Penembakan Pemuda Mangkutana sedang Disorot, Begini Tanggapan Ahli Hukum Pidana Unhas

Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H.
Kasus penembakan hingga mengakibatkan kematian terhadap pelaku asal Mangkuta bernama Amri alias Ari oleh salah satu anggota personil Polres Luwu Timur dan Polsek Mangkutana pada 19 Februari kemarin, menghiasi pemberitaan baik media cetak maupun media online. Bahkan video kasus penembakan itu telah viral di media sosial.
Rata-rata pemberitaan kemudian menyudukan pihak kepolisian. Anggota kepolisian yang terlibat dalam penembakan itu, ada yang menyatakannya melanggar Perkap Nomor 8 Tahun 2009, ada yang menyatakan kalau anggota kepolisian tersebut telah melanggar HAM karena telah bertindak tidak berdasarkan SOP. Bahkan dari salah satu ormas lembaga bantuan hukum menyarankan agar polisi tersebut dijerat dengan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, kekerasan secara bersama-sama, hingga tindak pidana pembunuhan secara sengaja. Kalau perlu, polisi bersangkutan dikenakan pula sanksi disiplin berupa pemberhentian. Demikian beberapa informasi yang berhasil dikumpulkan oleh tim negarahukum.com
Agar pemberitaan menjadi berimbang, Tim negarahukum.com kemudian meminta pendapat dari salah satu ahli hukum pidana Universitas Hasanuddin, Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H.
Di sela-sela kesibukan mantas Panwas Kota Makassar sekaligus ketua bagian departemen hukum pidana Unhas tersebut, tim negarahukum.com melakukan wawancara di ruangan kerjanya.
Simak obrolan bersama Amir Ilyas untuk mengetahui lebih dalam kasus penembakan pemuda Mangkuta itu dari perspektif hukum pidana.
Boleh kami meminta pendapat bapak Doktor secara singkat mengenai kasus penembakan pemuda Mangkutana itu?
Sebelum saya menjawab pertanyaan saudara. Saya mau menyinggung terlebih dahulu beberapa kalangan yang bisa dikatakan gegabah dalam memberikan komentar mengenai kasus ini. Kebanyakan ormas-ormas dan wartawan memberikan pernyataan hanya berdasarkan satu sudut pandang saja. Itu tidak netral namanya. Biasakanlah memberikan komentar setelah melalui cross check dari kedua pihak lebih dahulu.
Terus terang, pasca kejadian penembakan terhadap pemuda itu, saya juga langsung kaget setelah melihat videonya yang tersebar di media online. Langsung pada waktu itu, saya mengontak pihak kepolisian, Kabid Humas Polda Sul-Sel.
Dan apa keterangan yang saya dapatkan dari beliau? Ternyata peristiwa penembakan itu berawal dari pemuda tersebut yang mengamuk dengan menggunakan sebilah parang di pasar Wonerejo serta menghadang kendaraan yang melintas di jalan raya dan masyarat sekitar pasar tersebut.
Setelah itu pelaku menahan sebuah kendaraan mobil truk dan menumpanginya, atas informasi dari masyarakat setempat sehingga personil Polres Luwu Timur dan Polsek Mangkutana yang saat itu sedang melaksanakan patroli langsung menuju ke TKP untuk menghentikan aksi pelaku, namun pelaku tetap mengamuk dengan sebilah parang. Karena tindakan pelaku saat itu sudah mengancam keselamatan jiwa masyarakat sekitar dan petugas yang akan mengamankannya, karena sebelum petugas datang ke TKP yang bersangkutan telah melakukan penganiayaan terhadap beberapa masyarakat, seorang anggota Koramil Mangkutana, Seorang anggota Polsek Mangkutana, dan merusakan barang milik pedagang, sehingga petugas memberikan tembakan peringatan sebanyak 3 kali namun pelaku tidak menghiraukan bahkan semakin mengamuk, maka petugas mengarahkan tembakan ke pelaku dengan tujuan melumpuhkan. Selanjutnya petugas membawa pelaku ke RS. Lagaligo Wotu namun dalam perjalanan meninggal dunia.
Jadi, pihak kepolisian di sini sudah bekerja berdasarkan SOP. Pun kita semua harus mengapresiasi tindakan kepolisian tersebut. Sebab apa yang terjadi kalau polisi tidak ada, bisa-bisa khan berjatuhan korban dari warga. Kalau banyak korban dari warga khan polisi juga nanti disalahkan. Jadi polisi itu kasian, bertindak dibilang salah, tidak bertindak dibilang salah juga.
