Efek Jera Vonis Mati

Sumber Gambar: purnawarta.com

VONIS hukuman pidana penjara seumur hidup ternyata belum cukup buat Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 13 santriwati. Sebagai konsekuensi atas kebiadabannya itu, dia kini dijatuhi hukuman mati.

Adalah Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memperberat hukuman Herry. Dalam putusan yang dibacakan Senin (4/4), majelis banding yang diketuai Herry Swantoro mengabulkan pengajuan banding jaksa atas putusan di tingkat pertama.

Dalam putusan di Pengadilan Negeri Bandung, Herry divonis pidana seumur hidup. Dia juga harus membayar restitusi sebesar Rp331 juta, tetapi pembayarannya dialihkan ke negara. Vonis itu dinilai belum maksimal, terlebih untuk urusan restitusi, negara pula yang harus menanggung.

Putusan itu lantas dikoreksi pengadilan tinggi. Hukuman pidana diperberat menjadi hukuman mati, pembayaran restitusi untuk para korban menjadi kewajiban Herry. Untuk membayar restitusi, aset milik terpidana dirampas oleh negara. Begitulah semestinya. Dia yang berbuat bejat, dia pula yang sepenuhnya bertanggung jawab.

Hukuman mati di negeri ini memang masih sarat kontroversi. Tidak sedikit yang kontra dengan hukuman itu karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia. Hidup ialah hak paling dasar manusia dan tidak ada manusia lain yang berhak mencabut, apa pun alasannya. Ia menjadi hak prerogatif Tuhan. Begitu salah satu alasan mereka.

Namun, yang prohukuman mati juga banyak. Di Indonesia, hukuman mati juga masih merupakan hukum positif. Artinya, ia tak masalah untuk diterapkan.

Karena merupakan hukum positif, vonis mati untuk Herry tak perlu dipersoalkan. Majelis banding tentu juga tak asal mengetok palu putusan. Ada pertimbangan kuat, sangat kuat, hingga mereka memutuskan hukuman maksimal itu.

Menurut majelis, kejahatan Herry termasuk kejahatan paling serius, the most serious crime. Dalam hukum internasional, tindak pidana itu merupakan perbuatan keji dan kejam serta mengguncangkan hati nurani kemanusiaan.

Saat melakukan kejahatan yang sangat serius itu, Herry juga memenuhi unsur kesengajaan. Unsur ini bahkan dilakukan secara sistematis sehingga menimbulkan akibat-akibat yang sangat serius. Karena itu, negara harus menyikapinya dengan sangat serius.

Vonis hukuman mati untuk Herry ialah pesan yang jelas, sangat jelas, bagi penjahat seksual. Vonis itu merupakan sikap tegas negara, juga peringatan keras bagi para pedofil dan calon-calon pedofil untuk tidak melakukan kebiadaban.

Vonis mati buat Herry ialah pemenuhan kewajiban negara untuk menghadirkan efek jera. Diharapkan, mereka yang ingin berlaku seperti Herry mengurungkan niat jahatnya jika masih sayang pada nyawa.

Tentu, efek jera tak cukup hanya dengan menghukum mati Herry seorang. Hukuman maksimal mesti konsisten ditimpakan pada kasus-kasus yang sama. Masih sangat banyak perkara serupa.

Pemerkosaan terhadap anak pun menjadi tren yang buruk, tren yang harus segera dihentikan. Kita jelas tak ingin para predator seks bergentanyangan melampiaskan nafsu kebinatangan mereka. Kita tentu tak mau anak-anak terus menjadi korban serta kehilangan masa kini dan masa depan.

Negeri ini dalam situasi darurat kejahatan seksual. Para predator tak lagi kenal latar belakang. Pendidik atau ahli agama yang sewajibnya menjadi teladan moral dan kebajikan tak sedikit yang mengumbar kesesatan. Herry Wirawan salah satu contohnya.

Dalam situasi seperti itu, peran negara yang lebih optimal amatlah menentukan. Tidak memberi toleransi kepada penjahat seks dengan menghukum mereka tinggi-tinggi ialah kemestian. Pengesahan payung hukum yang komprehensif dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual pun mesti disegerakan.

Sumber : https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2617-efek-jera-vonis-mati

You may also like...