Critical Legal Study
Sejak berakhirnya era hukum modern. Perkembangan pemikiran dalam aliran ilmu hukum dianggap mencapai puncaknya setelah realisme hukum melakukan banyak observasi terhadap kaidah-kaidah sosial yang menjadi perhatian dalam struktur masyarakat. Realisme hukum menganggap dirinya sebagai “gerakan” bukan aliran (baca: mazhab), karena banyak melakukan studi untuk mendekatkan hukum dan masyarakat, maka dalam critical legal study term “gerakan” dipoles lebih sempurna melalui cara pandang critical legal study agar tidak memandang hukum, perundang-undangan sebagai sesuatu hal yang sempurna (perfect). Sehingga critical legal study sebagai gerakan lebih pantas juga disebut “critical legal movement”.
Berangkat dari pemikiran dan gejolak sosial, critical legal study dipengaruhi oleh tiga pilar: ajaran kiri baru mazhab Frankfurt, ajaran postmodern dan ajaran realism hukum. Ajaran yang ditegaskan melalui criticical legal study didominasi oleh krtik terhadap metanarasi-metanarasi yang mengagungkan objektivisme, formalisme dan positivisme.
Oleh karena aliran critical legal study dipengaruhi oleh ajaran kiri, maka aliran ini melakukan study terhadap ketidakpercayaan aturan, perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Legislatif merancang undang-undang dipengaruhi oleh dua kepentingan antara relasi kuasa dan pasar (ekonomi). Dalam perundang-undangan kemudian sengaja diciptakan bahasa perundang-undangan yang “bias”, dan dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan penguasa. Hakim menafsirkan pasal-pasal berdasarkan kehendaknya sendiri. Karena bagi critical legal study, seorang hakim sulit dilepaskan dari pengaruh dan gejala politik serta psychologys ketika menjatuhkan putusan dalam perkara di pengadilan.
Pemikiran critical legal study sulit dilepaskan dengan Mazhab kritis di Era Frankfrut. Sebagaimana yang diakui sendiri oleh Roberto M. Unger (1983: 109) bahwa antara teori dan praktik dari aliran critical legal study hanya mempunyai hubungan yang sangat renggang dan sporadic. Hal ini telah merupakan ciri dari gerakan kiri modern dalam hukum. Dari sudut teoritis aliran critical legal study ini lebih merupakan kritik terhadap objektivisme dan formalisme.
Kesalahan dari objektivisme, terlalu menaruh kepercayaan terhadap materi hukum yang berlaku yaitu berupa undang-undang, kasus, dan cita hukum yang dapat diterima oleh masyarakat dapat mempertahankan hubungan kemanusiaan masyarakat. Padahal yang terjadi malah undang-undang tersebut dimanipulasi saja untuk kepentingan ekonomi dan penguasa semata, karena terbukti undang-undang lahir hanya menekan kelompok minoritas dan menciptakan keterpecahan solidaritas dalam masyarakat itu. Seperti gaji buruh yang ditekan rendah melalui pencipataan regulasi anatara pemerintah dan penguasa.
Tesis selanjutnya yang digemborkan oleh formalisme hukum adalah doktrin-doktrin yang dibuat melalui metode analisis yang dibatasi secara ketat dan steril dari pengaruh politik. Namun dalam proses penerapan hukum itu sulit dihindari oleh unsur “kreativitas”. Ketika hukum, doktrin dipengaruhi oleh kreativitas maka dasar berpijaknya jauh lebih kontroversial dan implikasinya sangat kurang batasannya.
Dua hal yang ditekankan oleh teori hukum kritis adalah:
- Teori hukum kritis (critical legal study) mendeskripsikan perbedaan, memperlihatkan relasi antara sebuah wacana konstitusi yang lain maupun wacana umum lainnya.
- Teori hukum kritis menaruh minat pada sebuah wacana konstitusi apa yang mendominasi, menguatkan, dan menyatukan wacana-wacana (baca: hukum) lainnya.
Anom Surya Putra mencoba meningkatkan salah satu dalil dalam abstraksi teoritkal atas gejala hukum pada “Teori Hukum” menjadi teori hukum kritis, bagi penulis malah menjadikan teori hukum lebih dekat kajiannya dengan Filsafat Hukum, oleh karena substansi dari teori hukum kritis juga ditarik dari beberapa filsafat postmodern seperti filsafat dari Foulcault, Derrida, Heideger, John dewey dan Richard Rorty. Masing-masing tokoh tersebut adalah tokoh Postmodern. Salah satunya Derrida yang tidak mempercayai pencarian kebenaran, kebenaran baginya hanya ilusi, yang diperlukan adalah penafsiran terhadap bahasa itu secara terus-menerus, kalau perlu dengan jalan dekonstruksi.
Secara holistik, kajian dari critical legal study, hemat penulis, hanya merupakan “kritik” untuk menyadarkan kita dari hegemoni kuasa undang-undang atas relasi dan kompromitas antara penguasa dan pelaku pasar (baca: Pebisnis). Gejala yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan terhadap Pasal tertentu dalam undang-undang melaui praktik jual beli dan tawar-menawar Pasal yang akan digolkan kelak ke dalam lembaga negara.
Jalan atau strategi yang mesti ditempuh adalah transparansi pembuatan undang-undang dengan melibatkan “opini publik” menjadi legitimasi dalam undang-undang. Peran serta warga negara dalam legitimasi undang-undang ini sebagai komonikasi yang partisipatoris (Habermas) antara warga negara dengan pemerintah, sebagai jalan menuju demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberative sendiri diartikan oleh F. Budi Hardiman (2009: 129) “bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah “kehendak umum” yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimitas itu adalah proses deliberatif, argumentatif-diskursif suatu keputusan sementara yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi.