudahan politis yang dipunyai oleh pelaku. Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.
Selain dari pendapat para pakar, pengertian tindak pidana korupsi secara yuridis, diatur pula dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Merujuk pada pasal di atas, ada dua poin penting yang bisa ditarik. Pertama, subjek pelaku tindak pidana korupsi. Terjadi perluasan subjek tindak pidana yang sebelumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pertanggungjawaban pidana hanyalah orang (natural person). Akan tetapi, khusus UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 untuk pertanggungjawaban pidana bukan saja orang melainkan termasuk pula korporasi (recht person).
Kedua, Pasal 2 ayat (1) terdapat kalimat “……dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Frasa “dapat” artinya tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu suatu kejahatan dimana perbuatannya yang dilarang. Atau dengan kata lain adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Tujuan penggolongan tindak pidana korupsi sebagai delik formil memudahkan penegak hukum dalam pembuktian telah terjadi tindak pidana korupsi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Disaat yang sama membatasi pemegang kekuasaan untuk tidak melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau diri orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Walaupun demikian, perilaku korupsi masih tetap tumbuh subur di Indonesia. Bila korupsi politik aktornya pejabat yang memperoleh jabatan secara politis. Maka korupsi kekuasaan aktornya pemegang jabatan secara politis maupun karier. Korupsi kekuasaan menggurita nan membudaya baik di lembaga legislatif, eksekutif termasuk yudikatif.Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi karena lembaga pemerintah yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi (Kepolisian-Kejaksaan) belum berfungsi secara efektif dan efesien.
Sebagai gambaran singkat sejak berdiri sampai dengan tahun 2013. KPK telah menyelamatkan total kerugian negara sebesar Rp 248,89 Triliun. Dan untuk penindakan yang dilakukan KPK telah menjebloskan ke hotel prodeo total 402 pelaku korupsi. Termasuk di dalamnya 2 (dua) Pimpinan Partai Politik dan 3 (tiga) Menteri di masa Pemerintahan SBY-Boediono.
Pelemahan KPK secara Sistematis.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu lembaga negara selain Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang lahir langsung dari rahim reformasi. Awal terbentuknya KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 terlebih dahulu telah diperintahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.
Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur-unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan undang-undang.
Pada tanggal 27 Desember 2001 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai payung hukum Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaganya terbentuknya nanti pada tahun 2003.
KPK di Indonesia termasuk dalam Lembaga Antikorupsi yang berdiri sendiri atau berada di luar struktur Pemerintah. KPK sebagai lembaga negara independen tidak berada di bawah Pemerintah. Sehingga memudahkan atau bahkan menghindari KPK secara struktur kelembagaan untuk terjebak dalam conflict of interest, terutama apabila sedang melakukan tugas dan kewenangannya terhadap pihak yang berada di lingkaran kekuasaan Pemerintah. KPK bukanlah satu-satunyalembaga antikorupsi yang posisinya di luar struktur Pemerintah. Ada banyak lembaga antikorupsi di dunia yang berada di luar struktur pemerintahan seperti halnya KPK antara lain di negara Singapura, Kamboja, Filipina, Brunei, Malaysia, Thaliand, Hongkong, Mongolia, Pakistan, Sri Langka, Korea Selatan, Kosovo, Slovenia, Kamerun, Nigeria dan Tanzania. Banyaknya Lembaga Antikorupsi di luar struktur pemerintahan menunjukkan bahwa sebuah independensi Lembaga Antikorupsi adalah hal yang sangat penting dan vital bagi efektifas upaya pemberantasan korupsi di suatu negara. Dengan berada di luar struktur pemerintah maka independensi lembaga anti korupsi lebih terjaga dibanding dengan apabila lembaga tersebut berada dalam struktur pemerintah. Independensi ini dapat membuat lembaga berbas bergerak dalam menjalankan kewenangannya
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang semakin membaik, tidak jarang mendapatkan perlawanan balik dari para koruptor dan koleganya.Dalam Penyataan Pers Indonesia Corruption Watch, menyatakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali diuji. Kali ini melalui upaya segelintir politisi di Senayan yang berupaya (kembali) melakukan Revisi terhadap Undang-Undang tentang KPK (Revisi UU KPK) . Upaya pelemahan Komisi Antikorupsi ini melalui Revisi UU KPK bukan baru kali ini saja muncul, karena dalam jangka waktu kurang dari satu tahun, sudah ada dua kali upaya merevisi UU KPK.Patut diduga, Revisi UU KPK menjadi agenda dari pihak-pihak tidak suka terhadap ekstistensi KPK memberantas korupsi. Bahkan banyak pihak menduga bahwa usulan Revisi UU KPK merupakan titipan para koruptor atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka KPK.
