(Jangan) Menjegal Calon Kepala Daerah Tersangka

Gejolak  dan eforia oleh sebagian publik kini mencapai puncak dan eskalasinya. Banyak  yang  menginginkan agar penetapan tersangka Gubermur nonaktif  DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam dugaan tindak pidana penodaan terhadap agama (Pasal 156 A huruf a KUHPidana), segera dibatalkan penetapannya sebagai Pasangan Calon (Paslon) oleh KPUD. Ada pula yang menginginkan agar Cagub incumbent  itu mengundurkan diri saja.

Pada dasarnya penjegalan tersebut sungguh tidak berdasar dan mustahil terjadi, jika sandaran hukumnya diteliti dengan cermat dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (perubahan terakhirnya: UU No. 10 Tahun 2016; disingkat UU Pemilihan).

Ipso fact, kasus Calon Kepala Daerah (Cakada) berstatus tersangka bukan hanya terjadi pada Pilkada sekarang, pada kasus ahok saja. Tetapi Pilkada sebelumnya (2015) juga sudah tercatat beberapa Cakada berstatus tersangka, dan pada akhirnya toh tetap melenggang sebagai pendapuk suara terbanyak dus ditetapkan sebagai Cakada terpilih oleh KPUD.

Diantaranya: Calon Kepala Daerah itu adalah Calon Wali Kota terpilih Gunung Sitoli, Sumatra Utara, Lakhomizaro Zebua, yang menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan RSUD Nias Selatan tahun 2013 senilai Rp5,12 miliar.  Calon Bupati Sabu Raijua, NTT, Marthen Dira Tome, tersangka KPK dalam kasus korupsi di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi NTT tahun 2007 sebesar Rp77 miliar. Ada pula Calon Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae, yang menjadi tersangka kasus penutupan Bandara Turerelo Soa. Terakhir, Calon Bupati Maros, Sulawesi Selatan, Hatta Rahman berstatus tersangka kasus korupsi pengadaan lampu jalan pada 2011.

Sumber Gambar: riausidik.com

Sumber Gambar: riausidik.com

Pembatalan Paslon

Berdasarkan ketentuannya dalam UU Pemilihan, termasuk dalam peraturan pelaksanaannya, status hukum  berupa: tersangka, terdakwa, baik dalam dugaan tindak pidana yang berhubungan dengan pemilihan maupun dugaan tindak pidana di luar itu (UU pemilihan) dengan melibatkan Cakada, sama sekali tidak terdapat “legal reasoning-nya” sehingga dapat dibatalkan penetapannya oleh KPUD terkait.

Bahwa dibatalkannya penetapan Paslon Cakada berdasarkan UU a quo, hanyalah dimungkinkan pada pelanggaran, diantaranya: (1) Paslon terbukti dalam mahar politik pilkada pasca putusan pengadilan inkra (Pasal 47 ayat 5); (2) Paslon yang terbukti dalam “money politic” berdasarkan putusan Bawaslih; (2) Paslon yang terlibat dalam penerimaan sumbangan atau bantuan untuk kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga asing, sumbangan kampanye tidak jelas, sumbangan kampanye dari pemerintah, sumbangan kampanye dari BUMN, BUMDaerah, BUMDesa (Pasal 76 ayat 4); (3) Petahana yang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum penetapan paslon sd. Penetapan pasangan calon terpilih (Pasal 71 ayat 5) .

Perihal penetapan Ahok sebagai tersangka dalam insiden Al-Maidah: 51, titik penekanannya adalah tidak dapat diganjal (dibatalkan) oleh KPUD dalam statusnya sebagai Cagub DKI Jakarta. Dasar argumentas penulis, yaitu: kepadanya tidak memenuhi 3 (tiga) bentuk pelanggaran sebagaimana di gariskan dalam UU a quo yang memungkinkannya untuk digugurkan.

Satu-satunya yang dapat menjegal Ahok, hingga tidak dapat menjadi peserta pemilihan (Cagub DKI Jakarta), kalau saja kasus penodaan agama yang kini telah menyeret dirinya, proses hukumnya dipercepat; dari kepolisian, kejaksaan, hingga ke pengadilan, sebelum hari “H” pemungutan suara. Dengan catatan, vonis pengadilan menyatakan terbukti bersalah, dan ia tidak mengajukan lagi upaya hukum biasa (banding dan kasasi).

Penulis sendiri tidak merasa yakin kalau Ahok tidak akan mengajukan upaya hukum andaikata pasca putusan pengadilan negeri (tingkat pertama) dalam kasus hukum yang melandanya, lalu  dinyatakan bersalah, sebab hal demikian akan berpengaruh pada statusnya sebagai Paslon Cakada yang dapat digugurkan, prasyarat hari pemungutan suara belum dihelat.  (Vide; Pasal 88 ayat 1 angka 2 PKPU No. 9 Tahun 2016).

Sebagian kalangan, ada juga yang merujuk ke Pasal 163 ayat 6, ayat 7, dan ayat 8 UU No. 10 Tahun  2016 perihal Cakada yang sudah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana berdasarkan vonis inkra. Hemat saya, pembacaan hukum yang demikian keliru dan tindak mendasar. Dasar argumentasinya, bahwa yang dimaksudkan dalam pasal a quo, tegas-tegas adalah “Calon Kepala Daerah terpilih”  sedang berstatus tersangka, atau terdakwa, atau terpidana berdasarkan vonis inkra (bukan sebelum pemungutan suara; perhatikan pula frasa “pada saat pelantikan” dalam pasal tsb”).

Mengundurkan Diri

Lebih getolnya lagi, bahkan ada pula yang meminta agar Ahok mundur atas penetapannya sebagai Paslon Gubernur DKI Jakarta, sebab sudah sah dinyatakan sebagai tersangka. Ahok bisa saja mengambil langkah itu, tetapi tidak ada kewajiban hukum baginya untuk mengajukan surat pengunduran diri ke KPUD.

Pun kalau pada akhirnya memilih mundur, hal itu sama saja dengan bunuh diri, sebab akan berhadapan lagi dengan tindak pidana pemilihan, dalam jerat pidana penjara dan denda (vide: Pasal 191 ayat 1 UU Pemilihan).

Jika partai pendukung Pasangan Ahok-Jarot saat ini tak ada yang goyah, tetap pada solid memberikan sokongan kepadanya, seolah-olah yakin 1 (satu) putaran. Itu hal yang wajar, tidaklah mungkin akan menarik dukungannya, sebab sang pimpinan masing-masing Parpol kalau ada yang berani menarik dukungannya, terancam pula dalam ganjaran pidana. (vide: Pasal 191 ayat 2 UU Pemilihan).

Sampai kapanpun, Cakada berstatus tersangka, jangan pernah bermimpi untuk menjegalnya dengan mengacu pada UU pemilihan. Jika memang berkehendak menjegal Calon Kepala Daerah tersangka, janganlah memilihnya.

Politeae legius non leges politii adoptandae, politik harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya.

Oleh: Damang

Penulis Buku “Carut Marut Pilkada Serentak 2015”

You may also like...