Berhenti Saat Mencalon Pileg

Baron Harahap, S.H., M.H.
Pasca penetapan Daftar Calon tetap (DCT), masih menyisakan problem hukum pemenuhan syarat calon, khususnya yang secara administrasi dianggap belum memenuhi standar syarat administrasi sesuai kehendak PKPU 20/2018.
Secara kasuistis hal ini terjadi pada penetapan DCT oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wakatobi (KPU) terhadap calon yang sebelumnya berstatus sebagai anggota DPRD, mencalon kembali dengan menggunakan partai politik yang berbeda dengan partai awal yang diwakilinya pada pemilu 2014.
Setidaknya terdapat 7 (tujuh) anggota DPRD Kabupaten Wakatobi yang mencalon kembali dengan menggunakan Partai Politik yang berbeda, dengan berbekal usulan pemberhentian dari Sekertaris Dewan (Sekwan) DPRD Wakatobi dianggap telah memenuhi syarat oleh KPU Wakatobi.
Meski telah ditetapkan lolos sebagai DCT oleh KPU Wakatobi (KPU), aroma penolakan dari Bawaslu Sultra atas penetapan DCT terhadap 7 (tujuh) caleg aquo terungkap melalui pemberitaan salah satu media online di Sulawesi Tenggara.
Menurut Bawaslu Sultra, usulan pemberhentian dari Sekertaris Dewan yang diteruskan melalui Bupati/Walikota bukanlah dokumen pemenuhan syarat yang dimaksud dalam norma Pasal 27 ayat (6) dan (7) PKPU 20/2018.
Sikap Bawaslu Sultra berpijak pada UU Pemerintahan Daerah. Pengaturan dalam UU Pemerintahan Daerah menegaskan pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten merupakan kewenangan Gubernur, maka surat dimaksud membuktikan pemberhentian Anggota DPRD sedang terproses adalah surat dari Pemerintah Provinsi (Gubernur).
Perbedaan sikap dalam menyikapi pemenuhan dokumen sebagai terpenuhinya syarat bagi calon yang sebelumnya bertatus sebagai anggota DPRD, ujung-akhirnya potensial menggerus bahkan menghilangkan hak mencalon bagi caleg.
Terlepas dari wilayah tafsir-menafsir antara kedua lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), namun senyatanya norma Pasal 7 ayat (1) huruf s PKPU 20/2018 aquo secara esensial mengandung problem hukum, karena substansinya bukan lagi memperkuat moral politik para caleg, justeru dalam prakteknya berubah menjadi syarat yang rumit atas hak mencalon, dan justeru kahilangan daya ikat ditangan partai politik.
Mengundurkan Diri
Kewajiban mengundurkan diri jika mencalon pada pemilihan legislatif 2019 (pileg), terbatas bagi mereka yang sebelumnya berstatus sebagai penyelenggara negara (ASN/TNI/Polri) atau karyawan yang anggaranya bersumber dari keuangan Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 240 huruf k UU 7/2017 (UU Pemilu).
Hal yang berbeda bagi Anggota DPR/DPRD Prov/DPRD Kabupaten/Kota, jika mencalon pileg, tidak disebutkan secara ekplisit dan tegas pada norma pasal 240 huruf k UU Pemilu untuk mengundurkan diri sebagai anggota DPR/DPRD Prov/DPRD Kabupaten/Kota.
Syarat mengundurkan bagi anggota DPRD jika mencalon pileg, pengaturannya nanti pada PKPU 20/2018, namun syarat pengunduran diri aquo secara limitative berlaku jika yang bersangkutan mencalon dengan menggunakan partai politik yang berbeda dengan partai politik yang diwakili pada pemilu terakhir (vide: Pasal 7 ayat 1 huruf s PKPU 20/2018).
Begitu urgennya syarat mengundurkan diri jika mencaleg, maka pengaturannya dibuat secara ketat. Pengunduran diri aquo tak dapat ditarik kembali (vide: pasal 8 huruf b angka 8 PKPU 20/2018). Namun demikian terdapat pengecualian keberlakuan untuk mundur bagi calon yang menggunakan partai yang berbeda dengan partai yang diwakilinya pada pemilu terakhir.
Pengecualian dimaksud jika terhadap keadaan-keadaan yakni: partai yang diwakili terakhir tidak menjadi peserta pemilu; yang bersangkutan tidak diberhentikan/tidak ditarik oleh Partai Politik sebagai anggota DPR/DPRD Prov/DPRD Kabupaten/Kota; atau tidak terdapat lagi calon pengganti yang terdaftar dalam DCT pada pemilu terakhir (vide: Pasal 7 ayat (6) huruf b PKPU 20/2018).