Padahal selama ini KPK telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, dan khususnya dalam upaya melakukan penindakan perkara korupsi dengan maksimal. Namun dibalik kewenangan KPJ yang luar biasa masih saja ada pihak-pihak yang berharap sebaliknya. Ingin KPK dibubarkan atau kewenangan penindakannya dipangkas. Pra pro koruptor lebih suka menjadikan KPK sebagai Komisi Pencegahan Korupsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pelemahan KPK kini datang melalui mekanisme yang sah, melalui proses legislatif dengan cara melakukan Revisi UU KPK. Saat ini beredar naskah Revisi UU KPK yang patut diduga berasal dari gedung Parlemen di Senayan. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat 15 (lima belas ) hal krusial dalam Revisi UU KPK versi Senayan yang pelan-pelan akan membawa upaya pemberantasan korupsi menuju hari kiamat atau kegelapan.
Pertama, Umur KPK dibatasi hanya 12 tahun. Pasal 5 dan Pasal 73 Revisi UU KPK ini menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak Revisi UU KPK disahkan. Ini adalah kiamat pemberantasan korupsi, bukan hanya bagi KPK tapi juga Bangsa Indonesia. Karena pendirian KPK adalah salah satu mandat reformasi, dan publik berharap banyak terhadap kerja KPK. Pembubaran KPK secara permanen melalui Revisi UU KPK yang disahkan, akan menjadi lonceng peringatan yang baik untuk koruptor, tapi jadi penanda datangnya kiamat bagi publik dan upaya pemberantasan korupsi.
Kedua, KPK tidak lagi memiliki tugas dan kewenangan melakukan penuntutan. Revisi UU KPK menghapuskan tugas dan kewenangan dibidang penuntutan. Tugas KPK dibidang penindakan hanya melakukan penyelidikan dan dan penyidikan. Sedangkan penuntutan dikembalikan kepada Kejaksaan Agung. Dalam Revisi UU KPK ini, disebutkan bahwa yang berhak menuntut adalah Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, atau Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tercantum dalam Pasal 53 Revisi UU KPK, dan implikasi dari pasal ini adalah KPK tidak lagi memiliki kewenangan menuntut, dan proses penanganan perkara KPK, tak ubahnya Kepolisian.Ketiga, KPK kehilangan tugas dan kewenangan melakukan monitoring.Selain hilangnya penuntutan, Revisi UU KPK juga menghilangkan tugas KPK dalam melakukan monitoring.
Keempat, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp. 50 Miliar ke atas.Peningkatan jumlah kerugian negara dalam perkara yang dapat ditangani oleh KPK menjadi minimal Rp 50 Miliar Rupiah, menjadi salah satu pertanda bahwa lembaga ini sedang dikurangi kewenangannya secara besar-besaran. Sedangkan kasus korupsi dibawah Rp 50 miliar, maka KPK harus menyerahkan penyidikan kepada kepolisian dan kejaksaan.Padahal jika berkaca dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berlaku sekarang, nilai kerugian negara yang ditentukan bagi KPK, hanya sebesar 1 Miliar Rupiah, dan dengan angka ini, ada banyak perkara korupsi besar (grand corruption) yang juga berhasil diungkap oleh KPK.
Kelima, KPK lebih diarahkan kepada tugas pencegahan korupsi. Upaya mendorong KPK menjadi lembaga pencegahan korupsi dapat dilihat secara jelas dalam sejumlah pasal Revisi UU KPK, yaitu :
Pasal 1 angka 3
Pemberantasan korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui koordinasi, supervisi, monitoring penyelenggaraan negara yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Pasal 4
KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan korupsi.
