Prinsip Kebebasan Berkontrak Terbatas

Sumber Gambar: infoduit.com

Sumber Gambar: infoduit.com

Sebagian ahli hukum mendasarkan asas kebebasan berkontrak melalui Pasal 1338 ayat 1 KUHPdt. Pasal tersebut menegaskan bahwa:

“Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Berdasarkan ketentuan di atas, tidak terdapat frasa yang menyebutkan “kebebasan berkontrak,” sehingga tidak dapat dikatakan kalau merupakan turunan dari asas kebebasan berkontrak.

Hal ini tentunya tidak akan menimbulkan perdebatan, seandainya ketentuan tersebut semata-mata dimaknai sebagai pengkonkretan asas pacta sunt servanda, yaitu setiap perjanjian mengikat para pihak.

Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPdt sangat jelas dapat diperoleh arti yang demikian, bahwa perjanjian yang sah adalah sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika perjanjian disamakan dengan undang-undang, sudah pasti akan termaknai bahwa di dalam perjanjian itu,  setiap pihak wajib menundukan dan mengikatkan diri dalam setiap pemenuhan hak dan kewajibannya masing-masing.

Andaikata Pasal 1338 ayat 1 KUHPdt berbunyi “setiap perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” maka tentunya dapat diperoleh pemaknaan bahwa yang namanya kontrak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya.

Pasal 1338 ayat 1 KUHPdt bukanlah ketentuan yang dapat menjadi petunjuk kalau kontrak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya. Akan tetapi pelaksanaan dari pada asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh beberapa prasyarat.

Dengan terdapatnya frasa “…dibuat secara sah….” dalam ketentuan tersebut, berarti menunjukkan kalau ada perjanjian yang dibuat secara sah, berarti sebaliknya ada juga perjanjian yang bisa dibuat tetapi tidak sah, dan kalau perjanjiannya tidak sah tidak dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Lanjut dari pada itu, penting untuk mengutip secara lengkap dari ketentuan Pasal 1338 KUHPdt yang terdiri dari tiga ayat, yaitu:

  • Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
  • Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu;
  • Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Berdasarkan ketentuan dari Pasal  1338 di atas yang terdiri atas 3 ayat, tidak ada frasa yang menyebutkan kontrak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya. Setidak-tidaknya dari ayat 2-nya, justru mempertegas pelaksanaan kontrak  mengalami pembatasan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat 2 merupakan kalimat negatif, yang mana jika dipositifkan maka akan berbunyi: “Perjanjian-perjanjian itu dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”

Jadi, kalau perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian yang sah, dapat ditarik kembali, meskipun tidak disepakati oleh kedua belah pihak. Atau karena alasan lainnya juga dapat ditarik kembali karena bertentangan dengan undang-undang.

Sama halnya dengan ketentuan selanjutnya, yaitu Pasal 1338 ayat 3 yang menegaskan: “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Pasal 1338 menunjukkan bahwa kebebasan berkontrak dibatasi oleh itikad baik masing-masing pihak. Jika dalam perjanjian itu terdapat salah satu pihak yang beritikad jahat, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau ditarik kembali.

Selain itu, masih banyak pembatasan mengenai asas kebebasan berkontrak. Jika Pasal 1338 ayat 1 menegaskan bahwa setiap perjanjian harus dibuat secara sah. Maka, kata “sah” di sini merujuk pada Pasal 1320 yang mengatur tentang syarat sahnya kontrak, yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan tidak boleh bertentang causa yang halal. Hal demikian menunjukkan kalau asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Hal itu berlaku pula pada pembatasan-pembatasan yang lain, seperti:  Pasal 1321 KUHPdt, perjanjian karena kekhilafan, paksaan atau penipuan; Pasal 1335 KUHPdt, perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu atau terlarang; Pasal 1337 KUHPdt, sebab yang dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum. Setiap ketentuan tersebut menjadi dasar sehingga suatu perjanjian dapat ditarik kembali, dapat dibatalkan atau batal demi hukum yang menunjukkan bahwa asas kebebasan berkontrak itu sifatnya terbatas.