Kalau begitu, berarti dalam peristiwa itu polisi tidak melanggar Perkap Nomor 8 Tahun 2009 yah?
Yah benar tidak melanggar Perkap, sebab syarat dan tata cara penangkapan mereka sudah jalankan semuanya. Ada tembakan peringatan tetapi pelaku tetap melancarkan aksinya, mengamuk, ingin memarangi warga, bahkan polisi juga ingin dia parangi. Jadi, tindakannya polisi itu namanya pembelaan terpaksa (noodweer).
Kenapa bapak mengatakan itu pembelaan terpaksa?
Salah satu syarat untuk pembelaan terpaksa adalah ada serangan seketika. Saya menonton salah satu kesaksian warga di youtube, saksi tersebut mengatakan bahwa pemuda yang bernama Amri itu mengejar salah satu anggota polisi, kemudian polisi terjatuh, pemuda itu sudah mengayunkan parangnya ke polisi yang jatuh, teman polisi itu memberikan tembakan peringatan tiga kali, namun pelaku tetap meneruskan tindakannya ingin melukai polisi yang jatuh, polisi yang jatuh itu kemudian menembak pelaku.
Setelah pelaku ditembak, tampaknya ia belum mengakhiri perbuatannya, ia pergi lagi di suatu bengkel, di situ hendak memarangi lagi warga, pada saat itu seorang anggota polisi menembaknya lagi.
Dua peristiwa dalam kejadian itu bisa dikatakan sebagai syarat memenuhi serangan seketika. Pertama, polisi yang dikejar kemudian terjatuh, ia hampir diparangi, kemudian ia ditembak. Kedua, sesaat kemudian ia ingin memarangi juga warga. Itu sudah memenuhi sebagai alasan penghapus pidana. Tindakan polisi sebagai upaya pembelaan terpaksa.
Berdasarkan berita yang kami baca di media online, katanya pelaku tidak diberikan tembakan untuk melumpuhkan dahulu, tetapi bekas tembakan hanya ada di dada dan perut, tidak ada tembakan di bagian betis misalnya. Bagaimana dengan yang itu?
Itulah yang saya sebutkan tadi kalau sudah dalam kondisi terancam jiwanya polisi dan warga. Bukan lagi SOP yang bisa berbicara. Karena ini sudah menyangkut pembelaan diri. Apapun yang terjadi, dengan cara dia bisa menyelamatkan jiwanya. Itulah yang namanya pembelaan secara patut.
Jadi kesimpulannya bapak, dalam kejadian ini polisi tersebut tidak melanggar HAM pula?
Apanya yang melanggar HAM, melanggar HAM itu kalau petugas kepolisian menyalahi syarat dan tata cara penangkapan. Sementara dalam kejadian ini, tindakan penembakan itu berimbang dengan bobot ancaman yang terjadi.
Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa petugas polisi tersebut telah melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam. Yang demikian merupakan esensi dari pada pembelaan terpaksa. Andaikata polisi tidak cepat menembak pelaku, bukankah akan terjadi kejahatan yang lebih besar lagi. Siapa yang mau bertanggung jawab kalau bukan kepolisian yang sudah ada di TKP dalam hal mencegah berlanjutnya kejahatan itu.
Terakhir bapak Doktor, apa saran-sarannya terkait dengan kejadian ini?
Pertama-tama, saya harapakan kepada publik janganlah selalu menyalahkan pihak kepolisian. Sebab mereka itu bekerja, kadang mempertaruhkan nyawanya demi orang banyak. Sudah sering kita membaca dan mendengar berita tentang kematian seorang polisi gara-gara mereka menjalankan tugasnya. Ada yang memang dibunuh oleh pejahat di TKP. Ada yang dibunuh saat-saat mereka sedang bersantai oleh teman penjahat yang telah ditangkapnya. Jadi, ini kasian polisi, serba salah.
Kedua, setahu saya kejadian ini, berawal dari pelaku yang sudah mengonsumsi obat jenis PCC, kemudian ia berbuat kerusuhan, mengamuk di pasar, sampai berani melawan polisi. Ini harus menjadi peringatan bagi orang tua, para keluarga, agar dapat mengawasi anak-anaknya dari penyalahgunaan obat-obat terlarang. Kita harus biasakan mencegah kejahatan dari pada melakukan penindakan. Datangnya kejahatan itu dari kita sendiri, sementara penegak hukum hanya bisa membantu melalui fungsi Kamtibmasnya.
Terima kasih Pak Doktor untuk waktu dan bagi-bagi ilmunya. Semoga ilmunya bisa bermanfaat untuk khalayak. Salam.