Pasal 7 Revisi UU KPK Tugas KPK melakukan pencegahan menjadi tugas nomor 1, bandingkan dengan Pasal 6 UU KPK yang saat ini berlaku menyebutkan tugas pencegahan KPK sebagai tugas ke 4 dari 5 tugas KPK.
Keenam, KPK tidak dapat membuat perwakilan di daerah Provinsi. Ketentuan lain yang hilang dalam RUU UU KPK adalah ketentuan mengenai pembentukan perwakilan KPK di provinsi. Padahal dalam UU KPK yang saat ini berlaku (Pasal 16) KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah Provinsi.Ketujuh, KPK harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan untuk melakukan penyadapan. Izin penyadapan ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a RUU KPK , yang pada intinya mewajibkan KPK untuk memperoleh izin penyadapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Permintaan izin penyadapan ini dikhawatirkan justru memperbesar potensi bocornya informasi kepada subjek yang ingin disadap, sehingga proses pengungkapan perkara akan semakin lama.
Kedelapan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang, dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate). Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.
Kesembilan, KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri. Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK pada intinya menyebutkan bahwa KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai mandiri. Karena yang dapat menjadi pegawai KPK adalah pegawai negeri yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Ini menandakan bahwa KPK tidak lagi dapat mengangkat pegawainya secara mandiri.Kesepuluh, KPK wajib lapor ke Kejaksaan dan Polri ketika menangani perkara korupsi. Pasal 52 Revisi Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa KPK wajib memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada Kepolisian dan Kejaksaan ketika menangani perkara korupsi. Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi di bawah Kejaksaan dan Kepolisian, karena dalam Revisi Undang-Undang KPK ini, kewajiban tersebut hanya ada bagi KPK tapi tidak bagi Kejaksaan dan Kepolisian.
Kesebelas, KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen pegawai dan penyidik. Serupa dengan definisi pegawai KPK yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK, mendatang penyelidik dan penyidik KPK pun dibatasi hanya dapat dipilih dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan, berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 ayat (3) Revisi UU KPK.
Keduabelas, pemberhentian penyelidik dan penyidik harus berdasarkan usulan Kejaksaan dan Polri. Selain pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus didasarkan oleh usulan Kejaksaan dan Polri, Pasal 45 ayat (1) Revisi UU KPK menyebutkan pula bahwa pemberhentian penyelidik dan penyidik juga harus didasarkan oleh usulan dari Kejaksaan dan Kepolisian. Hal ini betul-betul memangkas kemandirian dan otoritas KPK dalam menjalankan kepentingan organisasionalnya, karena harus menggantungkan diri pada usulan dan keputusan dari lembaga lain.Ketigabelas, menjadikan KPK sebagai Lembaga Panti Jompo. Berdasarkan Pasal 30 Revisi UU KPK, salah satu syarat menjadi pimpinan KPK adalah berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan setinggi-tinginya 65 tahun. Syarat ini hanya akan dipenuhi oleh para manula atau pensiuanan pejabat atau orang-orang jompo.
Keempatbelas, Dewan Kehormatan. Kewenangan dari Dewan Kehormatan sangat besar salah satunya adalah kewenangan melakukan pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap sebagai pegawai KPK. Kewenangan ini justru tumpang tindak kewenangan pengawas internal dan bahkan pimpinan KPK. Kelimabelas, Ketidakjelasan Dewan Eksekutif. Revisi UU KPK menambahkan satu lagi bagian dari organisasi KPK yaitu, Dewan Eksekutif. Kerja Dewan Eksekutif ini patut dipertanyakan, karena kerja-kerja yang sama sepertihalnya pimpinan KPK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Revisi UU KPK. Keberadaan anggota Dewan Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 23 Ayat 6 RUU KPK) dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK.