Kewajiban mundur sebagaimana norma pasal 7 ayat (1) huruf s PKPU 20/2018 untuk dapat ditetapkan sebagai DCT pileg terukur dengan adanya keputusan pemberhentian yang bersangkutan dari pejabat yang berwenang, paling lambat telah diterima oleh KPU 1 (satu) hari sebelum penetapan DCT (vide : pasal 27 ayat 5 PKPU 20/2018).
Dalam faktanya, disadari oleh KPU RI selaku pembentuk PKPU, bahwa syarat pemberhentian dari pejabat yang berwenang sebagai kelengkapan syarat mencaleg potensial disalahgunakan untuk menghambat pemenuhan syarat caleg aquo. PKPU 20/2018 memberi solusi atas hal tersebut.
Adalah norma Pasal 27 ayat (6) dan (7) PKPU 20/2018 sebagai solusi pemenuhan syarat pemberhentian aquo. Jika sampai pada batas waktu yang ditentukan dan caleg dimaksud tidak mendapatkan keputusan pemberhentian dari pejabat yang berwenang, maka cukup dengan membuat surat pernyataan bahwa pengunduran dirinya telah disampaikan kepada pejabat yang berwenang dengan melampirkan bukti pengunduran diri dan tanda terima surat pengunduran diri dari instansi terkait.
Notabene pemberhentian anggota DPRD Kabupaten karena alasan mundur diatur dalam ketentuan Pasal 194 UU 23/2014 (UU Pemerintahan Daerah). Ketentuan norma aquo mengatur mekanisme pemberhentian karena alasan mundur diusulkan oleh partai politik kepada pimpinan DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota. Selanjutnya dalam batas waktu yang ditentukan, Gubernur meresmikan usulan pemberhentian aquo dari Bupati/Walikota.
Pada sisi hukum inilah, secara tafsir-menafsir berkait tanda terima dari instansi manakah yang dapat menjadi bukti bahwa Pemberhentian aquo sedang terproses sebagai pemenuhan syarat mencaleg yang diminta oleh Pasal 27 ayat (6) dan (7) PKPU 20/2018. Apakah bukti surat tanda terima dari Bupati/Walikota, ataukah surat tanda terima dari Gubernur.
Terlepas dari perdebatan berkait tafsir surat yang mana menjadi sah sebagai pemenuhan syarat Pasal 27 ayat (6) dan (7) PKPU 20/2018, perlu dikenali kembali perdefinisi berhenti sebagaimana dimaksud dalam UU Pemerintahan Daerah.
Berdasar norma Pasal 193 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah, berhenti dapat terjadi karena 3 (tiga) alasan: meninggal dunia, mengundurkan diri; atau diberhentikan. Secara sederhana, jika seseorang menyatakan mundur, maka tak perlu ada syarat tambahan untuk membuat pengunduran dirinya menjadi sempurna. Pelibatan Gubernur sebagaimana ketentuan Pasal 193 UU ermintahan Daerah aquo bersifat pengesahan (lgalisasi).
Mengundurkan diri secara konsepsi adalah hak, oleh karenanya ketika seseorang menggunakan haknya untuk mundur, maka secara hukum mutatis mutandis seseorang kehilangan haknya atas jabatan/posisi semula yang diembannya. Pengunduran diri tak perlu mendapatkan persetujuan/izin dari pejabat yang berwenang. Inilah kiranya mengapa pernyataan mengundurkan diri tak dapat ditarik kembali sebagaimana kehendak UU Pemilu dan PKPU 20/2018.
Secara futuristic keberlakuan norma Pasal 27 ayat (6) dan (7) PKPU 20/2018 adalah untuk menghindari adanya penyalaghunaan kewenangan dari pejabat yang berwenang menghalang-halangi pemberhentian seseoang untuk mencaleg.
Namun, dengan memberikan syarat tambahan berupa bukti surat yang menunjukkan bahwa proses pemberhentiannya sedang terproses dari pejabat/institusi yang berwenang, juga sama potensialnya disalah gunakan oleh pejabat/institusi yang berwenang.
Dalam konteks pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (6) dan (7) PKPU 20/2018, jika dikaitkan dengan Pasal 193 UU Pemerintahan Daerah akan memberikan ketidakpastian hukum, karena alur pemberhentiannya melibatkan 4 (tiga) pihak, yakni Partai Politik, Pimpinan DPRD, Bupati/Walikota, dan akhirnya Gubernur selaku pihak yang berwenang meresmikan pemberhentiannya.
