Alasan Aneh Diskon Hukuman Edhy Prabowo

Sumber Gambar: klikanggaran.com
Majelis hakim agung mendiskon hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, dengan alasan tak substansial. Komisi Yudisial perlu menyelidikinya.
Mahkamah Agung akhir-akhir ini terkesan menempatkan terpidana kasus korupsi sebagai korban. Lembaga hukum tertinggi itu pun mendiskon hukuman para koruptor dengan alasan absurd. Pengurangan hukuman Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, pada Rabu, 9 Maret 2022, merupakan contoh mutakhir kecenderungan itu.
Di pengadilan pertama, Edhy dihukum 5 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti menerima suap hingga Rp 25 miliar lebih dari para pengusaha pengekspor benur. Hakim pun mencabut hak politik mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerinda itu selama tiga tahun. Putusan tersebut dikuatkan pengadilan tinggi, yang menambah hukuman Edhy menjadi 9 tahun. Edhy lantas mengajukan kasasi. Ajaib, majelis hakim agung memotong hukuman itu dengan alasan yang “sungguh manusiawi”. Meski Edhy menerima miliaran duit ilegal, majelis menyatakan ia “bekerja baik dan memberikan harapan besar kepada masyarakat”.
Majelis hakim agung yang terdiri atas ketua Sofyan Sitompul dan anggota Gazalba Saleh serta Sinintha Yuliansih Sibarani, beralasan bahwa Edhy memberikan harapan besar kepada nelayan. Sebab, Menteri Edhy membuka kembali ekspor benih lobster alias benur yang sempat ditutup pendahulunya, Susi Pudjiastuti. Edhy mungkin saja memberikan harapan kepada nelayan, seperti alasan majelis. Namun, untuk dirinya, ia telah menerima sesuatu yang nyata—bukan lagi harapan—dari para pengusaha: Rp 24,6 miliar dan US$ 77 ribu.
Majelis semestinya memperberat hukuman Edhy karena berlaku korup sebagai pejabat tinggi negara. Selain tidak sesuai dengan fakta, alasan seperti “telah bekerja baik semasa menjabat” sebagai pengurang hukuman, tak menimbulkan efek jera buat penyelenggara negara yang lain.
Hakim tak memakai alasan substantif, seperti terdakwa mengakui dan menyesali kejahatannya. Alasan lain yang bisa digunakan adalah terdakwa membantu penegak hukum membongkar kejahatan yang lebih besar. Edhy Prabowo tak memenuhi kriteria ini. Ia tak mengakui ataupun menyesali kejahatannya hingga vonis dijatuhkan.
Alasan-alasan yang menghina akal sehat telah digunakan hakim untuk mengurangi hukuman koruptor lainnya. Hakim, misalnya, meringankan hukuman mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang dinyatakan terbukti memotong dana bantuan sosial untuk mereka yang terkena dampak pandemi. Alasannya, politikus PDI Perjuangan itu sudah banyak dicaci maki selama masa pengusutan dan persidangan.
Hakim menyingkirkan dampak korupsi Juliari bagi korban sesungguhnya: masyarakat miskin yang menggantungkan hidup-mati mereka pada bantuan negara. Hakim juga memvonis ringan jaksa Pinangki yang terlibat persekongkolan untuk membebaskan terpidana Joko Tjandra. Hakim beralasan, Pinangki merupakan seorang ibu yang harus membesarkan anak-anaknya.
Komisi Yudisial semestinya menyelidiki kejanggalan alasan pengurang hukuman para koruptor ini. Jika para hakim dibiarkan terus mengobral putusan ringan dengan alasan absurd, korupsi akan makin dilihat sebagai kejahatan biasa.
Koran Tempo, 11 MARET 202