Paslon Menyuap Penyelenggara Pemilihan, Batalkan!
Beberapa pekan kemarin, hajatan demokrasi elektoral kembali diguncang sunami Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap salah satu struktur keanggotaan penyelenggara pemilihan. Boleh jadi kasus penangkapan terhadap Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Garut, Jawa Barat Heri Hasan Basri, dan komisioner KPU Garut Ade Sudrajat, Sabtu (24/2), merupakan fenomena gunung es, yang hanya tampak di permukaan saja. Kasus-kasus di beberapa daerah lainnya, mungkin ada juga yang masih jauh dari radar, “terendus” oleh Tim Satgas Anti Money Politic Bareskrim Mabes Polri.
Dari potrem buram itu, kembali memantik diskusi perihal mekanisme pembatalan paslon yang melakukan tindak pidana penyuapan kepada penyelenggara. Baik kepada Panwaslu maupun kepada KPU.
Dalam kasus penyuapan Heri Hasan Basri dan Ade Sudrajat sebagaimana dilansir oleh beberapa media, bahwa tujuan penyuapan tersebut agar dapat meloloskan Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Garut untuk Pilkada Garut 2018, pasangan Soni Sondani-Usep Nurdin. Itu artinya, paslon tersebut belum berstatus sebagai calon, sehingga mustahil akan ada keputusan pembatalan calon.
Persoalannya akan menjadi lain, seandainya ada calon yang sudah menyuap penyelenggara (KPU), kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan paslon. Bagaimanakah cara membatalkan atau mendiskualifikasinya agar tidak ikut dalam kontestasi?
Ini perlu dicari jalan keluarnya. Jangan sampai terjadi peristiwa yang demikian di masa mendatang, kemudian menimbulkan “kekisruhan” sebab tidak ada ketentuan hukum yang jelas dan tepat mengaturnya.
Tentu kita tidak menginginkan pula, disaat derasnya tekanan publik agar paslon yang telah menyuap penyelenggara dibatalkan. Lalu di saat yang sama, paslon itu tetap “melenggang kangkung” dalam perebutan kursi kepala daerah.

Sumber Gambar: detik.com
Pembatalan Paslon
Ius de jure Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebenarnya sudah mengatur larangan penyuapan kepada penyelenggara. Dalam Pasal 73 ayat 1 Undang-undang a quo ditegaskan “Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi “penyelenggara Pemilihan” dan/atau Pemilih.”
Implikasi hukum lebih lanjut atas pasal tersebut adalah memungkinkan paslon yang menyuap penyelenggara dapat dibatalkan statusnya sebagai peserta pemilihan. Berikut dengan syarat-syarat pembatalannya sebagai sanksi administrasi yang dapat diputuskan oleh Panwaslu kemudian ditindaklanjuti oleh KPU, pelanggarannya harus terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (Pasal 73 ayat 2 Junto Pasal 135 A UU Pemilihan).
Dengan terdapatnya sanksi pembatalan sebagai bentuk pelanggaran administrasi terhadap paslon yang menyuap penyelenggara. Dasar teleologisnya, sudah pasti bersinggungan bahwa pelanggaran yang seperti itu berimplikasi pada hasil pemilihan. Adalah butuh mekanisme cepat untuk membatalkan calon yang melakukan penyuapan terhadap penyelenggara.
Dan kalau mau menggunakan mekanisme yang ditentukan oleh UU Pemilihan, sudah pasti sulit membatalkannya. Hal itu disebabkan, tidak ada standardisasi yang jelas, kapan suatu perbuatan suap kepada penyelenggara terpenuhi sebagai pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Belum lagi dengan mekanisme pembatalan, hanya dengan melalui pemeriksaan Panwaslu adalah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Apa yang terjadi misalnya, kalau jauh-jauh hari seorang sudah dibatalkan statusnya sebagai peserta pemilihan. Namun ternyata di belakang hari, setelah melalui proses peradilan pidana, dinyatakan tidak bersalah, mutatis-mutandis tidak terbukti perbuatan suapnya.
Agar bisa sinkron antara perbuatan suapnya dengan pertanggungjawabannya. Perlu terobosoan hukum dengan pemeriksaan terhadap calon bersangkutan melalui mekanisme hukum acara pidana cepat.
Vonis Inkra
Perihal pemeriksaan tindak pidana pemilihan dengan acara cepat sudah diatur sedemikian rupa pula dalam UU Pemilihan. Hanya saja yang perlu diperhatikan terkait dengan calon yang diduga melakukan tindak pidana penyuapan, adalah bagaimana menyusun kembali limitasi pemeriksaannya di pengadilan dan bagaimana menentukan jenis hukumannya.
Pertama, UU Pemilihan harus menyediakan sanksi pidana penjara dan/atau denda yang lebih berat kepada calon yang terbukti melakukan suap kepada penyelenggara. Dengan berpatokan pada asas lex specialist sistematis, harus hukum pidana materil dan hukum pidana formilnya terdapat dalam UU Pemilihan. Hukum pidana materilnya, harus mengatur jenis perbuatan dan pertanggungjawaban pidananya sejajar dengan apa yang terdapat dalam UU Tipikor (dalam hal perbuatan suap menyuap).
Kedua, perlu disedikan pula hukuman tambahan lainnya, selain hukuman pokok yang berupa pidana penjara dan/atau denda. Bentuk hukuman tambahan itu, adalah pencabutan hak politik kepada calon yang telah terbukti menyuap penyelenggara pemilihan.
Ketiga, jika saat ini penyelesaian tindak pidana pemilihan masih dikenal upaya kasasi ke tingkat Mahkamah Agung. Sudah saatnya upaya hukum tersebut ditiadakan. Cukup pemeriksaan perkaranya diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi (PT) sebagai tingkat pertama dan terakhir. Vonis Pengadilan Tinggi adalah vonis inkra yang harus segera ditindaklanjuti oleh KPU, agar segera mengeksekusi putusan itu dengan menerbitkan keputusan pembatalan terhadap calon yang terbukti menyuap penyelenggara.
Dari ketiga solusi hukum yang ditawarkan ini, selain memenuhi kemauan partisipan hukum, atas nama warga negara dalam konsepsi kedaulatan rakyat. Pun membawa hikmat atas kelancaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tidak perlu lagi “pusing tujuh keliling” ada kejadian seorang terdakwa dilantik sebagai kepala daerah terpilih. Ataukah ada seorang terpidana, sedang mengikuti pelantikan kepala daerah di balik jeruji besi.
Lex dura sed tamen scipta, hukum memang kejam dan demikian adanya. Barang siapa yang telah merusak “kesucian” demokrasi, “kesucian” daulat rakyat pemilih. Mereka pantas menghuni kamar dengan dinding jeruji besi tanpa memiliki hak untuk melakukan upaya hukum biasa dan luar biasa. Jika suap adalah korupsi, dan korupsi dimaknai sebagai perbuatan “busuk,” tentu kita tidak menginginkan terpilihnya kepala daerah yang akan meneruskan segenap kebijakan busuknya, selama lima tahun ke depan.*