Menegaskan Penolakan Tiga Periode

Sumber Gambar: suara nasional
Pada 21 Mei 1998, selagi orang-orang berkumpul di sekitar radio, mereka akan mendengarkan pidato terakhir Soeharto sebagai Presiden. Salah satu penggalan pidato itu berbunyi: “….saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini…”
Ya, Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun itu akhirnya memutuskan untuk mundur dari jabatannya. Tuntutan publik yang terus meminta dan mendesaknya mundur pada sekitaran tahun itu, tak kuasa ia tahan. Soeharto, yang sudah dicap sebagai pemimpin otoriter itu, “dipaksa” mengalah pada kemauan publik.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden memicu gerakan untuk mengamendemen konstitusi. Selama empat tahun (1999-2002) UUD 1945 diamendemen melalui serangkaian tahapan. Tahap pertama dilakukan pada tahun 1999, tahap kedua pada tahun 2000, tahap ketiga pada tahun 2001, dan tahap keempat dilakukan pada tahun 2002.
Salah satu aturan yang diamendemen pada saat itu adalah aturan mengenai masa jabatan presiden. Sebelum amendemen, aturan mengenai masa jabatan presiden tak memberi batasan yang jelas mengenai periodisasi masa jabatan, sehingga seseorang boleh menjabat sebagai presiden selama ia terus dipilih oleh MPR.
Ketidakjelasan inilah yang dianggap sebagai “biang keladi” munculnya kekuasaan otoriter ala Soeharto. Sehingga, pasca amendemen terhadap Pasal 7 UUD 1945, masa jabatan presiden dibatasi. Yakni, presiden menjabat selama lima tahun dan hanya boleh menjabat kembali hanya untuk satu periode masa jabatan.
Dua puluh tahun lebih pasca kejadian kelam itu, kita seperti ingin kembali pada masa lalu. M. Qodari, Bahlil Lahadalia, Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, dan Airlangga Hartarto secara bergantian mengusulkan untuk menunda Pemilu 2024, sekaligus memperpanjang masa jabatan presiden.
Bayang-bayang masa lalu yang kelam nan pekat ternyata tak membuat pengusul ide ini gentar untuk mengajukan idenya. Bahkan, mereka mengajukan idenya dengan berbagai macam dalih dan argumentasi; krisis ekonomi, kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi yang terbilang tinggi; dan aspirasi pengusaha, petani serta pelaku UMKM.
Bahaya Periode Ketiga
Ketika saya selesai membaca buku yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblat berjudul How Democracies Die, entah mengapa saya acap menemukan bahwa presiden-presiden yang menjabat lebih dari dua periode biasanya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter.
Juan Peron di Argentina, Ferdinand Marcos di Filipina, Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat dan Getulio Vargas di Brazil adalah presiden yang awalnya dicintai rakyatnya, tetapi berakhir menjadi seorang otoriter ketika mereka memilih untuk terus menjabat sebagai presiden di negaranya.
Awalnya memang keinginan terus menjabat itu dilakukan demi rakyatnya. Tapi, begitu kekuasaan sudah di tangan, cinta pada kekuasaan itu seolah tak bisa dihindari. Pelan-pelan hasrat untuk terus berkuasa dan menjadi “raja” yang otoriter di negara demokrasi dimulai dari periode ketiga.
Saking cinta pada kekuasaan, nama yang terakhir (Getulio Vargas) bahkan mengakhiri kekuasaannya secara tragis. Ketika dia diminta mundur dari jabatannya, dia memilih bunuh diri di Istana Presiden, Rio de Janeiro, dengan menembakkan pistol ke bagian kiri dadanya hingga peluru menembus jantung.
Mungkin, bahaya itulah yang disadari Presiden George Washington, Ronald Reagen, dan Rodrigo Dutarte ketika mereka menolak periode ketiga atau memperpanjang masa jabatannya. Saat orang-orang mendorong George Washington untuk menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat untuk periode ketiganya, ia menolak.
Kemudian, pada 1988, Ronald Reagen yang menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat juga memilih mengakhiri jabatannya ketimbang menerima usul periode ketiga. Kendati usul itu didorong oleh rakyat yang mencintainya.
Bahkan, penolakan yang lebih tegas datang dari seorang Rodrigo Dutarte ketika dia menjabat sebagai Presiden Filipina. Saat dia disodorkan pilihan untuk memperpanjang masa jabatannya, dia berkata: “saya lebih memilih ditembak mati ketimbang memperpanjang masa jabatan.”
Menegaskan Penolakan
Pada Desember 2019, Presiden Jokowi pernah secara terang-terangan menyatakan sikap menolak usul memperpanjang masa jabatan presiden. Saat itu, ia secara keras menolak ide memperpanjang masa jabatan presiden.
Di Istana Negara, ia mengatakan: “Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu satu, ingin menampar muka saya. Kedua ingin cari muka. Padahal saya sudah punya muka, dan ketiga ingin menjerumuskan.”
Tapi, saat Presiden Jokowi mengatakan itu, ide memperpanjang masa jabatan presiden tak jelas asal muasalnya. Entah siapa yang mengusulkan dan mengapa ide itu sampai muncul di ruang publik. Kita saat itu hanya menikmati “hidangan” wacana periode ketiga, tanpa tahu siapa kokinya.
Sementara, situasinya saat ini berbeda. Orang-orang di lingkaran Presiden Jokowi jelas-jelas menjadi koki yang “menghidangkan” wacana periode ketiga. Posisinya, mereka sangat punya kekuasaan yang konstitusional untuk memperpanjang masa jabatan presiden, sekaligus menunda Pemilu 2024 melalui amendemen konstitusi.
Karena itu, Presiden Jokowi harus menegaskan kembali sikapnya: menolak atau menyetujui usul itu. Tak bisa ia hanya berkata tunduk dan patuh pada konstitusi, karena kalimat yang belakangan diucapkannya ini sangat politis dan tak begitu jelas menunjukkan sikapnya.
Okelah, saat ini konstitusi tidak mengizinkan periode ketiga bagi presiden. Konstitusi juga tak memperbolehkan presiden menjabat lebih dari lima tahun untuk satu periode masa jabatan. Dan, pemilu wajib digelar lima tahun sekali, tak boleh diundur-undur.
Tapi, bagaimana jika kondisinya konstitusi diubah oleh orang-orang di lingkaran Presiden Jokowi demi memuluskan ide memperpanjang masa jabatan presiden dan menunda Pemilu 2024? Apakah Presiden Jokowi juga akan tunduk pada aturan perpanjangan masa jabatan presiden yang diubah itu?
Jika serius menolak ide perpanjangan masa jabatan presiden sekaligus menunda pemilu, saya menyarankan Presiden Jokowi untuk membuat pakta integritas tentang penolakan itu bersama seluruh ketua umum parpol koalisinya.
Pakta integritas bukan sekadar perjanjian yang dibuat bersama. Lebih dari itu, pakta integritas akan menunjukkan dan menegaskan komitmen Presiden Jokowi bersama parpol koalisinya untuk menolak ide perpanjangan masa jabatan presiden sekaligus menunda pemilu.
Oleh:
Rino Irlandi; alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
DETIKNEWS, 10 Maret 2022
Sumber:
https://news.detik.com/kolom/d-5976918/menegaskan-penolakan-tiga-periode.