Mendesain Pemilu Serentak

Wacana yang sempat digulirkan oleh Menteri Dalam Negeri, untuk mendesain sstem Pemilukada kita. Terutama pembatasan kerabat pejabat pemerintahan (baca: kepala daerah). Agar tidak menduduki jabatan kepala daerah secara beruntun. Patut diapresiasi. Namun jika ditimbang matang usulan tersebut. Sebagai langka awal membatasi dinasti politik dan oligarki pemerintahan dalam penentuan jabatan kepala daerah. Masih menyimpan permasalahan. Bagamaina tidak, jika ketentuan dalam RUU Pilkada itu kelak dibatalkan oleh MK. Bukankah semua warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih sebagaimana amanat konstutusi kita (UUD).

Oleh karena itu, upaya mendesain pemilu dengan melaksanakan pemilu secara serentak. Merupakan solusi yang aplikatif dapat mencegah terjadi politik dinasti. Apalagi memang dalam sistem pemerintahan presidensil dapat diaplikasikan pemilu serentak. Yang mana eksekutif dan legislatif dipilih  secara langsung oleh rakyat. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, pilihan eksekutif ditentukan oleh pilihan legislatif yang menjadi pemenang  pemilu dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Dengan melakukan desain ulang terhadap waktu penyelenggaraan pemilu dapat dipetik beberapa keuntungan.partai

Pertama, karena pemilu yang dilaksanakan hanya satu kali dalam satu periode. Praktis akan meringkus niat dan hajat politik para kerabat, untuk melanggengkan anggota keluarganya, mengganti kedudukannya yang dijabati saat itu. Logikanya bagaimana mungkin menggiring angota keluarganya ke dalam pusaran kekuasaan dengan politik dagang pengaruh. Kalau pada waktu mencalonkan dirinya sebagai pejabat eksekutif terkendala dengan batasan waktu. Kondisi ini juga sejatinya akan memaksimalkan kinerja anggota legislatif. Agar tidak mencalonkan lagi sebagai kepala daerah di provinsi, kabupaten  atau kota. Kita bisa membandingkan kondisi yang terjadi sekarang, setiap orang pada memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Mereka yang sudah merebut kursi diparlemen maupun yang gagal, bergerak ke bawah berebut jatah kursi kepala daerah. Bagi pemilik kursi yang telah merasakan kursi empuk senayan, jika berhasil menjadi kepala daerah, akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang boleh jadi adalah  kerabatnya sendiri. Sementara yang kalah pada pemilu legislatif memiliki tempo/ jedah untuk kembali meraih kursi jabatan eksekutif sebagai kepala daerah.

Kedua, desain pemilu secara serentak. Dengan pemilu yang bersamaaan antara pemilu legisltif dan eksekutif. Secara natural akan meniadakan politik transaksional, dan pragmatis antara eksekutif dan legislatif. Karena sedari awal partai politik sudah menguatkan barisan koalisinya, agar terpilih Capres yang diusungnya. Pada saat yang  sama Presiden juga tidak akan “menguras tenaga” membangun koalisi jika terpilih. Bangunan koalisi yang ideal yang dapat mengatrol dan mendukung kebijakan eksekutifpun pada titik ini. Terbangun dalam format koalisi yang proporsional. Bukan lagi format koalisi yang rapuh atau format koalisi obesitas yang kadang ditentukan oleh delapan penjuruh  mata angin.

Ketiga, upaya untuk mendesain multipartai sederhana dengan kombinasi sistem presidensialisme tercipta dengan sendirinya. Partai besar akan menjadi partai pemerintah, di sisi lain dengan partai-partai kecil dan menengah yang lolos angka PT 3,5 % sudah pasti akan menjadi barisan oposisi. Di tingkat lokalpun dalam pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan dalam periode yang lain. Partai nasional jelas mengefektifkan dukungan untuk pemenangan kepala daerah dan pemenangan anggota DPRD di tingkat daerah. Otomatis partai nasional yang lolos angka PT  di senayan akan menjemput partai lokal untuk berafiliasi dengan parpolnya. Kesimpulannya partai di tingkat nasional dan di tingkat lokal dalam waktu yang panjang pasti melebur dalam positioning ideologi parpol yang kuat di  tingkat nasional.

Pemilu Nasional Vs Pemilu Daerah

Melalui mekanisme pemilu dua kali; pemilu pertama adalah gabungan pemilu legislatif (baca: DPR dan DPRD) dan pemilu jabatan eksekutif (baca presiden). Sedangkan pemilu kedua adalah pemilihan Kepala Daerah dan anggota DPRD baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/ kota dimungkinkan partai-partai lokal akan menyesuaikan dengan partai nasional.

Cara ini adalah cara efektif dan tidak melanggar hak politik (political right). Partai akan menjadi sederhana karena dukungan dari partai nasional. Partai nasional di sini memiliki posisi dominan dalam menjalankan mesin partai, karena dapat ditakar oleh simpatisan dan pasar ceruk pemilih yang akan memilih di daerah dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD.

Di samping itu dengan format pemilu serentak, jika yang terpilih dalam satu fase pemilihan umum ternyata semua adalah gabungan para kerabat dalam jabatan eksekutif serta jabatan legislatif. Kalaupun hal itu terjadi, akan tampak “telanjang” di mata publik. Sehingga Parpol dan  calon akan tampak buruk di mata pemilih. Jelas dalam konteks ini Parpol akan berpikir ulang “seribu kali” untuk mendaulat calon-calon dari satu keluarga.

Kemudian, politik dinasti dan oligarki politik juga akan dihentikan dalam ranah  pemilihan kepala daerah jika pemilihan kepala dearah dilaksanakan secara serentak. Kondisi ini tamoil teklanjang di hadapan kita saat ini. Pilkada yang berbeda waktu penyelenggaraannya menyebabkan banyak kerabat lokal bisa mencalonkan di daerah manapun. Apalagi calon kepala daerah tidak pernah dibatasi bahwa harus  berdomisili di daerah yang bersangkutan.

Kini yang perlu di desain ulang adalah bagaimana kembali mengefektifkan pemilu serentak. Langka paling logik adalah dengan membagi dua pemilu serentak: pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD`serta Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan pada tahun pertama dalam siklus lima tahunan pemilu. Dalam tahun ketiga kemudian baru diselenggarakan pemilu daerah untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD.

Perubahan pelaksanaan pemilu jelas membutuhkan kesiapan, terutama dari sisi regulasi dan organisasi. Aturan yang perlu dipersiapkan adalah pemilu Presiden dan Wakil Presiden serentak dengan pemilu legislatif, seperti dasar penentuan partai politik dan gabungan partai politik yang berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan pelaksanaan pemilu kepala daerah secara serentak, aturan yang harus dipersiapkan adalah masa peralihan terkait masa akhir jabatan kepala daerah yang tidak bersamaan.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...