Noodweer-(Exces)

DR AMIR ILYAS, SH., M.H. (DOSEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNHAS)

Pada hari Jumat, 18 Maret 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili kasus insiden Tol Jakarta Cikampek KM 50 atas perkara unlawfull killing terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI). Berikut, dengan terdakwa Ipda M. Yusmin Ohorello dan Briptu Fikri Ramadhan, keduanya telah dijatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dengan alasan adanya penghapus pidana berupa alasan pembenar karena pembelaan terpaksa (noodweer, notwehr, legitimi defence) dan alasan pemaaf karena pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces).
Baik pembelaan terpaksa atau hak perlawanan (Mr. Karni:1950) maupun pembelaan terpaksa melampaui batas, eksistensinya sudah ada sejak dahulu, bahkan bisa dikatakan sebagai fenomena yang sama tuanya dengan usia dunia (Remmelink: 2003). Di zaman kuno, alasan penghapus pidana ini tidak diberikan pengakuan, karena terikat dalam postulat kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan (vim vi repellere licet).
Dalam perkembangannya kemudian, postulat tersebut ditinggalkan dengan dalih penegakan hukum oleh penguasa demi ketertiban umum. Dengan alasan ini menjadi rasional, bahwa dalam hal negara berikut dengan organ-organnya tidak mampu lagi memberikan perlindungan, padahal ada kebutuhan mendesak untuk melindungi diri, maka tindakan menjadi hakim sendiri diakui keabsahannya (J.E Jonkers: 1946, Remmelink: 2003, Sianturi: 1986, Hiariej: 2014). Oleh karena itu, berlakulah prinsip moral berkenaan dengan bela paksa diantaranya: (ii) Tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan paksa dijatuhi pidana (non scripta sed nata lex); (ii) Pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman, namun tidak demikian dalam perkara perdata (necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus). Demikian juga dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikenal asas yang menyatakan, tindakan atas suatu serangan yang bersifat profokatif, dimaafkan (non tam ira, quam causa irae excusat).
Dalam kasus pembunuhan enam laskar FPI pada 7 Desember 2020 kemarin, ternyata oleh majelis hakim yang mengadili perkara kedua terdakwa anggota kepolisian itu mengkonstruksi dua korban yang terbunuh (Lutfi Hakim dan Andi Oktiawan) sebagai tindakan terdakwa melakukan pembelaan terpaksa. Sementara empat laskar FPI lainnya (Muhammad Reza, Ahmad Sofyan alias Ambon, Faiz Ahmad Syukur dan Muhammad Suci Khadavi) yang juga terbunuh, kepada terdakwa dianggap telah bertindak dalam kapasitas pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Dari kasus ini, sesungguhnya sudah dapat terlihat perbedaan antara pembelaan terpaksa dengan pembelaan terpaksa melampaui batas. Dalam pembelaan terpaksa berlaku prinsip proporsionalitas antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar, seimbang antara pembelaan diri dengan serangan yang dihadapi (Tresna:1959, Moeljatno:1989). Sedangkan dalam pembelaan terpaksa melampaui batas dikesampingkan keseimbangan dimaksud, melebihi dari pembelaan dengan serangan yang dihadapinya karena adanya keguncangan jiwa yang hebat (hevige gemoedsbeweging) baik berupa asthenische affecten (kecemasan, rasa takut, atau ketidakberdayaan) maupun sthenische affecten: kemarahan, kemurkaan, atau ketersinggungan (S. Kartanegara: -). Atau dengan kata lain, pada noodweer, sipenyerang tidak boleh ditangani atau dipukul lebih daripada maksud pembelaan yang perlu, sedangkan pada noodweerexces, pembuat melampaui batas-batas pembelaan darurat karena keguncangan jiwa yang hebat (Z.A. Farid: 2008)
Pada perkara pembunuhan yang pertama untuk dua laskar FPI tersebut, dianggap tindakan terdakwa masih seimbang bentuk pembelaan terpaksanya, karena ada ancaman serangan nyata yang terjadi seketika itu juga. Dalam keadaan anggota FPI yang duduk di depan membuka kaca mobil dan menodongkan senjata ke arah mobil yang ditumpangi terdakwa, sesaat itu juga teman kedua terdakwa, Ipda Elwira Priadi (alm) melepaskan peluru secara terarah dan mematikan kepada mobil Chevrolet spin abu-abu milik anggota FPI. Termasuk salah satu terdakwa juga turut melakukan penembakan dengan senjata api ke arah penumpang yang berada di atas mobil anggota FPI yang duduk di jok tengah dengan jarak tembak kurang lebih 1 meter.
Hal yang menjadi perdebatan dalam pembelaan terpaksa ini, mengapa terdakwa melakuan penembakan ke anggota FPI yang tidak ada serangan nyata kepadanya? Mengapa bukan pada anggota FPI yang menodongkan senjata saja yang ditembak oleh terdakwa? Oleh karena itu, jika demikian kejadiannya maka lebih tepatlah kiranya pada kejadian pembunuhan yang pertama ini dikonstruksi juga sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam keadaan berjarak seseorang sedang ditodong senjata, pastinya berada dalam keadaan takut, cemas akan keselamatan jiwa, sehingga pembelaannya sudah pasti tidak lagi dalam pikiran yang matang untuk menghindar dari orang yang nyata-nyata menyerangnya.
Satu lagi, mengapa pembelaan terpaksa tersebut dianggap patut, padahal kepada terdakwa bisa saja melarikan diri jika ditodong senjata? Tidak semuda itu rasionalisasinya, sebab selain terdakwa dalam kapasitas menjalankan tugas (Schaffmeister, et.all:1995, dalam kasus kematian Meta Hofman, HR 1-3-1983), melarikan diri tidak tercakup dalam pembelaan terpaksa, karena buat apa ada pembelaan terpaksa kalau orang nyatanya bisa melarikan diri (Pompe: 1959, H. Suringa: 1973).
Terakhir, mengenai kematian empat laskar FPI yang sudah berada dalam mobil Xenia milik kepolisian terdakwa, dengan tujuan awal untuk dibawa ke Markas Polda Metro Jaya. Namun tetiba salah satu anggota FPI menyerang dan merebut senjata petugas dengan mencekik, menjambak, dan menarik tangan terdakwa, demikian sudah jelas sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Terdakwa dalam keadaan itu, sedang mempertahankan senjata, hendak menyelamatkan diri dengan menggunakan upaya bela diri yang berlebihan karena mengalami guncangan jiwa yang hebat.*

Oleh:

Amir Ilyas
Dosen Ilmu Hukum Unhas

You may also like...