Siasat Pemunduran Pemilu Demi Perpanjangan Masa Jabatan

Titi Anggraini
Pembina Perludem, Mahasiswi Program Doktoral FH UI
(nusantaranews.co)

Sekitar seminggu setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) meluncurkan hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Serentak 2024, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengeluarkan pernyataan publik mengusulkan penundaan pemilu. Pernyataan itu jadi antiklimaks atas pembahasan Hari H pemilu yang berlangsung tarik menarik antara KPU, pemerintah, dan DPR sampai satu tahun lebih –sebelum akhirnya jelang pengujung Januari 2022 tercapai kesepahaman bahwa pemungutan suara akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024.

Tak berhenti di situ, usulan menunda pemilu kemudian juga diamini oleh Ketua Umum Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Penundaan pemilu sampai dengan dua tahun setelah 2024 diklaim berangkat dari aspirasi dunia usaha dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi yang sedang tumbuh setelah diterjang badai Covid-19. Potensi konflik akibat pemilu, besarnya anggaran pemilu, wabah Covid-19 yang masih mengintai, sampai kinerja Presiden Joko Widodo yang sangat baik di mata publik, juga melengkapi alasan untuk penundaan pemilu. Kalau pemilu ditunda, presiden dan wakil presiden serta para anggota parlemen akan terus menjabat sampai dengan diperoleh pejabat definitif hasil pemilu.

Usulan penundaan pemilu itu muncul di tengah angin segar perbaikan indeks demokrasi Indonesia sebagaimana dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) awal Februari 2022. EIU menyebutkan bahwa skor demokrasi Indonesia 2021 meningkat dari 6,30 menjadi 6,71. Peningkatan itu membuat Indonesia naik ke peringkat 52 dunia dari 167 negara yang dilakukan pengukuran. Setahun sebelumnya, Indonesia berada pada posisi ke-64. Skor demokrasi Indonesia menurut EIU membaik pada tiga aspek, yaitu keberfungsian pemerintah (functioning of government), kebebasan sipil (civil liberties), dan partisipasi politik (political participation). Masih ada dua aspek yang stagnan atau jalan di tempat, yaitu proses elektoral dan pluralisme (electoral process and pluralism) serta budaya politik (political culture).

Banyak pihak tumbuh optimismenya. Dengan terbitnya kepastian hari pemilu dan juga penguatan kondisi demokrasi Indonesia akan bisa meredam berbagai wacana pelemahan demokrasi. Sebut saja, presiden tiga periode ataupun perpanjangan masa jabatan. Ternyata sebaliknya, tokoh publik sekaligus pimpinan partai justru memunculkan narasi yang membuat kecurigaan dan pembelahan baru di masyarakat kita. Menambah bukti bahwa budaya politik kita memang bermasalah sebagaimana temuan The Economist.

Kasus Kemanusiaan

Di masa puncak pandemi, terutama pertengahan 2020, sejumlah negara menunda pemilunya dalam rangka melindungi warga dari paparan Covid-19. Para ahli menyebutnya sebagai humanitarian case for temporary postponements atau kasus kemanusiaan untuk penundaan sementara (Toby S. James dan Sead Alihodzic, 2020). Negara-negara yang menunda pemilu nasional karena pandemi Covid-19 antara lain Bolivia, Polandia, Selandia Baru, Serbia, dan Sri Lanka. Pemilu ditunda karena penyelenggara pemilu belum punya pengalaman menyelenggarakan pemilihan di tengah situasi pandemi yang sifatnya tidak kompatibel satu sama lain. Pemilu memerlukan kedekatan dan pelibatan pemilih secara optimal, sedangkan Covid-19 membuat orang harus menjaga jarak dan tidak berkerumun.

Di Indonesia, KPU sempat menunda empat tahapan Pilkada Serentak 2020 sehingga pemungutan suara bergeser dari bulan September ke Desember 2020. Saat itu, ada dorongan kuat dari elemen masyarakat baik pegiat pemilu, ormas, maupun perguruan tinggi agar Pilkada 2020 ditunda ke pertengahan 2021. Namun, pemerintah bergeming dan menghendaki pilkada tetap pada 2020. Alasannya, agenda demokrasi dan hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih harus tetap dipenuhi dan tidak boleh dihalang-halangi meski di masa pandemi sekalipun. Selain pandemi juga tidak bisa dipastikan kapan akan melandai, serta pilkada di masa pandemi dianggap bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah.

