Menjarah Saat Bencana

Sumber Gambar: Indinesianvoice.com
DUKA lara meluluhlantakkan bumi khatulistiwa. Gempa berkekuatan 2 kali lipat dari gempa Lombok meruntuhkan simbol-simbol dan bangunan kota Palu, Donggala dan Sigi, hingga wajahnya tak bisa dikenali lagi seperti dulu. Tsunami menyapu keceriaan masyarakat Sulawesi Tengah yang datang, setelah pemerintah memberi peringatan, jikalau dia tidak akan datang. Leuktifasi-pun mengubur rumah-rumah impian, bahkan tidak tanggung-tanggung satu kelurahan tenggelam dalam kubangan lumpur bencana. Ibu pertiwi kini sedang berkabung, dirundung duka.
Ribuan saudara kita berserakan diam membisu untuk selamanya. Sebagiannya lagi meregang nyawa dalam runtuhan dan rasa lapar. Mereka menanti doa dan uluran saudara pertiwinya di penjuru bumi Indonesia. Dalam penantiannya, air mata mengering, nalurinya bergerak mencari sesuatu yang bisa menahan laju derita dan maut yang senantiasa mengintai. Untuk dirinya atau bahkan untuk keluarga dan kerabatnya yang tak bisa bergerak dibelenggu oleh rasa sakit.
Naluri itulah yang mengantarkannya pada logistik yang tak bertuan ditinggal penghuninya. Dia bukan “penjarah” tapi “pahlawan” yang mempertahankan kepentingan hidup keluarganya. Sebagian kacamata orang, menyebutnya melanggar moral dan hukum. Tetapi sesungguhnya justru hukum hadir paling terdepan memberikan perlindungan dan tameng kepada orang-orang yang berani berbuat demi mempertahankan nyawa.
Keadaan Darurat
Hukum memberikan perlindungan bagi saudara-saudara kita yang berjuang dan tidak takluk kepada kepasrahan. Hukum pidana kita meskipun saduran dari kolonial juga melindungi pelaku kejahatan dalam keadaan darurat, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 48 KUHP yang pada pokoknya menyatakan: orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.” Keadaan darurat masuk dalam rumpun daya paksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 KUHP a quo.
Aturan yang terdapat dalam Pasal 48 KUHP, khususnya mengenai keadaan darurat terkristalisasi dalam ramuan prinsip hukum pidana: necessitas non hebetlegem (dalam keadaan darurat tidak berlaku hukum), necesitas facit licitum quod (keadaan terpaksa membolehkan apa yang tadinya dilarang).
Begitu dilindunginya orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya, sehingga agamapun membolehkan perbuatan dalam keadaan darurat. Mayoritas ulama dengan mengutip ayat Al-Qur’an menghasilkan prinsip hukum termasyhur dalam kaidah dasar hukum Islam, addharurah tubihul mahzurat, yang berarti keadaan darurat membolehkan yang terlarang. Namun dispensasi pemberlakuan keadaan darurat itu, penting untuk diketahui, bahwa disamping tidak ada pilihan lain lagi (subsidiritas), adalah tidak boleh pula melampaui batas (proporsionalitas).
Negara Absen
Keadaan darurat bukanlah alasan pembenar negara tidak hadir sebagai penengah dan fasilitator. Dalam kondisi seperti ini, negara dibutuhkan untuk membeli semua makanan, minuman, pakaian, obat-obatan, dari toko-toko yang berpotensi untuk dijarah oleh masyarakat. Bukan malah membiarkan atau bahkan menganjurkan mereka mengambil barang dari tokoh-tokoh atau supermarket.
Absennya negara dalam keadaan bencana, berpotensi chaos, karena sesama anak bangsa mudah tersulut konflik dengan kondisi psikologi yang serba membutuhkan. Negaralah yang harus “menjarah” tokoh-tokoh itu dengan harga yang pantas, kemudian mendistribusikannya secara tertib kepada warga yang sangat membutuhkan.
Terekam oleh beberapa media, masih ada saudara kita yang mengambil harta milik sesama, selain makanan, minuman, pakaian, obat-obatan, dan bahan bakar. Mereka mengambil barang-barang yang bernilai ekonomis dan bisa memanjakan hawa nafsu manusiawinya. Padahal televisi, handphone dan alat elektronik lainnya hanyalah kebutuhan jangka panjang.
Belum diketahui motif sebahagian saudara kita yang mengambil barang milik sesama korban bencana, yang bukan dalam bentuk makanan, minuman, pakaian, bahan bakar, dan obat-obatan. Tatkala Barang-barang tersebut diambil hanya untuk kepentingan syahwatnya, maka hal seperti inilah yang dikejar dan dikutuk oleh hukum. Menggunakan kesempatan dalam kesempitan, itulah indikasi bagi manusia yang hatinya sudah dipenuhi oleh hawa nafsu.
Norma hukum pidana di negeri bencana, memberikan pemberatan para pelaku kejahatan. Adapun substansinya, mengutuk pencurian yang dilakukan pada saat bencana terjadi dan menghukum lebih berat pelakunya dengan menambah hukuman dibanding dengan pencurian yang dilakukan pada saat bukan bencana.
Manusia yang mengincar harta benda dalam keadaan bencana, bukan untuk mempertahankan hidupnya tetapi untuk memenuhi syahwatnya. Belum sembuh rasa sakit akibat bencana, datang lagi bencana lain karena harta bendanya dijarah oleh manusia lain, meskipun sesungguhnya mereka telah bersyukur karena masih diberikan kesempatan hidup.
Tentu mereka berharap dengan harta yang masih disisakan oleh gempa dan tsunami mampu menyambung hidupnya di masa yang akan datang. Bukankah setelah kejadian ini berlalu, mereka tetap harus hidup dan menghadapi kerasnya hidup. Perjalanan kehidupan akan semakin keras jikalau harta yang diharapkannya juga ludes, diambil oleh orang lain pada saat bencana itu terjadi.
Sekali lagi kehadiran negara juga dibutuhkan untuk mengantisipasi menumpangnya niat jahat yang bergentayangan di tengah perihnya derita masyarakat. Bagaimana jika para pelaku kejahatan memang berduyun-duyun memindahkan locus delicti nya di tengah-lengah dan lemahnya pengawasan masyarakat dan aparat keamanan yang fokus pada penanganan bencana. Inilah yang harus dicegah negara.
Biarlah gempa menelan rumah-rumah kecongkakan dan kesombongan kita. Biarlah tsunami menyapu bersih hati-hati kita yang kotor menipu mendengki orang lain. Agar setelah bencana ini, kita kembali menjadi insan mulia yang selalu mengingat dan selalu bersyukur kepada-Nya. Wallahu A’lam Bishawab.
Oleh: Muh. Nursal NS
Praktisi Hukum
artikel ini telah muat di harian tribun timur