Berdasarkan ke 15 hal di atas, maka jelaslah sudah maksud dari pihak-pihak yang mengusulkan Revisi Undang-Undang KPK, adalah berupaya menghancurkan KPK. Selain dari mendorong disahkannya revisi UUKPK.Para politisi di Senayan juga menggeber Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kedua rancangan undang-undang tersebut masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019.Dimana strategi pelemahan kinerja KPK dilakukan dengan memasukkan tindak pidana korupsi dalam Bab tersendiri Rancangan KUHP.
Walaupun Rancangan KUHP telah memasukkan perdagangan pengaruh (trading of influence) sebagai tindak pidana korupsi. Sebagai wujud diakomodirnya Article 18 United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006. Akan tetapi, di sisi pemberantasan tindak pidana korupsi justru mengalami kemunduran. Penulis mencatat ada 4 (empat) poin penting yang perlu dikritisi.
Pertama, sanksi pidana penjara semakin ringan. Contohnya Pasal 699 RUU KUHP menegaskan setiap orang atau pejabat publik secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapat dan belanja daerah bukan pada tujuannya, dipidana penjara paling lama dua tahun. Lebih jauh bila perbuatan menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara, maka sanksi pidana ditambah satu pertiga.
Bandingkan dengan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi diancam pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun. Selain itu, untuk penyalahgunaan kewenangan dalam RUU KUHP hanya dipidana penjara paling lama enam tahun, jauh dari sanksi pidana UU Korupsi saat ini yakni maksimal 20 tahun.
Kedua, Hakim yang menerima suap tidak tergolong tindak pidana korupsi. Ketentuan ini dimasukkan dalam tindak pidana jabatan. Sehingga terjadi penyempitan ruang lingkup korupsi. Berbeda dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat para hakim penerima hadiah, atau janji, sehubungan perkara yang ditanganinya (vide Pasal 12 huruf c UU Nomor 20 Tahun 2001).
Ketiga, mengeluarkan pasal Gratifikasi. RUU KUHP hanya memasukkan pasal suap, padahal gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discout), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi juga memberi ruang diberlakukannya pembuktian terbalik sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk tidak melakukan laku korupsi.
Keempat, menghilangkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pelaku korupsi. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pidana tambahan untuk pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sedangkan untuk RUU KUHP khusus pidana tambahannya hanya mengatur tentang pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Di sisi Rancangan KUHAP, anggota DPR melancarkan operasi senyap (silent operation) pelemahan KPK. Dihapusnya ketentuan penyelidikan berimplikasi pada hilang Operasi Tangkap Tangan KPK, menghilangkan kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan, dan penyadapan harus seizin Hakim Komisaris.
Upaya pelemahan KPK secara sistematis juga terlihat dari penarikan sejumlah penyidik asal institusi kepolisian yang diperbantukan ke lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak kasus-kasus korupsi besar yang sementara ditangani KPK terhambat pengungkapannya karena penyidiknya ditarik ke institusi asal. Terakhir,mentersangkakan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto berujung pada penonaktifan keduanya sebagai pimpinan KPK jilid III.
Memutus Korupsi Kekuasaan
Korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan mempunyai sejarah yang panjang, bahkan lebih panjang dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat presiden mengemukakan bahwa korupsi sudah “membudaya” di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa sejak masa penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela. Bahkan VOC dari sebuah BUMN milik pemerintahan Belanda yang bertugas mengeksploitasi Indonesia terpaksa harus gulung tikar pada tahun 1779 karena masalah korupsi. VOC diganti oleh Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, ketika praktik korupsi tetap tumbuh subur. Setelah masa kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, hingga masa pascareformasi 1998, korupsi tetap subur.
Kuatnya arus upaya pelemahan KPK dari segala penjuru mata angin kekuasaan merupakan bukti korupsi kekuasaan“menjangkiti” pejabat negeri ini.Muhammad Mustofa menegaskan ketika tingkat korupsi di Indonesia dirasakan sangat serius, dan terjadi hampir disemua sektor kehidupan, khususnya yang berhubungan dengan birokrasi, maka dapat dikatakan bahwa kleptokrasi merupakan ciri korupsi di Indonesia. Dengan ciri kleptokrasi, maka tindakan korupsi menjadi membudaya atau dipandang lumrah saja oleh sebagian orang. Oleh karena itu, tindakan korupsi menjadi tidak mudah untuk ditanggulangi.
