Sistem Unikameral

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam unikameral yang berarti satu kamar. Berarti tidak mengenal juga pemisahan antara DPR dan senat atau majelis tinggi dan majelis rendah. Sistem unicameral banyak di anut di negara asia seperti Vietnam, Singapura, Laos , Libanon, Syiria, dan Kuwait.[1]

Pada umumnya sistem satu kamar ini diterapkan di negara-negara yang berukuran kecil, mereka rata-rata lebih menyukai untuk memilih satu kamar dari pada dua kamar, karena pertimbangan masalah keseimbangan kekuatan politik sangat kecil, dibanding kesulitan untuk memecahkan dalam suatu negara besar.

Sistem unikameral  juga banyak diterapkan di negara-negara kesatuan sosialis, karena sistem bikameral dipandang membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan dan biaya-biaya, dengan sedikit kompensasi yang menguntungkan.

Hemat penulis, negara kesatuan (unity)[2] dengan sistem sentralistik juga, nampaknya cocok untuk menerapkan sistem satu kamar, oleh karena tidak ada perbedaan kepentingan yang mendominasi daerah-daerahnya. Daerah-daerah tersebut sudah dianggap telah menyerahkan kewenangannya ke pusat, dan otomatis perwakilannya-pun, tidak perlu ada yang bersumber dari daerah.

Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, menerapkan parlemen satu kamar, jelas tidak mungkin terwujud, oleh karena perwakilan territorial dari daerah pasti menuntut untuk diberikan juga hak-hak territorial dari perwakilan daerah itu.

Dukungan terhadap sistem satu kamar didasarkan pada pemikiran bahwa apabila majelis tingginya demokratis, hal itu semata-mata mencerminkan majelis rendah yang juga demokratis, dan karenanya hanya merupakan duplikasi saja.

Teori yang mendukung pandangan ini berpendapat bahwa fungsi kamar kedua, misalnya meninjau atau merevisi undang-undang, dapat dilakukan oleh komisi-komisi parlementer, sementara upaya menjaga konstitusi selanjutnya dapat dilakukan melalui Konstitusi yang tertulis.[3]

Selama abad ke-20, negara-negara Scandinavia mengganti sistem bikameral dengan unikameral, misalnya ;  Konstitusi Norway, pada awalnya disusun tahun 1814. Parlemen-parlemen unikameral mendominasi sejumlah negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya baru-baru ini, dan dengan perkembangan politik dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di Eropa pada saat pemerintahan parlemen dilahirkan.

Dengan membandingkan konstitusi-konstitusi yang ada di Asia, sistem unikameral yang dianut oleh Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syiria, Kuwait dan lain-lain, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam sistem unikameral itu terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.

Beberapa keuntungan dalam sistem legislatif unikameral, meliputi:

  1. Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan Undang-Undang (karena hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-beda).
  2. Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya apabila suatu Undang-Undang tidak lolos, atau bila kepentingan warga negara terabaikan).
  3. Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau kepentingan mereka; dan
  4. Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.[4]

Perkembangan demokrasi baik di negara kecil maupun di negara besar. sulit untuk menerapkan parlemen dengan satu kamar, oleh karena untuk membnetuk legislasi atau kebijakan, terpatok pada satu lembaga saja. Satu-satunya lembaga yang membentuk undang-undang, berarti tidak ada pengawasan dan saling check and balance antara dua lembaga. Lembaga yang hanya satu perwakilannya dapat menciptakan undang-undang yang dominative dan sarat kepentingan penguasa saja, tanpa ada kamar kedua yang bisa melihat kepentingan publik. Apalagi pada tahun 1996, Arendt Lijhpart menghasilkan kesimpulan dari hasil penelitian 36 negara dengan memeraktikan demokrasi, 13 negara yang masih menganut bicameral, sedangkan lebih banyak, yakni 23 negara malah telah menerapkan sistem bicameral. Artinya sistem bicameral berhasil menjadi kekuatan baru yang dapat mengimbangi kelebihan parlemen unikameral.

Namun jika dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh International  IDEA mengenai sistem bikameral di 54 negara yang dianggap sebagai negara demokratis memperoleh beberapa kesimpulan yang diperoleh bahwa: sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral; Dari 32 negara penganut bikameral terbagi seimbang dalam hal kuat dan lunaknya, yaitu 16 negara menganut bikameral kuat dan 16 negara menganut bicameral lunak; semua negara federal memiliki dua majelis; negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih sistem unicameral dan sebagian lainnya bicameral (dari sampel yang diteliti, 22 negara memilih sistem  unicameral dan 20 negara memilih sistem bikameral, selebihnya  tidak diperoleh datanya); hampir semua negara dengan jumlah penduduk besar memiliki dua majelis (Bangladesh adalah pengecualian dari kelompok ini), demikian pula sebagian besar negara yang memiliki wilayah luas memiliki dua majelis (Mozambique merupakan pengecuaIian dari sampel ini).[5]

Dengan demikian persoalan. Cocok atau tidak diterapkan unicameral  dan bicameral dalam suatu negara tetap dipengaruhi oleh sejarah dan kebutuhan negara itu sendiri, di samping keadaan lingkungan ekonomi, sosial, politik masing-masing negara, dan konteks kelembagaannya sendiri


[1] Selain itu, dianut dibeberapa negara seperti negara bagian Nebraska di Amerika Serikat, Queensland di Australia, semua provinsi dan wilayah di Kanada, dan Bundesländer Jerman (Bavaria menghapuskan Senatnya pada 1999). Juga dianut di Britania Raya, Parlemen Skotlandia, Dewan Nasional Wales dan Dewan Irlandia Utara yang telah meramping, juga menganut sistem satu kamar.

[2] Apalagi  negara kesatuan yang kecil dan homogen, malah sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu.

 [3]http://tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/04/28/sistem-satu-kamar-onekameral-system/

[4] Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara yang disampaikan di depan Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, oleh Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M. Si,  Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan ketiga UUD 1945),  (Yogyakarta: UII, 2002), hal. 9-10.

[5] http:// jwww.ideaindo.or.idjcontentjviewj65j116jlang,idj

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...