Barisan Kaum Demagog

SETELAH reformasi politik pada tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru (Orba), banyak orang percaya, bahwa demokrasi di Indonesia akan gilang-gemilang.

20111202105204430

Sumber: investor.co.id

Prediksi tersebut tidak sepenuhnya salah, reformasi konstitusi melalui empat tahap amandemen (1999-2002) berhasil mengembalikan trah ‘negara hukum’ Indonesia yang ‘dikurung’ dalam sangkar Orba selama 32 tahun berkuasa. Melalui mekanisme pemilihan langsung, rakyat kembali mendapatkan kedaulatannya yang selama 32 tahun ‘dipasung” politik otoriter Orba. Pers mendapatkan kemerdekaannya melalui pengesahan UU Pers No 40 Tahun 1999. Pers terbuka untuk mengkritik dan dikritik, tanpa harus takut dengan ancaman pembredelan. Parpol dan Ormas tumbuh menjamur. Kran demokrasi yang terbuka lebar ibarat mata air (oase) di tengah padang pasir yang kering dan gersang.

Namun demikian, ada yang luput dari perhatian. Demokrasi juga ternyata mengukuhkan eksistensi kaum demagog.

Eksistensi Kaum Demagog

Demagog adalah sebuah istilah–yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno–untuk menyebut sekumpulan orang-orang yang berpikir dan bertindak culas dan licik, lebih mementingkan diri sendiri, menebar pesona dengan pencitraan (kamuflase), berkoar atas nama kebenaran, namun seringkali memanipulasi kebenaran itu dengan opini dan wacana.

Mahfud MD, pernah menulis di Majalah GATRA tahun 1997 silam tentang “Dominasi Kaum Demagog”. Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih, tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi, padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.

Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen, maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi (Mahfud: 1997).

Bahayanya, kaum demagog kini menguasai panggung politik nasional akhir-akhir ini. Mereka tampil dominan dengan menggusur tokoh-tokoh reformis yang memiliki rekam jejak nyata dalam pembangunan bangsa ini. Dalam konteks filsafat bahasa, Mereka memoles citra di atas sihir kata-kata yang meninabobokan rakyat. Simbol (semiotik) bahasa yang dipakai sangat melankolis, tidak jarang membuat orang terkagum-kagum, bahkan menangis. Padahal di belakang panggung, lakunya tak mencerminkan kata-katanya. Mereka ini bisa berasal dari beragam profesi; politisi, pejabat, pengusaha, penegak hukum, akademisi, bahkan ulama (agamawan).

Politisi demagog, berkampanye seolah-olah mengutamakan kepentingan rakyat. Menyebar baliho dan poster di mana-mana. “Demi rakyat”, atau “atas nama rakyat” adalah simbol bahasa yang kerap dipakai untuk menarik simpati, namun sejatinya, semua itu kamuflase semata. Saat pemilu rakyat didekati, pasca pemilu rakyat dilupakan. Itulah laku politisi kita saat ini.

Pejabat demagog, menjalankan pemerintahan secara korup/KKN. Birokrasi dijalankan bukan untuk melayani kepentingan publik, namun untuk melayani kepentingan individu dan kelompoknya. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang mengarah pada praktik korupsi, terjadi secara sistematif, terstruktur, dan masif (STM).

Pengusaha demagog, menjalankan usahanya dengan cara-cara yang licik dan culas. Prinsip “segala cara dilakukan asal tujuan tercapai” menjadi laku kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Menyogok pejabat untuk memuluskan proyek, memonopoli usaha di satu tempat, atau melakukan manuver licik untuk menjatuhkan kelompok usaha lain menjadi hal lazim, asal usaha berkembang, tak peduli orang lain dikorbankan.

Penegak hukum demagog; hakim, jaksa, polisi, pengacara, menjalankan hukum dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Menerima suap, memutarbalikan fakta, dan membangun opini yang menyesatkan dilakukan berulang-ulang. Sumpah jabatan dan kode etik dilanggar demi ambisi materi.

Akademisi demagog, menggunakan keahlian dan kepakarannya dengan membangun teori/pendapat yang menyesatkan. Ahli hukum, dan ahli ekonomi misalnya, kepakarannya digunakan untuk membantu meloloskan seorang koruptor dari jerat hukum. Ahli politik, membangun teori yang merusak tatanan sosial-politik, berafiliasi dengan barisan demagog yang mengusung tokoh tertentu demi ambisi politik. Kiamat pengetahuan, jika akademisi kampus sudah ‘melacurkan” ilmunya.

Alim ulama demagog, berkhotbah menyebarkan kebencian dan kesesatan “atas nama Tuhan” melalui manipulasi ayat dalam kitab suci dan hadits shahih. Menjual Tuhan dengan menyerang kelompok kepercayaan dan agama lain. Merasa diri paling benar, yang lain salah, bahkan kafir.

Sangat mencengangkan, demokrasi yang diagung-agungkan, nyatanya hanya mengokohkan eksistensi kaum demagog. Kaum demagog, menyimpan benalu mematikan yang merongrong dan menggerogoti prinsip moral umum dan konsep berbangsa dan bernegara. Dasar negara kaum demagog bukan Pancasila dan UUD 1945, namun kelicikan dan keculasan.

Sejak jauh hari, guru dan murid; Plato dan Aristoteles, memang tidak mendukung demokrasi. Plato lebih mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap. Seolah-olah demokrasi. (*)

Artikel Ini Juga dimuat di Warta Timur, 11 Januari 2014

 

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...