Keliru Memahami Hukuman Kebiri
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah disahkan oleh pemerintah, menempatkan hukuman kebiri bagi predator seksual anak sebagai sanksi tindakan.
Tulisan ini tidak bermaksud memihak bagi mereka yang pro atau kontra dengan hukuman kebiri, hanya akan mengulas kalau hukuman kebiri pada sesungguhnya tidak tepat kalau digolongkan sebagai sanksi tindakan.
Kelirunya memahami hukuman kebiri dalam Perppu tersebut, terletak pada dua keadaan: Pertama, sebenarnya hukuman kebiri diadakan untuk menyasar predator seksual yang mana pelaku terbukti sebagai pedofilia, namun dalam ketentuan, ternyata tidak mengatur tentang predator seksual yang tergolong sebagai pedofilia, bahwa kepadanya dapat dikenakan hukuman kebiri. Kedua, jika hukuman kebiri dianggap sebagai efek membuat jera pelakunya, maka kelirulah kalau ditempatkan sebagai sanksi tindakan, oleh karena sanksi tindakan bertolak dari ide untuk memberi pertolongan agar si pelaku dapat berubah.

Sumber Gambar: mediakarikatur.blogspot.com
Pedofilia
Pedofilia adalah gangguan biologis yang berupa gairah seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun. Secara klinis, kita bisa sepakat kalau memang gejala pedofilia, di satu sisi dapat mengancam keamanan anak karena sifat perbutannya sebagai kekerasan seksual, tetapi di lain sisi gejala demikian juga adalah penyakit.
Sehingganya berdasar kalau bagi pelaku kekerasan seksual anak, yang terbukti sebagai pedofilia disembuhkan dari penyakitnya, agar tidak lagi termotivasi melakukan atau mengulang perbuatannya, dengan mengganggu anak-anak yang masih berusia belia.
Senada dengan itu pula, maka kalau memang dimaksudkan pengebirian bagi pedofilia, agar dapat disembuhkan dari penyakitnya, maka pada poin itu menjadi tepat manakalah hukuman kebiri dikualifikasi sebagai sanksi tindakan, sebab sanksi tindakan memang ditujukan untuk merawat sipelaku itu.
Dengan harapan, si pelaku kemudian kalau sudah “dikebiri” bukanlah bertujuan untuk memberikan penderitaan, tetapi justru memberikan “terapi medik” agar dikemudian hari ia dapat kembali menjadi manusia normal.
Pun kemudian, andaikata “kebiri’ dimaknai seperti ini, dengan berangkat dari salah satu sanksi tindakan yang kerap diterapkan dalam sistem peradilan pidana kita, seyogianya sanksi tindakan berupa “kebiri kimiawi” tidak perlu digabungkan dengan pidana pokok, seperti: penjara dan/atau denda. Sebuah penyimpangan dalam prinsip pemidanaan, manakalah seseorang dijatuhi hukuman, lalu kemudian mendapatkan pidana pokok pula. Rehabilitasi bagi terpidana sudah merupakan sanksi alternatif yang telah sejalan dengan “pengebirian” atas si pelaku, karena diharapkan mendapat perawatan intensif sampai ia dianggap sembuh dari penyakitnya itu.
Kelirunya, lagi-lagi Perppu tersebut ternyata lupa untuk menempatkan pelaku kekerasan seksual anak yang tergolong pedofilia agar dikenakan sanksi tindakan berupa kebiri kimiawi. Malah dengan segala kekuarangannya, hanya membuka peluang untuk memberikan hukuman kebiri bagi pelaku residivis delik persetubuhan terhadap anak.
Dan kalau hukuman kebiri diterapkan bagi golongan yang seperti ini, bukan pelaku dari golongan pedofilia. Praktis tujuan hukumannya bukan lagi untuk memberikan perawatan bagi pelaku bersangkutan, malah hanya untuk memberikan efek jera atau penderitaan kepada sipelaku saja.
Sanksi Pidana
Tidak menjadi masalah, hukuman kebiri diterapkan bagi setiap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hanya saja, menjadi keliru kalau dianggap penghukuman demikian sebagai sanksi tindakan.
Orang normal (bukan pedofilia) dipastikan tidak ada penyakit yang memberinya sugesti untuk melakukan kejahatan. Sehingganya, kalau pelaku dikebiri bukan lagi bertujuan sebagai bagian dari pemulihan, melainkan mengganjar perbuatannya dengan penderitaan.
Bahwa perampasan hak terhadap terpidana, diantaranya: perampasan hak untuk berkeluarga dan mendapatkan keturuan berdasarkan perkawinan yang sah, atas nama undang-undang, demi keluhuran dan menjaga ketertiban sosial. Semuanya itu dibenarkan, sepanjang dijalankan dalam on the track-nya.
Tetapi hukuman kebiri yang diklasifikasikan sebagai sanksi tindakan, tidaklah sejalan dengan dasar dan teori pemidanaan itu sendiri. Jika dulunya, setiap kejahatan dianggap sebagai perbuatan yang menggangu perdamaian dan tertib sosial, sehingga kepada setiap penjahat itu dihukum seberat-beratnya. Kondisinya, penghukuman yang seberat-berat itu, dipilihlah hukuman mati, penjara, dan denda.
Lalu dewasa ini, berkembanglah pola penghukuman yang dikatakan lebih beradab. Tanpa menafikan teori yang terkesan kuno, yaitu teori determenisme yang menganggap seorang melakukan kejahatan tidak terlepas dari faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan seseorang. Maka lahirlah, motif pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan merehabilitasi pelaku.
Dengan demikian, mengembalikan Perppu yang menyoal hukuman kebiri tersebut bagi predator seksual anak ke dasar tujuan pembentukannya. Kelak, setelah disetujuai oleh DPR, selanjutnya ditingkatkan menjadi Undang-Undang. DPR jangan hanya berhenti di situ. DPR harus merevisinya dengan menentukan pilihan diantara dua alternatif.
Jika hukuman kebiri dimaksudkan untuk menyasar pelaku pedofilia, maka hukuman demikian sudah tepat sebagai sanksi tindakan, tetapi tambahan ketentuannya, hanya dapat diterapkan bagi predator seksual yang tergolong pedofiia. Sebaliknya, kalau tetap kukuh untuk memukul rata, semua jenis tindak pidana kekerasan seksual anak dengan hukuman kebiri. Mau tidak mau, dewan terhormat kita, dengan memohon sangat kepadanya, mereka seharusnya mengembalikan hukuman kebiri, sebagai sanksi pidana pokok yang bertujuan membalaskan rasa “sakit hati” dari setiap korban dan kerabatnya.