Pesta Demokrasi Gorontalo & Kandidat “Incumbent”
Pemilihan Gubernur Provinsi Gorontalo tinggal beberapa bulan lagi, mesin-mesin politik baik dari partai politik maupun kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan sudah mulai dipanaskan. Para kandidat kemudian berlomba-lomba memasang baliho guna politik pencitraan kepada masyarakat dan kunjungan kedaerah-daerah juga tak terhelakkan.
Pemilukada provinsi yang akan dihelak pada bulan September dengan kucurang dana sebesar 5 Milyar hasil penandangan MoU antara Pemerintah Provinsi Gorontalo dengan KPU Provinsi sudah terlaksanakan guna mengsukseskan pesta demokrasi di tanah serambi madina (Gorontalo Post,11 Mei 2011).
Harapan besar akan proses pemilukada provinsi yang demokratis dan tanpa konflik menjadi harapan bersama masyarakat gorontalo. Akan tetapi, justru dalam event-event pemilu figur kandidatlah yang sering menjadi sorotan baik pada saat sebelum tahapan pemilukada maupun pada saat pemilukada berlangsung. Figur kandidat yang menjadi salah satu bahaya besar yang mengancam Pemilukada demokratis adalah perilaku curang sang “incumbent” .
Menurut George C.S Benson (Topo Santoso:2007), penyimpangan kekuasaan sang incumbent tergolong “political corruption” yaitu setiap penggunaan kekuasaan pemerintahan yang tidak sah dan tidak etis untuk keuntungan pribadi dan keuntungan politik. Korupsi ini untuk meraih dua tujuan: materi dan kekuasaan.
Penggunaan kekuasaan oleh sang incumbent tentunya menjadi senjata yang paling sering digunakan oleh figur-figur kandidat yang memiliki posisi-posisi dipemerintahan baik dia yang sementara menjabat sebagai gubernur maupun sebagai kepala daerah kabupaten/kota. Figur kandidat dalam Pemilukada Gubernur Gorontalo yang diprediksi maju bertarung pada pesta demokrasi yang akan datang yang tentunya termasuk sang “Incumbent” adalah Gusnar Ismail (Gubernur Gorontalo), Rusli Habibie (Bupati Gorontalo Utara), dan David Bobihoe (Bupati Gorontalo ).
Daftar nama-nama calon Gubernur Gorontalo di atas, merupakan wajah-wajah incumbent yang tentunya memiliki factor kedekatan baik dengan masyarakatnya maupun pihak penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panwaslu. Pertanyaannya apa keuntungan dari seorang incumbent?
Keuntungan sang “incumbent” pada pelaksanaan pemilukada gubernur yang bisa digunakan secara tidak sah dan penting untuk disoroti yaitu pertama, Kepala Daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan program-program dan anggaran pemerintah (baik dari pusat maupun daerah) untuk mengkapitalisasi popularitasnya. Memang program-program pembangunan itu mungkin sudah diatur. Jadi, yang dilakukan hanyalah “mendompleng”nya secara cerdas sehingga rakyat memuji bahwa ia berjasa memajukan daerahnya. Masyarakat yang kritis tentu tidak terpengaruh, sebab bukanlah sudah seharusnya pemerintah melaksanakan tugas-tugas mensejahterakan rakyat? Kenapa sejak dulu upaya itu tidak dilakukan dengan baik? Rakyat yang cerdas tahu mana program sejati dan mana yang jadi ajang membeli suara.
Kedua,memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan pejabat daerah serta dengan aparat birokrasi dibawahnya (termasuk kepala dinas, camat, hingga lurah/kepala desa). Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal. Hubungan berlandaskan administrasi pemerintahan seperti itu tidak dimiliki para pesaingnya. Ini diperparah jika sudah ada keberpihakan nyata dari pejabat pusat dan daerah itu kepada sang kepala daerah. Penyimpangan ini harus lebih diperhatikan terjadi di daerah-daerah yang didominasi satu partai politik sangat besar (meski juga bisa terjadi di daerah-daerah yang konfigurasi politik yang seimbang). Termasuk dalam konteks ini, adalah pemanfaatan atau penyalahgunaan hubungan melalui forum “Muspida”. Bukankah dalam beberapa kasus hal ini justru dicurigai menghambat proses penegakan hukum atas sang kepala daerah yang sedang bermasalah? Banyak dugaan penyimpangan jenis ini sudah dan mewarnai tahapan pemilukada, misalnya pemilihan pelaksana teknis pemilihan seperti anggota KPU, PPK, PPS, dan KPPS.
Ketiga, Figur incumbent akan berusaha mempolitisasi berokrasi. Ketika birokrasi sudah dikuasai oleh pasangan calon, maka pengerahan massa dan pemanfaatan fasilitas Negara secara otomatis bisa dinikmati secara gratis. Gencarnya politisasi birokrasi yang dilakukan oleh incumbent terhadap birokrasi karena mereka yakin bahwa rezim administrasi Pemilukada dipegang oleh birokrasi. Tangan-tangan birokrasi tidak hanya mengatur hampir seluruh proses Pemilukada, tetapi juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan pasangan calon tertentu dalam pemilukada.
Keempat, potensi penyimpangan menjadi demikian terbuka karena tidak tegasnya ketentuan mengenai kampanye (terutama mengenai kampanye sebelum waktunya serta sanksi bagi pelanggarnya). Ketentuan perihal kampanye pada pemilukada hampir sama dengan kampanye Pemilu Legislatif dan Pilpres. Misalnya saja sebelum tahapan kampanye yang ditentukan KPUD, sang “incumbent” akan dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan untuk “kampanye” dengan berbagai dalih.
Tentu saja diluar keempat hal di atas, keuntungan sang incumbent kepala daerah atas para pesaingnya akan semakin besar jika KPUD dan Pengawas Pemilukada ikut larut dalam irama politik secara tidak sah dan tidak etis yang dimainkan sang incumbent.
Peran Masyarakat
Masyarakat gorontalo sebagai manifestasi rakyat dengan semboyan “Suara Rakyat Suara Tuhan”,tentunya haruslah menjalankan fungsi kontrolnya dalam proses pesta demokrasi yang sudah diambang pintu.
Dalam konteks pesta demokrasi, peran masyarakat mesti lebih besar yang dapat diwujudkan yaitu dengan (1) mendorong kinerja pelaksana dan pengawas pemilukada yang independen dan tegas, (2) mengontrol lahirnya kebijakan-kebijakan kepala daerah dan pejabat daerah yang merugikan pihak tertentu, (3) memberi apresiasi kepada sang incumbent gubernur/bupati/walikota yang menjunjung fairness dan memberi kritik keras kepada sang incumbent yang menyalahgunakan kekuasaan untuk meraih kembali kekuasaannya, (4) tidak memilih sang incumbent yang menyalahgunakan kekuasaan pada pemilukada gubernur nanti, sebab sikap tidak fair dan korup yang dipilihnya menjadi cermin motif untuk meraih materi dan kekuasaan, bukan untuk memajukan rakyatnya, dan (5) mendorong perbaikan ketentuan pemilukada yang dapat meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan sang “incumbent”.