Berdasarkan uraian di atas, maka asas hukum yang dapat dikatakan memiliki kedudukan paling utama dalam hukum perikatan, yaitu asas itikad baik. Suatu perjanjian dapat dikatakan tidak sah, tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian  jika menyimpangi itikad baik dari salah satu pihak. Suatu perjanjian kalau terjadi paksaan, kekhilafan, penipuan merupakan penyimpangan terhadap asas itikad baik. Suatu perjanjian bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan juga bertentangan dengan itikad baik. Terdapat keadaan-keadaan lain atau prasyarat yang menyebabkan kontrak tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, misalnya karena terjadi kecacatan kehendak, bertentangan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan, yang demikian itu juga  merupakan bentuk konkret mengenai tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

Para ahli hukum, rata-rata mengemukakan bahwa kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:[1]

  • Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
  • Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
  • Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
  • Bebas menentukan bentuk perjanjian;
  • Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Perihal  jaminan kebebasan yang tidak dapat dibatasi dari apa yang telah disebutkan di atas, hanya dapat terjadi pada keadaan yang pertama, yaitu bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak. Hal ini terkait dengan persoalan kehendak, atau kemauan dari seseorang yang tidak dapat diganggu gugat, karena belum terjadi hubungan dua pihak, sebagaimana hukum hanya dapat mengatur tata pergaulan sosial.

Sementara pada jenis-jenis kebebasan lainnya, masih ada pembatasannya. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian, dapat dibatasi oleh pihak yang dianggap tidak cakap melakukan tindakan hukum. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian, dapat dibatasi oleh klausul yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Bebas menentukan bentuk perjanjian, dapat dibatasi oleh perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan causa yang halal. Untuk kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak perlu dipersoalkan lagi pembatasannya, sebab kalau sudah dikatakan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, itu sudah pasti wujud kebebasannya sudah dibatasi.

Mengenai sejarah asas kebebasan berkontrak, pertama kali dikemukakan oleh A.L. De. Wolf:[2]

“Bahwa menurut sejarahnya, Pasal 1338 mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu berpijak pada revolusi Perancis, bahwa individu sebagai sumber dari semua kesejahteraan dan kehendak individu sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi bahwa orang juga bebas untuk mengikatkan diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan oleh kontrak terjadi berdasarkan kebebasan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.”

Sejalan dengan itu, L.J. van Apeldoorn juga mengemukakan:[3]

“Kebebasan membuat kontrak merupakan konsekuensi dari pengakuan akan adanya hak milik. Sedangkan hak milik itu sendiri merupakan realisasi yang utama dari kebebasan individu. Hak milik merupakan landasan bagi hak-hak lainnya. Hegel mengemukakan bahwa kebebasan berkehendak merupakan landasan yang substansial bagi semua hak dan kewajiban, sehingga mewarnai  perundang-undangan dan moral. Pemegang hak milik harus menghormati orang lain yang juga pemegang hak milik. Adanya saling menghormati inilah yang merupakan landasan terjadinya hukum kontrak.”

Berdasarkan dua pendapat tersebut, menunjukkan bahwa pada awalnya kebebasan berkontrak lebih didominasi oleh pengutamaan kepentingan individu,  karena mendapat pengaruh ideologi liberalisme di abad ke- 16 sampai abad ke-19 sebagaimana didominasi oleh para pemikir ekonomi (seperti Adam Smith) dan para pemikir hukum (seperti Jeremy Bentham), mengakibatkan pelaksanaan kontrak sangat menjunjung tinggi asas kebebasan.

Setelah itu, pada abad ke-20, kembali dimulai pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembentuk hukum, dan dari pembentuk perundang-undangan, terutama dari pihak pemerintah, sampai dengan mulai diberlakukannya kontrak baku yang timbul dari hukum bisnis.

[1] Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers), Hlm. 4

[2] Purwahid Patrik, 1986, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit Undip), Hlm. 4

[3] Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif  Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju), Hlm. 83

You may also like...