Dua Kebenaran Sejati atau Kebenaran Hakiki (Dalam Satu Proses Tindak Pidana Korupsi)

Andi Sumangelipu Makkuradde

Beberapa tahun lalu sekitar awal tahun 80-an hal ini pernah dikemukakan oleh Prof Dr dr Andi Husni Tanra, sebagai pemandu acara dalam suatu acara seminar yang dihadiri oleh beberapa dokter dosen Senior Fakultas Kedokteran UNHAS.

Setelah kami (penulis dan DR AS Alam) selesai membacakan makalah, Andi Husni Tanra sebagai moderator langsung berkomentar: “Sungguh enak didengar ilmu hukum yang dipaparkan oleh kedua pembicara tadi, tapi sayang ilmu hukum itu tidak punya kepastian, buktinya pengacara sarjana hukum alumni UNHAS, jaksa sarjana hukum alumni UNHAS dan hakim sarjana hukum yang juga alumni UNHAS, tetapi berbeda pendapat tentang kasus yang sama.”

Oleh DR A.S. Alam, penulis ditugaskan menjawab pernyataan moderator, lalu penulis jawab bahwa kalau ilmu hukum tidak punya kepastian, itu merupakan hal yang wajar, karena ilmu hukum sebagai ilmu yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam masyarakat yang begitu dinamis atau selalu bergerak. Akan tetapi, kalau ilmu kedokteran atau ilmu teknik yang tidak memberi kepastian itu berarti ilmu pasti yang tidak pasti buktinya jembatan yang menghubungkan gedung Sarinah dengan gedung Jakarta Theater ambruk sebelum waktunya. Di bidang kedokteran juga begitu, suatu waktu penulis pernah oleh seorang dokter divonis usus buntu akut yang harus segera dioperasi keesokannya mungkin karena penulis datang dengan mengendarai sepeda kepada penulis dokternya cuma beri obat cacing.

Sebenarnya jawaban penulis itu tidak kena sasaran tentang Kepastian Hukum, sekarang barulah penulis sadari setelah banyak orang datang konsultasi yang pada umumnya mengeluh, “Pak kenapa saya ini dipanggil penegak hukum, padahal sepeser pun uang negara tidak ada saya kantongi, saya tidak mencuri uang negara”, bahwa kritikan Prof.DR. dr. Andi Husni Tanra itu, tentang ketidakpastian hukum dalam penerapannya itu benar. Dalam keadaan ketidakpastian hukum berakibat dalam praktik sehingga ada orang dilibatkan dalam perkara tipikor sebenarnya dia koruptor, tapi bukan penjahat, karena sepeserpun tidak mencuri uang negara.

Akan tetapi, kenyataannya ia dijatuhi pidana empat tahun, sedang orang yang mencuri uang negara miliaran rupiah cuma dipidana satu tahun penjara, meskipun sebenarnya dialah koruptor sekaligus panjahat. Seharusnya dibedakan antara koruptor dan pencuri uang negara, seorang koruptor belum tentu pencuri (uang negara), tetapi pencuri uang negara pasti seorang koruptor dan dialah yang seharus digelar penjahat.

Dalam praktik penerapan hukum pidana seringkali seorang pelaksana proyek terjerat perkara tipikor, padahal tindakannya justru kalau ditinjau dari segi ilmu ekonomi tindakan yang dia lakukan menguntungkan negara, misalnya dalam hal pembebasan lahan telah disepakati harga tanah Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) permeter persegi dan antara pemilik lahan dan Pejabat Pembuat Komitmen disingkat PPK telah dibuat kontrak Pengikatan Jual Beli tiba-tiba pemilik lahan meninggal dunia.

Kalau terjadi keadaan yang demikian, maka lahan itu jatuh kepada ahli waris yang namanya harus tercantum dalam surat penetapan ahli waris yang dikeluarkan oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama di mana lahan itu berada. Kalau keadaan seperti itu terjadi pada akhir bulan Desember sebagai akhir tahun anggaran, supaya anggaran itu tidak hangus, maka biasanya PPK mengambil kebijakan dengan cara membuat Berita Acara mengeluarkan uang proyek yang masih ada di kas negara dan dimasukkan kesalah satu bank milik negara dengan pemikiran bahwa uang itu tetap milik negara, karena bank itu milik negara, dan uang itu akan bertambah dengan adanya bunga bank yang akan disetor ke kas negara dan keuntungan lainnya.

