Ius Operatum Penjabat, Perlukah…?

Mendagri Tito Karnavian usai melantik lima Pj Gubernur, Kamis (12/5/2022). (Sumber: suara.com)
IMPLIKASI dari penundaan Pilkada serentak 2022 – 2023 dengan wajibnya pengangkatan Penjabat Kepala Daerah (PKD). Akhir-akhir ini telah menimbulkan multitafsir, spekulasi, kontroversi, hingga perlawanan terbuka oleh seorang Gubernur, tidak mau melantik penjabat Bupati yang telah diangkat oleh Mendagri. Penyebabnya, karena lain yang diusulkan oleh Gubernur, lain pula orang yang diangkat oleh Mendagri.
Keadaan-keadaan tersebut sudah seharusnya menjadi bahan koreksi bagi pemerintah (baca: Presiden RI) untuk membentuk ius operatum penjabat kepala daerah dalam nomenklatur Peraturan Pemerintah.
Ius Operatum
Ada beberapa persoalan mendasar yang sesungguhnya menjadi urgen bagi pemerintah untuk membentuk ius operatum penjabat kepala daerah. Pertama, alasan legalitas. Asas legalitas dalam hukum tata negara dikenal dalam istilah wetmatigheid van bestuur. Baik pengisian jabatan pemerintahan maupun menyangkut kewenangan-kewenangannya harus diatur berdasarkan undang-undang (UU).
Pengangkatan PKD memang sudah diatur tentang siapa yang berwenang mengangkatnya dalam UU Pemilihan. Syarat-syaratnya juga sudah diatur sedemikian rupa, yaitu untuk Penjabat Gubernur berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (JPTM), sedangkan untuk Penjabat Bupati/Walikota berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP). Tata caranya juga sudah diatur dengan harus melalui usulan Gubernur untuk Penjabat Bupati/Walikota, dan harus melalui usulan Mendagri untuk Penjabat Gubernur.
Syarat dan tata cara pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut belumlah cukup. Karena syarat berupa JPTM atau JPTP, di sana-sini menimbulkan tafsir bias atas pejabat TNI/Kapolri, sepanjang memiliki jabatan yang sejajar dengan JPTM atau JPTP katanya (menurut Mahfud MD), maka dapat diangkat sebagai PKD tanpa perlu mengundurkan diri dari jabatan dinasnya sebagai anggota TNI/Polri. Begitu pula untuk tata cara pengangkatan PKD, tafsir bias-nya bukan main. Usulan Gubernur untuk calon Penjabat Bupati/Walikota, katanya tidak mengikat bagi Mendagri.
Kedua, alasan pengangkatan PKD harus demokratis. Keterlibatan Gubernur dalam pengusulan Penjabat Bupati/Walikota atau keterlibatan Presiden dalam pengangkatan Penjabat Gubernur tidak ujuk-ujuk perannya. Dilibatkannya Gubernur atau Presiden dalam pengusulan dan pengangkatan PKD, yaitu demi terpenuhinya aspek demokratis. Karena Gubernur dan Presiden adalah pejabat yang secara langsung dipilih oleh rakyat, maka unsur rakyat (demokratisnya) masih ada kepadanya dalam pengusulan atau pengangkatan PKD.
Ketiga, menyangkut masa jabatan PKD. Jika selama ini Mendagri atau Presiden, yang menjadi dasar hukum dalam pengangkatan PKD yaitu PP No. 49 Tahun 2008. Maka yang menjadi pertanyaan kepadanya, masa jabatan PKD itu yang berlaku sesungguhnya yang mana? Apakah berlaku satu tahun dan dapat diperpanjang selama satu tahun, berikut dengan orang yang sama/berbeda (Penjelasan Pasal 201 ayat 9 UU Pemilihan), ataukah tidak boleh ada perpanjangan (Pasal 132 ayat 4 PP Nomor 6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 49/2008). Ini belum disinggung misalnya dengan PKD yang sudah diangkat pada bulan Mei 2022 kemarin, pun kalau mengacu pada UU Pemilihan, PKD tersebut malah bisa menghabiskan masa jabatan lebih dari 2 tahun (2 tahun 6 bulan) karena Pilkada serentak nasional nanti digelar pada 27 November 2024.
Keempat, karena alasan desentralisasi kewenangan. Alasan yuridis pengangkatan PKD bagi Mendagri dan Presiden bersandar pada Pasal 86 ayat 2, ayat 3, dan ayat 6 UU No. 23/2014 tentang Pemda, dan Pasal 132 A ayat 1 dan ayat 2 PP No. 49/2008. Di sana, ada limitasi kewenangan PKD, dalam melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan dan/atau mengeluarkan perizinan, haruslah dengan izin Mendagri. Tidakkah dengan harusnya ada persetujuan dari Mendagri, telah membalikkan keadaan dari prinsip desentralisasi yang dikehendaki dalam otonomi Pemda, kini menjadi kekuasaan yang tersentralisasi lagi.
Daya Mengikat
PP No. 49/2008 sebenarnya sudah tidak mempunyai daya mengikat lagi. Alasannya, karena PP No. 49/2008 merupakan turunan dari UU Pemda yang lama (UU No 32/2004 yang telah diubah dalam UU No. 12/2008). Sekarang sudah ada UU pemda yang baru (UU No. 23/2014), suatu ketimpangan menggunakan aturan turunan PP No. 49/2008, saat yang sama aturan induknya (UU No. 32/2004) sudah dicabut melalui UU No. 23/2014. Pun kalau mengikuti logika pemerintah dengan mengakui kehadiran PP No. 49/2008, lantas bagaimana dengan rezim pengangkatan PKD yang terdapat di UU Pemilihan. Bagaimana mungkin rezim UU Pemilihan yang telah dikeluarkan dari rezim UU Pemda, lalu masih mau menggunakan lagi aturan turunan dari UU Pemda.
Terakhir, Putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021, Putusan MK No. 15/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No. 18/PUU-XX/2022 tentang pengujian materil peniadaan Pilkada 2022 dan 2023, secara nyata telah membatalkan PP No. 49/2008. Hal tersebut dapat ditangkap dari pertimbangan putusan tersebut yang pada pokoknya menyatakan, perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan PKD yang sama dengan kepala daerah definitif. Perlu pula menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU Pemilihan.
Pertimbangan dan perhatian, bukan bersifat alternatif, tetapi harus dimaknai sebagai kewajiban yang mesti segera dilaksanakan oleh pemerintah, membentuk PP Pengangkatan PKD. Pertimbangan dan perhatian dimaknai sebagai hal yang bersifat obligatoir, karena aturan yang akan dibuat untuk PP PKD tidak sedikit, syarat dan tata cara pengangkatannya harus jelas dan konkrit. Harus memenuhi prinsip-prinsip demokratis, terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan kriteria PKD yang diangkat, berkompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah, serta akan bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
Oleh:
DAMANG, S.H., M.H.
PRAKTISI HUKUM PEMILU DAN PILKADA
Sumber: OPINI TRIBUN TIMUR, JUNI 2022