Duka Pahlawan Demokrasi yang tidak Berujung

Sumber Gambar: indonesiainside.id
PERBINCANGAN tentang para petugas pemilu yang menjadi korban (pahlawan demokrasi) terus bergulir. Itu terjadi tidak hanya karena jumlahnya yang banyak dan terus bertambah, tetapi juga area perbincangannya makin lebar. Pelebaran area ini tentu saja membuat duka yang dialami para pahlawan demokrasi seperti tidak ada ujungnya.
Misalnya, di DPR sempat muncul wacana pembentukan Pansus Pemilu 2019, walaupun kemudian kelihatannya meredup. Muncul juga adanya wacana pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) untuk menelusuri jatuhnya korban, khususnya yang meninggal. Bahkan, ada pihak yang mengusulkan peristiwa ini ditetapkan sebagai Kondisi Luar Biasa (KLB).
Salah satu isu yang menyedot perhatian ialah adanya dugaan kematian atau sakit karena diracun. Isu ini menarik perhatian publik karena dikaitkan dengan dugaan adanya kecurangan pelaksanaan pemilu sehingga ada usulan untuk melakukan autopsi.
Kementerian Kesehatan langsung menanggapi dugaan ini dengan melakukan kajian. Sejauh ini, belum ditemukan penyebab kematian karena racun atau diracun. Data menunjukkan, tidak ada korban meninggal karena kelelahan. Ditemukan 13 jenis penyakit yang menyebabkan meninggalnya para petugas di lapangan.
Kelelahan bukanlah penyebab tunggal kematian atau sakitnya petugas. Walaupun demikian, diakui bahwa kelelahan merupakan pemicu penyakit yang diderita petugas menjadi parah dan menyebabkan kematian.
Catatan Tentang Santunan
Tidak ada yang salah kalau ada pihak-pihak yang mempersoalkan adanya korban para petugas. Dalam bingkai politik, itu sah-sah saja. Sungguh sangat mulia juga kalau dilatari oleh adanya perhatian pada mereka yang jadi korban, bukan sekadar politisasi korban.
Namum, ada hal lain yang perlu dipikirkan juga. Derasnya gonjang-ganjing isu kematian para petugas pemilu jangan sampai kita lupa memikirkan nasib keluarga yang ditinggalkan, korban yang mengalami cacat total, dan mereka yang sedang dalam perawatan. Isu keracunan jangan sampai menutup mata kita untuk melihat, apakah santunan yang menjadi hak mereka sudah memadai sesuai ketentuan yang berlaku.
KPU dan Bawaslu sudah memutuskan pemberian santunan dalam beberapa jenis: meninggal Rp 36 juta per orang, cacat permanen Rp 30,8 juta per orang, lalu luka berat Rp 16,5 juta per orang, dan luka sedang Rp 8,25 juta per orang. Terkait dengan hal ini, dalam tulisan saya di Media Indonesia (26/4/2019) telah dibahas tentang acuan regulasi pemberian santunan.
Mengacu pada regulasi tersebut, ada beberapa catatan tentang santunan yang diberikan. Pertama, santunan sebetulnya tidak selalu dalam bentuk uang (lump sum), tetapi juga dalam bentuk biaya perawatan. Dalam ketentuannya, biaya perawatan nilainya at cost. Berapapun biayanya, harus ditanggung.
Jenis santunan luka ringan dan luka berat yang diberikan sepertinya dialokasikan untuk biaya perawatan ini. Hanya, nilainya sudah ditetapkan sejak awal dan secara lump sum. Risikonya, kalau biaya perawatannya melebihi jumlah yang diberikan, tentu kelebihannya menjadi tanggungan petugas.
Itu tentu menambah beban korban. Makin tinggi kekurangannya, makin berat beban uang harus dipikul. Sebaliknya, kalau jumlahnya lebih dari biaya perawatan, itu menjadi bonus bagi korban.
Kedua, istilah ‘luka ringan’ dan ‘luka berat’ sebetulnya digunakan dalam konteks fisik, seperti kecelakaan lalu lintas atau kekerasan fisik saat menjalankan tugas. Dalam JKK, yang dilihat ialah biaya perawatannya, bukan jenis lukanya. Kalau kecelakaan fisik kemudian menyebabkan kecacatan, ada pos tersendiri, dipisahkan dari pos biaya perawatannya.
Di samping itu, penentuan apakah korban masuk kategori luka ringan atau luka berat juga tidak mudah. Hal itu bisa menimbulkan polemik tersendiri. Bahkan, hal ini bisa memberi peluang terjadinya penyalahgunaan dana. Misalnya, yang mestinya luka ringan, tetapi dimasukkan sebagai luka berat. Mengukur biaya perawatan lebih mudah ketimbang mengukur ringan beratnya luka yang dialami korban.
Ketiga, dalam kenyataannya, ada sejumlah petugas yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaan tempat kerjanya. Untuk petugas ini, santunannya menjadi tanggungan BPJSK, bukan KPU atau Bawaslu. Kecuali kalau KPU dan Bawaslu ingin memberikan tambahan.
Hadirnya BPJSK ini menjadi pelajaran ke depannya. Jika para petugas Pemilu diikutkan BPJS, iuran petugas yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS tidak perlu lagi menjadi beban KPU dan Bawaslu.
Peran Pemda dan Masyarakat
Di lain pihak, ada juga pihak yang memiliki kepedulian meringankan duka para korban, yaitu pemda dan masyarakat. Sejumlah pemda memberikan bantuan, baik dana santunan maupun menangani biaya perawatan. Hanya saja, tidak semua pemda memiliki kepedulian yang sama.
Perhatian pemda ini menunjukkan, bahwa pemda bisa diajak kerja sama menanggung beban pembayaran iuran BPJS para petugas pemilu. Pemda bisa berkontribusi melalui cost sharing membayar iuran sehingga beban iuran tidak semuanya ditanggung KPU dan Bawaslu.
Sebagaimana disampaikan pihak KPU, usulan mengasuransikan para petugas yang sekarang ini sudah ada. Namun, tidak disetujui dengan pertimbangan beban anggaran terlalu besar. Di sinilah pemda bisa dilibatkan.
Inisiatif sekelompok masyarakat untuk menggalang dana patut juga diapresiasi. Ini menunjukkan tingginya solidaritas dan kepedulian sosial masyarakat Indonesia. Alangkah lebih baik kalau dananya diserahkan ke KPU dan Bawaslu untuk menyalurkan kepada mereka yang sangat membutuhkan. Sebagaimana disampaikan tadi, tidak semua pemda memiliki kepedulian terhadap tragedi yang dialami petugas pemilu di daerahnya. Dana dari masyarakat ini bisa dialokasikan ke daerah seperti ini.
Di samping itu, pengumpulan dana ini juga harus memperhatikan regulasi yang berlaku dalam pengumpulan dana masyarakat. Pengumpulan dana tentunya harus mengacu pada UU No 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan PP No 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, serta Keputusan Menteri Sosial No 56/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat. Regulasi itu bukan untuk membatasi, melainkan menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas.
Oleh:
Ferdinandus S Nggao
Kepala Kajian Kebijakan Sosial LM-FEBUI
Opini Media Indonesia, 17 Mei 2019