Massif perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia dan makin permisifnya masyarakat akan daya rusak korupsi sungguh memprihatinkan. Penulis kemudian menawarkan dua solusi dalam menjawab persoalan kebangsaan ini, yaknidengan pendekatan Teori Sistem Hukum dan melalui pengaktifan pidana tambahan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Pendekatan Teori Sistem Hukum
Secara semantik, istilah sistem diadopsi dari bahasa Yunani, yakni systema yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian[10]. Kata “sistem” dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh.
Sedangkan definisi kata “hukum” pada hakikatnya terjadi kesulitan dalam pendefinisian karena sesuatu yang abstrak meskipun dalam manisfestasinya bisa berwujud konkrit. Oleh karena itu pendefinisiannya beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.
John Austin menegaskan hukum adalah seperangkat perintah, baik yang langsung ataupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi. Bagi kaum positivistis, hukum tidak lain perintah negara yang bersanksi. Hukum hanyalah apa yang diproduk oleh negara, yaitu hukum positif.
Ahli Hukum lainnya, yaitu Gustav Radbruch menjelaskan bahwa hukum positif adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat teretntu. Jadi, sistem hukum adalah merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur dan budaya hukum.
Lawrence Meir Friedman mengemukakan ada tiga unsur sistem hukum. Ketiga unsur sistem hukum masing-masing:
- Struktur (structure), yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.
- Substansi (substance), yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.
- Kultur hukum (legalculture), yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang terkait dengan hukum.
Bekerjanya suatu hukum dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap unsur-unsur dalam sistem hukum. Artinya penegakan akanberjalan secara maksimal bila aturan, institusi penegak hukum dan kultur hukumnya baik.Achmad Ali dalam bukunya “Keterpurukan Hukum di Indonesia” mengulas secara lugas bagaimana memperbaiki penegakan hukum lewat Teori Sistem Hukum.Penulis pun menerapkan pendekatan teori sistem hukum dalam memutus mata rantai korupsi di Indonesia.
Penggunaan Pidana Tambahan
Konvensi Internasional Persatuan Bangsa Bangsadi Vienna, 7 oktober 2013 menegaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dasar pertimbangan korupsi digolongkan kejahatan luar biasa karena modus operandi pelaku sudah sangat canggih, lintas negara, kejahatan hak asasi manusia dan kejahatan kemanusian (crime against humanity). Di saat yang sama daya rusak korupsi sangat luar biasa, bukan hanya merugikan perekonomian negara berujung pada makin jauhnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tetapi juga merusak mental generasi bangsa. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan penegak hukum guna menekan laju korupsi. Salah satunya melalui instrumen hukum pidana lewat penjatuhan sanksi pidana.
Suatu penderitaan menurut undang-undang pidana yang berkaitan dengan pelanggaran norma berdasarkan putusan hakim yang dijatuhkan terhadap orang yang bersalah. Demikian Simons mendefinisikan pidana dalam leerboek-nya. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan oleh van Hamel yang menyatakan bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum terhadap seorang pelanggar karena telah melanggar peraturan hukum yang ditegakkan oleh negara.
Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang melakukan pelanggaran terhadap hukum. Kendatipun demikian, pemidanaan juga adalah suatu pendidikan moral terhadap pelaku yang telah melakukan kejahatan dengan maksud agar tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan pidana menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pemunguman putusan hakim. Secara lex specialis dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga mengatur jenis pidana tambahan.
Pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tiak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindakan pidana korupsi, termasuk perusahan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Kedua, Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana.
Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Artinya jikalau korupsi kekuasaan yang telah menggurita diberantas melalui instrumen hukum pidana, maka seyogianya penegak hukum mengaktifkan pidana tambahan pencabutan hak politik dan hak remisi. Hal tersebut sejalan dengan adegium “biarkanlah hukuman dijatuhkan kepada beberapa orang agar memberi contoh kepada orang lain”.