Selain bertambahnya uang yang akan disetor kekas negara setiap bulan sebagai bunga bank dan adanya uang itu di bank negara akan terpakai sebagai pendorong roda perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat , yang sangat penting harga tanah yang telah disepakati tidak akan naik. Pemikiran para anggota PPK itu didasari pengetahuannya tentang Azas Legalitas yang menjamin adanya kepastian hukum yaitu dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Selanjutnya mereka mencari pasal pidana tentang pengertian perbuatan mencuri menurut ilmu hukum pidana ditemukannya dalam pasal 362 KUHP tentang Pencurian pasal itu berbunyi: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain “(catatan penulis mis. kepunyaan negara)”, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun…dst.

Secara pasti mereka yakin bahwa mereka tidak mencuri uang negara sepeser pun, lalu dibuatnya kebijakan dengan keyakinan perbuatannya itu menguntungkan negara yang sesuai dengan cita cita kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dikeluarkannya tipikor dan pidana khusus lainnya dari KUHP yang berisi asas legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, maka dalam praktik lahirlah ketidakpastian hukum dalam hukum pidana dan kemungkinan hukum pidana khusus telah menjadi alat tauran para politisi. Para politisi sebaiknya berhenti saling mencari dosa, karena tiada seorang anak manusia yang luput dari dosa, buktinya setiap orang yang selesai salat atau sembahyang apapun agamanya pasti kalau berdoa telapak tangannya menghadap ke atas hal itu berarti memohon agar dosa-dosanya diampuni.

Akan tetapi, dengan ditangkapnya PPK dan disitanya uang di Bank milik negara itu semuanya berantakan, proyek pembebasan tidak jalan dan sewaktu tahun berikutnya proyek itu akan dilanjutkan, harga tanah sudah melonjak menjadi Rp3.500.000,-(Tiga juta lima ratus ribu rupiah) permeter persegi atau selisih Rp3.400.000,-permeter persegi, jadi untuk lahan tanah satu hektare (10.000 meter persegi) ada selisih harga Rp34.000.000.000,-yang pemerintah harus keluarkan untuk kelanjutan proyek tersebut.

Kesimpulannya andai kata PPK tidak ditangkap, maka proyek tetap jalan dan uang negara untuk membebaskan lahan sepuluh ribu meter persegi (satu HA) harganya hanya satu miliar dan ditambah setiap bulan bunga bank, tetapi dengan ditangkapnya PPK, selain proyek tersendat, juga negara harus mengeluarkan uang Rp35.000.000.000,- tiga puluh lima miliar) pembebasan lahan per HA dan tidak ada tambahan dari bunga bank, kalau proyek itu dilanjutkan.

Dari uraian penulis tersebut di atas jelas terpapar adanya dua kebenaran sejati atau kebenaran materiel. Pertama, kebenaran materiel yang dikemukakan Jaksa Penuntut Umum, bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan pidana korupsi, karena pada saat uang negara keluar dari kas negara, pada detik itu telah terjadi delik korupsi yang dilakukan terdakwa;

Kedua, kebenaran materiel yang dikemukakan oleh terdakwa, bahwa kebijakan yang dilakukannya itu menguntungkan negara. Akhirnya, penulis mempersilakan pembaca menilai mana yang sesuai dengan Pembukaan UUD 45, bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini suatu kenyataan bahwa tidak semua koruptor itu penjahat.

Argumen Jaksa Penuntut Umum dan argumen Terdakwa/Penasihat Hukum, merupakan dua garis lurus yang sejajar yang ujungnya tak akan pernah bertemu, Hakimlah yang akan memilih. (*)

Oleh:

Andi Sumangelipu Makkuradde

Pensiunan dosen UNHAS

Sumber Artikel: Opini Fajar Online

You may also like...