Dengan alur yang panjang dengan pelibatan kewenangan masing-masing pihak, akhirnya membuka wilayah tafsir menafsir berkait dokumen tanda terima yang mana yang sahih dapat dirujuk oleh KPU untuk menyatakan pemeberhentian aquo sah dan legitimeid.
Jika KPU menyatakan bahwa surat yang benar dapat digunakan menunjukkan suatu keadaan pemberhentian aquo terproses cukup surat yang dibuat oleh Sekertaris Dewan DPRD Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota, asusmsi tersebut dapat disanggah dengan argumentasi bahwa kewenangan pemberhentian ada pada Gubernur sebagaimana UU Pemerintahan Daerah.
Akhirnya pembebanan syarat pemberhentian dari pejabat yang berwenang sebagai syarat mencalon juga akan menimbulkan ketidakpastian lolosnya hak mencalon. Padahal, KPU RI mestinya belajar dari proses pilkada Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015.
Syarat pemberhentian dari pejabat yang berwenang, nyaris saja menjadi batu sandungan bagi salah satu pasangan calon wakil bupati pada Pilkada Konawe Selatan tahun 2015. Calon Wakil Bupati Terpilih Konawe Selatan kala itu digugat-minta dibatalkan pencalonannya karena tidak mengantongi Surat Pemberhentian sebagai ASN dari Pejabat yang berwenang, meskipun telah menyatakan pengunduran diri sejak mencalon dan memiliki tanda terima surat pengunduran diri dari pejabat yang berwenang (Gubernur).
Saat dokumen persyaratan Calon Wakil Bupati Konawe Selatan aquo digugat melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar (PTTUN), putusannya yakni membatalkan status pencalonan aquo. Alasan dibatalkannya karena Pemerintah Provinsi Sultra (Gubernur) mengingkari surat tanda terima berkait pengunduran diri aquo. Meskipun akhirnya putusan PTTUN aquo dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.30 K/TUN/Pilkada/2016.
Adanya kasus serupa berkait syarat pemberhentian dari pejabat yang berwenang yang nyaris menelan korban-memberangus hak mencalon pada pilkada Konawe Selatan 2015, seharusnya menjadi pelajaran buat KPU RI agar tidak menerapkan syarat yang substansinya sama menjadi syarat mencaleg pemilu 2019.
Dalam konsepsi ideal, sejatinya pengaturan syarat mencaleg berkait pengunduran diri cukup dibuktikan dengan surat pernyataan mengundurkan diri, tak perlu ada ikutan syarat lain yang potensial memberangus-hilangkan right to be a candidate.
Penegasaan “pengunduran diri tak dapat ditarik kembali” bermakna agar caleg aquo tidak melakukan spekulasi berkait pencalonannya. Pengunduran diri tak dapat ditarik kembali adalah konsekuensi logis bagi mereka yang ingin menggunakan haknya mencalon pileg menggunakan partai berbeda dengan partai yang diwakili, maka seketika itu ia kehilangan haknya mewakili partai yang diwakilinya pada pemilu terakhir.
Ambigu
Hukum dibuat dengan kesepakatan moral, perihal mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, selanjutnya terformalkan melalui tangan kekuasaan menjadi hukum.
Jika menilik kewajiban mundur tersebut, sejatinya yang dilindungi oleh Pasal 7 ayat 1 huruf s PKPU 20/2018 adalah moral politik calon. Secara etis, tak dapat diterima secara moral, seseorang masih berstatus sebagai anggota DPRD dari partai A, lalu kemudian mencaleg menggunakan Partai B.
Pada titik inilah cita teleologis membentuk moral hukum bagi caleg dan partai politik mengalami abiguitas. Hal ini benderang sebagaimana pengecualian syarat keberlakuan pemberhentian yakni yang bersangkutan tidak diberhentikan/tidak ditarik oleh Partai Politik sebagai anggota DPR/DPRD Prov/DPRD Kabupaten/Kota (vide: Pasal 7 ayat (6) PKPU 20/2018).
Seluruh cita teleologis norma pengunduran diri/pemberhentian aquo menjadi tidak mungkin tercapai ketika partai politik tidak memiliki komitmen yang sama sebagaimana kehendak syarat mengundurkan diri/pemberhentian yang mintakan oleh PKPU 20/2018.
Jika Partai Politik tidak menarik/tidak memberhentikan caleg aquo, maka nilai verifikasi yang telah diproses KPU yang ikut merangkul kewenangan pemberhantian oleh pejabat/instansi terkait menjadi kehilangan daya guna. Norma pasal 7 ayat (1) huruf s PKPU 20/2018 kehilangan daya ikat.