Penundaan pemilu memang diatur dalam hukum pemilu Indonesia. Istilahnya “pemilu lanjutan dan pemilu susulan”. Pasal 431 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan. Selanjutnya Pasal 432 ayat (1) menyebut apabila akibat faktor-faktor di atas seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan pemilu susulan.

UU Pemilu tidak membuka peluang penundaan tahapan pemilu karena sesuatu yang sifatnya antisipatif, prediktif, apalagi alasan ingin menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, konstruksi penundaan tahapan pemilu dalam UU Pemilu harus dipahami dan ditempatkan dalam bingkai Konstitusi. Di mana Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya presiden dan wakil presiden masa jabatannya dalam satu periode adalah lima tahun, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.

Selanjutnya ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Keberkalaan atau keteraturan pemilu eksplisit diatur Konstitusi. Sehingga adanya pemilu lanjutan dan pemilu susulan tetap berada dalam bingkai pembatasan masa jabatan Presiden selama lima tahun dan penjadwalan pemilu periodik setiap lima tahun sekali.

Kredibilitas Demokrasi

Sementara yang terjadi saat ini, belum juga terbit Peraturan KPU tentang tahapan, program, dan jadwal Pemilu 2024, elite sudah terlebih dahulu mewacanakan penundaan pemilu plus perpanjangan masa jabatan. Sangat kentara motif dan tujuannya yang tidak menghendaki pemilu terselenggara secara tepat waktu. Dengan demikian, bila dikorelasikan dengan pengaturan yang ada dalam UU Pemilu dan UUD, maka hal itu tidak bisa lagi dibaca sebagai penundaan pemilu. Argumennya, sesuatu bisa disebut sebagai penundaan pemilu apabila tahapan pemilu telah ditetapkan, namun tidak bisa terlaksana sebagian atau seluruhnya karena terjadi peristiwa darurat atau force majeure (keadaan kahar) yang tak bisa dihindari.

Sedangkan yang disampaikan Muhaimin Iskandar dan kawan-kawan lebih tepat disebut pemunduran pemilu. Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemilu tidak terlaksana secara periodik setiap lima tahun sekali. Pemunduran pemilu didesain dalam rangka menambah masa jabatan melampaui batas yang ditentukan konstitusi, tanpa harus bersusah payah memperoleh legitimasi rakyat melalui pelaksanaan pemilu (term limit evasion).

Dalam praktik demokrasi dunia, penundaan pemilu (delay elections) menjadi pilihan populer pemimpin otoriter untuk menghindari pembatasan masa jabatan (Mila Versteeg, dkk, 2020). Sejak tahun 2000, tercatat terjadi penundaan pemilu sebagai penghindaran batas masa jabatan di empat negara. Angola pada 2002 hingga 2012, Pantai Gading pada 2010, Republik Demokratik Kongo pada 2016, dan di Sudan, dari 2005 hingga 2010.

Menjadi wajar kalau banyak pihak bersuara kritis dan menentang usulan penundaan pemilu. Usulan yang sejatinya hendak memundurkan pemilu demi memperpanjang masa jabatan. Usulan itu tidak bisa disimplifikasi sebatas kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Karena dampaknya sangat membahayakan kredibilitas demokrasi Indonesia yang tegas mensyaratkan penyelenggaraan pemilu reguler setiap lima tahun sekali. Pemilu reguler merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna membatasi kekuasaan agar tidak absolut dan sewenang-wenang.

Usulan para elite itu bertentangan dengan konstitusi yang ketat membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Siasat penundaan bersubstansi pemunduran Pemilu 2024 juga menjauhkan kita dari cita-cita Reformasi yang sangat menentang pemusatan kekuasaan berbasis favoritisme individu. Tentu hal itu wajib kita tolak dan lawan sekuat-kuatnya. Jangan sampai keran regenerasi politik tertutup oleh asumsi stabilitas bernegara hanya ditentukan sosok tertentu saja. Sungguh Indonesia negara besar berlimpah putri putra terbaik yang siap mengabdi demi kemajuan bangsa.

Usulan berbungkus penundaan pemilu satu paket dengan perpanjangan masa jabatan, bukan hanya menampar dan cari muka ke presiden, namun juga menjerumuskan presiden untuk melakukan pelanggaran mendasar pada konstitusionalisme berdemokrasi. Maka, jelas Presiden Joko Widodo harus tegas menolaknya.

 

Oleh:

Titi Anggraini; Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

DETIKNEWS, 21 Maret 2022

Sumber:

https://news.detik.com/kolom/d-5993094/siasat-pemunduran-pemilu-demi-perpanjangan-masa-jabatan.

You may also like...