Menonaktifkan Petahana Terdakwa
Hampir semua mata tertuju dan melotot ke Pilkada DKI Jakarta. Apalagi dengan terseretnya satu kandidat kuat, Basuki Tjahaya Purnama Alias Ahok dalam kasus penistaan agama.
Berita dan liputan terakhir, kasus yang menimpa kandidat petahana itu, sudah sampai di tahap persidangan. Jaksa Penuntut Umum sudah membacakan dakwaannya, dan demikian juga Ahok dengan kuasa hukumnya sudah mengajukan eksepsi dan nota pembelaannya di meja hijau persidangan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Menyoal kasus hukum Ahok tidak dapat dipandang dalam pendulum hukum pidana saja. Sebab Ahok sebagai Pasangan Calon (Paslon) Gubernur DKI Jakarta, ketika berstatus terdakwa dalam ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun, jelas memiliki implikasi hukum ketatanegaraan dalam regim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dus regim Pemerintahan Daerah.

Sumber Gambar: nu.or.id
Petahana Terdakwa
Ahok yang berstatus terdakwa sebagai Calon Gubernur petahana, seharusnya menjadi preseden guna mengoreksi Undang-Undang Pemilihan yang ideal ke depannya. Tidak menutup kemungkinan Pilkada saat ini hingga Pilkada berikutnya, termasuk Pilkada di daerah lainnya akan terulang kasus petahana terdakwa yang berdampak pada instabilitas penyelenggaraan pemilihan dan pemerintahan daerah.
Persoalan mendasar atas kasus petahana yang berstatus terdakwa, yaitu: petahana diwajibkan menjalani cuti kampanye, mutatis-mutandis dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kepala Daerah dalam rentan waktu kampanye pemilihan. Kemudian di saat yang sama, juga karena status terdakwanya petahana; harus dinonaktifkan lagi untuk kedua kalinya, padahal ia tidak berkedudukan lagi sebagai pejabat aktif.
Dalam ilustrasi sederhananya, kasus Ahok bisa menjadi contoh. Bahwa Ahok sudah dinonaktifkan karena tahapan kampanye pada Pilgub DKI Jakarta sudah berjalan, dan jabatan aktif baginya akan kembali pada 11 Februari 2017 nanti. Akan tetapi, karena ia juga berstatus terdakwa saat ini, maka posisinya sebagai Gubernur yang akan diaktifkan pada 11 Februari, seharusnya tidak diberikan, atau harus dinonaktifkan lagi. Hal ini secara tegas diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, bahwa Gubernur yang berstatus terdakwa harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Soalnya, Ahok sekarang bukanlah pejabat Gubernur aktif.
Dalam konteks demikian, Mendagri yang dibebani tugas untuk menetapkan pemberhentian sementara bagi Gubernur berstatus terdakwa; kapan saatnya waktu yang tepat untuk memberhentikan sementara (menonaktifkan) petahana terdakwa disaat posisinya juga sudah nonaktif sebagai Gubernur? Secara expressis verbis, Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah mengatur masa pemberhentian sementara, yaitu sejak kasus hukum Gubernur sudah diregister di Pengadilan. Sehingganya, pada saat itu juga Mendagri sudah harus mengeluarkan keputusan pemberhentian sementara.
Titik kompromi, untuk petahana terdakwa yang sudah terlebih dahulu dinonaktifkan karena menjalani cuti kampanye, yaitu penerbitan keputusan penonaktifan bersyarat. Letak bersyaratnya keputusan penonaktifan tersebut, nanti berlaku ketika petahana diaktifkan kembali dalam posisinya sebagai Gubernur pasca kampanye pemilihan.
Alternatif keputusan penonaktifan bersyarat, setidak-tidaknya menjaga agar keputusan tidak cacat prosedur, dalam hal menonaktifkan pajabat yang sudah tidak aktif, tetapi masih mau lagi dinonaktifkan di masa mendatang ketika kembali menyandang sebagai gubernur defenitif.
Catatan hukum yang kiranya perlu diperhatikan pula dalam hal “cuti kampanye” bagi Calon Kepala Daerah petahana. Nomenklatur “cuti kampanye” pada dasarnya tidak tepat. Sebab yang namanya “cuti” merupakan hak relatif, bisa digunakan, bisa juga tidak. Ringkasnya, tidak mengikat dan tidak berlaku imperatif untuk ditindaklanjuti bagi individu atau pribadi yang dituju. Bahasa hukum yang tepat, seharusnya Calon Kepala Daerah petahana selama masa kampanye harus diberhentikan sementara dari jabatannya.
Berhenti Permanen.
Sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara regim Pilkada dan regim pemerintahan daerah dalam ihwal petahana berstatus terdakwa. Kaidah hukum baru yang harus mengoreksi syarat Calon Kepala Daerah, yaitu: Calon Kepala Daerah petahana harus diberhentikan tetap (permanen) dari jabatannya sebagai Gubernur, Bupati, atau Wali Kota. Jadi, bukan lagi pemberhentian sementara atau penonaktifan, melainkan ia dituntut untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Daerah.
Pemberhentian secara permanen bagi Calon Kepala Daerah petahana, dipastikan tidak akan menjadi permasalahan hukum baru lagi, jikalau di tengah jalan (dalam tahapan Pilkada) Calon petahana menyandang status terdakwa. Sebab yang menjabat sebagai Kepala daerah aktif, diberikan kepada pelaksana tugas (Plt; penjabat) yang sudah diangkat oleh Mendagri.
Sebuah keyakinan yang bertitik tolak dari penyelenggaraan pemilihan yang transparan, netral, proporsional, jauh dari konflik kepentingan. Pun pemberhentian secara permanen bagi Calon Kepala Daerah petahana tampaknya sejalan dengan asas-asas pemilihan. Adil, juga konstitusional jikalau mensyaratkan Calon kepala Daerah petahana harus diberhentikan secara permanan dari jabatannya. Bukankah dalam Undang-Undang Pemilihan, sedari awal telah mensyaratkan Calon Kepala Daerah yang berasal dari pejabat Pegawai Negeri Sipil, Kepolisian, dan TNI harus diberhentikan tetap dari jabatannya itu. Lantas mengapa tidak diberlakukan juga bagi Calon Kepala Daerah petahana yang pada hakikatnya rentan terseret dalam konflik kepentingan, hingga terbukanya peluang untuk menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam penyelenggaraan pemilihan, terutama di masa kampanye.
Pada akhirnya, konsekuensi yuridis berimplikasi positif atas pemberhentian secara permanen bagi Calon Kepala Daerah petahana. Kita tidak perlu pusing tujuh keliling lagi, menjaga netralitas Pengawai Negeri Sipil (sekarang: Aparatur Sipil Negara/ASN) di Pilkada. Sebab mengapa? Tak ada lagi Kepala Daerah defenitif yang dapat mengambil kebijakan strategis untuk melakukan penggantian pejabat ASN di daerah jika tak memberikan dukungan terhadap Calon Kepala Daerah petahana. Di saat yang sama Calon Kepala daerah Petahana sudah dengan enaknya pula, konsentrasi memasarkan visi dan misinya bagi ceruk pasar pemilih, karena tidak terbebani dengan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Mari menyambut Pilkada tanpa intimidasi. Keserakahan atas jabatan harus dieleminir dari penyelenggaraan pemilihan, sembari stabilitas pemerintahan yang menjamin hajat hidup rakyat. tetap berjalan dikoridor hukumnya masing-masing.*