Sejatinya, titik pangkal berkait mundur/berhenti bagi caleg yang menggunakan partai yang berbeda dengan partai yang diwakili pada pemilu terakhir sepatutnya dialamatkan dan menjadi kewajiban kepada partai politik. pengecualiannya jika terdapat fakta tidak tersedia lagi calon yang termuat pada DCT pemilu terakhir.
Dapat dipastikan ketika seseorang mencalonkan diri dengan menggunakan partai berbeda dengan partai yang diwakili pada pemilu terakhir, maka sudah cukup alasan bagi partai politik aquo untuk memberhentikannya.
Menggunakan partai yang berbeda dengan partai yang diwakilinya pada pemilu terakhir, maka dapat dipastikan caleg bersangkutan menjadi anggota partai politik aquo sebagai syarat mencaleg, yang mutatis mutandis meninggalkan partai politik awal yang diwakilinya.
Oleh karenanya, menurut penulis pengaturan syarat mendapatkan pemberhentian dari pejabat yang berwenang sebagaimana kehendak PKPU 20/2018 menjadi tidak perlu keberadaannya, karena hanya akan menjadi sia-sia (muspro).
Toh, awal dan akhirnya akan berpulang pada kehendak (will) partai yang diwakili oleh caleg aquo. Apakah akan mengusul pemberhentiannya atau sama sekali tidak akan menarik caleg aquo dan tetap membiarkannya mewakili partainya. Kedati pemberhentiannya telah mendapatkan pengesahan (legalisasi) dari pejabat yang berwenang.
Jalan Keluar
Apresiasi patut diberikan kepada KPU RI yang memberikan syarat mengundurkan diri sebagai syarat mencalon bagi mereka yang menggunakan partai berbeda dengan partai yang diwakilinya pada pemilu terakhir, dalam bingkai memperkuat moral politik calon.
Namun, memberikan syarat tambahan harus dengan bukti surat pemberhentian atau setidak-tidaknya tanda terima pemberhentian aquo sedang terproses oleh pejabat yang berwenang, dalam faktanya potensial disalah gunakan, atau menjadi tidak berguna sama sekali ketika partai politik yang diwakili pada pemilu terakhir tidak mau menarik-mengganti antar waktu caleg aquo.
Sebagai jalan keluar dimasa mendatang, penulis memberikan solusi yakni: pertama, syarat pemberhentian seyogyanya tidak perlu dimasukkan menjadi salah satu syarat tambahan-sempurnanya pengunduran diri untuk kepentingan penetapan DCT, karena pengunduran diri secara tegas tidak dapat ditarik kembali.
Oleh karena pengunduran diri tak dapat ditarik kembali, maka cukup diberikan kewajiban tambahan kepada KPU untuk meneruskan pengunduran diri aquo kepada instansi/pejabat yang berwenang untuk memberhentikan sementara hak-hak calon sampai adanya keputusan pemberhentian dari pejabat yang berwenang.
Kedua, perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan, khususnya mengenai proses pemberhantian karena alasan mengundurkan diri. Dalam batas waktu yang ditentukan, jika pengunduran diri tidak diproses oleh Pejabat yang berwenang, maka pengunduran diri aquo secara mutatis mutandis berlaku, kecuali terhadap syarat-syarat yang dikecualikan, misalnya tidak tersedia lagi DCT pada pemilu terakhir untuk mengganti yang bersangkutan dalam proses pengganti antar waktu (PAW).
Ketiga, Jika kekhawatiran pembentuk regulasi caleg aquo kembali kepada posisi semula, maka jalan keluarnya bukanlah memberikan syarat adanya bukti surat pemberhentian/bukti surat pemberhentiannya sedang terproses. Menjadi tugas KPU untuk menerus-pastikan pengunduran diri aquo tertembuskan kepada instansi/pejabat yang berwenang, agar yang bersangkutan segera diberhentikan hak-haknya dari jabatan/status semula dan terproses pemberhentiannya.
Keempat, partai politik sebagai pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atas kursi yang dimiliki yang diwakili oleh mereka yang mencalon dengan menggunakan partai berbeda, namun tidak menindak lanjuti pengunduran diri aquo, kedepan perlu dirumuskan pemberian sanksi kepada partai politik aquo. Solusi ketiga ini dalam kerangka memperkuat komitmen bersama berkait moral dan etika politik dalam konteks berdemokrasi.
Oleh: Baron Harahap
Penulis: Alumni Fakultas Hukum Universitas Haluoleo